Ketahanan Pangan-Energi dan Komitmen Presiden Ke-7

Ketahanan Pangan-Energi dan Komitmen Presiden Ke-7

Sahat Sitorus - detikNews
Jumat, 11 Jul 2014 06:26 WIB
Jakarta - Siapa pun dari hanya 2 pasangan capres yang akan memenangi Pilpres 2014, bagi saya tidak jadi soal besar mengingat penentuan pemenang merupakan hak prerogatif WNI yang berhak memilih.

Harapan kita, proses menuju penetapan itu akan berjalan mulus-aman-damai-tentram dan hasilnya akan diterima oleh semua pihak termasuk yang berseberangan keyakinan politik di masa kampanye.

Perbedaan haluan dan keyakinan politk adialah keniscayaan yang tak terpungkiri di sebuah negara yang majemuk seperti Indonesia. Pada saat KPU menetapkan pemenang Pilpres, pada saat itulah segenap aroma perbedaan Visi dan Misi harus dhentikan.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Pada waktunya nanti, pasca pesta demokrasi akbar tanggal 9 Juli 2014 atau jika harus dilakukan 2 putaran (semoga hanya 1 putaran demi efisiensi), kita berharap segenap WNI akan menyatukan semangat dan dukungan bulat kepada pasangan pemenang yang akan menakhodai perjalanan bangsa dalam 5 tahun ke depan dengan segala tantangan dan masalah yang menghadang.

Fatsun politik - Vox Populi Vox Deo, suara rakyat yang akan menetapkan pemenang Pilpres 2014 adalah suara Tuhan, masih berlaku.

Pasca pesta akbar demokrasi nanti, kita berharap segenap unsur, kekuatan dan semangat yang dimiliki komponen bangsa haruslah mendukung pencapaian Visi dan Misi Pimpinan tertinggi negara yang semata-mata adalah demi kesejahteraan dan kemakmuran segenap rakyat.

Sejatinya, di hadapan mata telah terbentang betapa luasnya ramifikasi permasalahan nasional yang tengah dan akan dihadapi oleh bangsa. Kita menyadari bahwa masalah tidak akan pernah selesai jika nakhoda yang memimpin tidak mampu memahami-memetakan persoalan yang menghadang dan yakin dengan keberhasilan kiat-kiat pemecahannya.

Presiden ke-8 harus menjadi pemecah masalah bangsa, bukan sebaliknya sebagai penambah atau bagian dari masalah yang sudah ada.

Segenap rakyat telah menyimak isu-isu yang dijual pada masa kampanye oleh 2 capres yang dengan berani dan trengginas, berjanji melalui Visi dan Misi yang akan dicapai seandainya pasangan mereka diberi mandat oleh rakyat untuk memimpin untuk menyelesaikan masalah bangsa dalam 5 tahun.

Dari sekian panjang daftar persoalan utama dan terutama yang dihadapi bangsa dan negara sebagai 'jualan' para capres, ragam wacana dan rencana yang dibumbui dengan tawaran kiat dan teknik, kebijakan dan langkah yang akan diambil seandainya jika terpilih kelak, isu swasembada alias ketahanan pangan dan energi merupakan topik yang sangat menarik untuk menarik simpati pemilih.

Sebagai negara maritim dan agraris , pada jaman Orba dengan bangga kita pernah memproklamirkan diri sebagai sebuah negara yang mampu swa sembada pangan dan kita bangga pernah diganjar penghargaan oleh FAO pada tahun 1990-an yang diterima oleh mantan Presiden Suharto atas nama bangsa dan rakyat Indonesia.

Sayangnya prestasi itu labil dan tidak bertahan lama, angin-anginan, kadang swasembada, kadang harus mengimpor sederet kebutuhan dapur.

Bahkan agak memelas dan cukup memilukan jika sekarang sebagai negara agraris masih doyan mengimpor sejumlah komoditi pangan utama sebut saja gula, bawang, beras, kedelai, garam hingga cabai, yang sejatinya dapat tumbuh subur di bumi nusantara yang sering dijuluki bagai untaian Zamrud di Khatulistiwa.

Jelas bahwa kita sudah terlampau lama terlena, menikmati berbagai jargon-jargon pujian kekayaan sumber alam bumi pertiwi. Masih segar dalam ingatan lirik 'lagu puji diri' nya Koes Ploes, bertajuk "Bukan Lautan Hanya Kolam Susu dst", apa saja ada dan bisa tumbuh di bumi pertiwi.

Perlu tindakan fokus dan kemauan politik yang kuat.

Saya yakin, Presiden dan Wapres terpilih pada pilpres 2014 sesuai dengan janji pemilu yang diumbar adalah merupakan sosok pemberani untuk mengembalikan kejayaan negeri, yang pernah memiliki ketahanan pangan dan energi (fosil) yang piawi dan tersohor di masa lalu.

Visi dan Misi temasuk urusan ketahanan pangan dan energi telah digembar gemborkan dan dikumandangkan selama kampanye. Saya juga haqul yakin, sekali lagi yakin sebagai sebuah negara maritim menamai diri bak untaian Zamrud di Khatulistiwa, Presiden terpilih dengan dukungan para ahli dalam banyak hal sebagai aset bangsa dan segenap rakyat Indonesia akan mampu mengembalikan kedigdayaan ketahanan pangan dan energi (non fosil) nasional.

Sebagai negara agraris dengan kemauan politik yang kokoh, kuat serta tindakan fokus dan terarah, maka swasembada dan ketahanan energi dari sumber fosil yang akan segera punah akan dapat digantikan oleh energi terbarukan berbasis pertanian (sebut saja tebu, kedelai, singkong, jarak, geothermal, PLTA, dll.)

Tidak terbilang jumlah studi banding tentang ketahanan energi terbarukan yang dilakukan oleh kalangan eksekutif dan legislatif ke manca negara, namun disayangkan belum mampu menunjukkan hasil yang konkrit yang sepadan dengan biaya yang telah dihabiskan selama ini.

Contoh nyata ialah, revitalisasi sektor pertanian a.l. kedelai dan gula belum fokus dan terkesan masih berwujud wacana padahal sejatinya tidak berhenti pada tataran MoU semata yang kebanyakan baru sebagai pemantas isi lemari arsip.

Contoh sederhana lainnya adalah puluhan misi teknis telah melakukan anjang sana dalam 5-7 tahun terakhir sebut saja ke Brazil, Colombia dan negara Amerika Latin lainnya yang harus diakui piawi dan unggul di sektor pertanian (kedelai dan tebu). Brazil sejak lama menawarkan kerjasama teknik di bidang kedelai yang telah mampu memproduksi 2 ton per Ha (rata rata produksi totoal nasional 50 juta ton per tahun).

Sangat jauh dibanding Indonesia yang 'katanya' hanya memiliki lahan seluas 1 juta Ha saja dengan produktifitas hanya sekitar 800 kg per Ha sehingga produksi per tahun hanya 800.000 kg (bandingkan dengan produktifitas Brazil yang mencapai rata-rata 1.5 ton hingga 2 ton/ha).

Sementara kebutuhan nasional kedelai RI sekitar 1.3 juta pertahun sehingga harus mengimpor kedelai rata rata 400.000 sampai 500.000 ton per tahun menutupi kekurangan kebutuhan kedelai dalam negeri yang terkemuka sebagai konsumen tahu dan tempe dari masa ke masa.

Data ini menggambarkan betapa ketahanan kedelai kita yang masih lemah. Sejatinya pemangku kepentingan sudah memahami, mengetahui potensi masalah dan jalan keluarnya tanpa melakukan impor yang berpotensi menjadi sumber korupsi jika tidak dikelola dengan baik dan transparan.

Brazil telah menawarkan kerjasama teknik (rekayasa genetika bibit) di bidang tebu dan kedelai, tunggu apa lagi? Wallahu alam. Mudah-mudahan Jokowi atau Prabowo kelak akan fokus serius menuntaskan salah satu persoalan ketahanan pangan nasional yang penting ini.

Sederet landasan kerjasama telah lama ada, tingggal menunggu tindakan fokus dan komitmen kepala negara terpilih yad.

Di sektor ketahanan energi terbarukan revitalisasi tanaman tebu (dengan rendeman tebu nasional rata-rata 5-6) sejatinya dapat direkayasa-ditingkatkan dengan menyambar tawaran kerjasama teknik dari Brazil dan Colombia yang memiliki rendeman tebu rata rata 8-10).

Jika luas lahan yang terbatas menjadi alasan penghambat revitalisasi, tentu dengan komitmen dan kemauan politik dapat disiasati dengan menghentikan/tidak memperpanjang sebagian kontrak/konsesi ijin perkebunan yang jatuh tempo tanpa menambah lahan baru yang berpotensi merusak hutan lindung dll.

Brasil memiliki kebijakan pertanian dan perkebunan nasional tidak akan menambah luas lahan, namun komit meningkatkan produktifitas bibit tanaman pertanian-perkebunan melalui EMBRAPA (Litbang Pertanian Brazil) yang dapat dicontoh.

Kita menunggu dan menggantungkan harapan kepada Presiden RI terpilih 2014, agar berani tampil dan mewujudkan janji berupa kemauan politik dan tindakan fokus menyelesaikan persoalan bangsa.

Sama halnya dengan sektor persapian nasional, yang sudah saatnya menghentikan impor dari jiran, karena sejatinya kita memiliki kemampuan (lahan dan pusat breeding a.l. Gunung Salak Bogor, Bandung, dll yang dapat ditingkatkan), sayangnya masih dinodai Nir-kemauan yang kuat dan tindakan fokus dari peemangku kepentingan yang masih doyan impor.

Ketahanan energi berbasis agraris (biodisel, bioethanol) utamanya tebu, kedelai atau singkong dapat terlaksana dengan baik, hanya dengan tindakan yang fokus didasari kemauan politik yang tegas dan aturan yang jelas.

Kita tidak perlu malu hati mengkopi paste sistem tata kelola energi terbarukan Brazil yang telah memiliki Visi dan Misi ekonomi dan energi hijau berbasis ethanol-bioethanol dengan membuat UU sejak tahun 1930 an sehingga sektor pertanian terintegrasi dengan sektor industri otomotif (flex fuel).

Sama halnya ketika kita tidak malu mengkopi paste sistem Busway dari Brazil dan Colombia. Dilandasi UU dan kepastian hukum maka gairah bisnis akan terjamin sehingga seberapa pun harga gula di pasar internasional, produsen gula wajib menyisihkan bahan baku tebu (molasse) untuk memproduksi bioethanol mengingat UU dengan tegas mengatur kewajiban campuran 25% ethanol pada bensin sehingga produsen otomotif flex fuel tetap berjaya dan bergairah.

Selamat buat capres yang akan terpilih, karya nyata dan kemauan politik anda dinantikan oleh segenap bangsa Indonesia, yang perlu bukti, bukan janji !


Sahat Sitorus
sahatsitorus@yahoo.com
081219612125

(wwn/wwn)



Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Hide Ads