Siasat Merespon Paket Bali

Siasat Merespon Paket Bali

Putra Pratama - detikNews
Jumat, 25 Apr 2014 14:39 WIB
Siasat Merespon Paket Bali
Jakarta - Paket Bali atau Bali Package (The 9th WTO Ministerial Conference), demikian mantan Menteri Keuangan RI, Gita Wirjawan menyebutnya, merupakan hasil perundingan perdagangan internasional yang diselenggarakan 3 s/d 6 Desember 2013 silam di Bali.

Perundingan tingkat menteri ini diselenggarakan dalam kemasan World Trade Organization (WTO). Sejatinya perundingan ini adalah upaya negara-negara anggota untuk membuka kembali perundingan pada Putaran Doha 2001 yang mengalami stagnasi.

Situasi yang demikian adalah resultan dari 'ego' negara-negara maju yang cenderung kurang kompromi dengan kepentingan negara-negara berkembang dan tertinggal, khususnya terkait agrikultur (agriculture).

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Solusi (sementara)

Perundingan tingkat menteri tersebut menghasilkan 3 kesepakatan pokok, yaitu kesepakatan dalam fasilitasi perdagangan (trade facilitation), kemudahan sistem lalu lintas perdagangan bagi negara-negara berkembang dan negara-negara kurang berkembang (Least Development Countries (LDCs)).

Dan yang terakhir agrikultur (agriculture), dimana negara berkembang dan kurang berkembang dapat memberikan subsidi bagi industri pertanian mereka yang besarannya bisa mencapai 15 %. Ya, sekilas kesepakatan ini menjadi angin segar bagi negara berkembang dan kurang berkembang. Namun benarkah demikian?

Kesepakatan terkait subsidi yang dapat mencapai 15% tersebut adalah kesepakatan bersyarat, artinya 'kelonggaran' subsidi tersebut hanya diberikan dalam kurun waktu 4 tahun sejak Paket Bali ini diberlakukan.

Negara-negara maju memberikan kelonggaran subsidi untuk 'membantu' negara-negara berkembang dan kurang berkembang dalam membenahi ketahanan pangan nasionalnya.

Masa inilah yang kemudian disebut dengan interim solution. Jika demikian, bagaimana kita sebagai pihak yang terikat dalam kesepakatan ini menyiasati kebijakan subsidi yang akan kadaluarsa di tahun 2017 nanti?

Siasat

Seperti hasil perundingan lainnya, Paket Bali adalah produk negosiasi yang sarat kepentingan. Dengan kata lain dalam Paket Bali itu terdapat distribusi kepentingan negara-negara anggota peserta konfrensi. Memang distribusi kepentingan sangat lumrah dalam suatu negosiasi mengingat objek dan tujuan negosiasi para pihak adalah sama (Korobkin, 2009 : 14).

Yang menjadi permasalahan adalah terkadang produk negosiasi itu tidak proporsional. Pun demikian, sebagai bangsa yang taat pada asas-asas perjanjian internasional, Indonesia seyogianya melaksanakan kesepakatan WTO dengan tetap memperhatikan kepentingan nasional.

Ketaatan terhadap kesepakatan yang tertuang dalam Paket Bali tersebut juga dapat dimaknai dengan melakukan langkah-langkah strategis dan taktis. Hal ini untuk menyiasati kebijakan subsidi 15% yang akan kadaluarsa pada tahun 2017. Terkait hal ini penulis melihat ada beberapa hal yang dapat dilakukan pemerintah sebagai pengambil kebijakan.

Pertama. Memaksimalkan penggunaan dana pendapatan desa yang bersumber dari alokasi APBN dengan mengefektifkan program-program peningkatan keahlian dan pengelolaan lahan pertanian bagi petani di wilayah pedesaan.

Perihal pendanaan ini, kita telah memiliki payung hukum berupa Undang-Undang No. 6 Tahun 2014 tentang Desa. Secara khusus hal tersebut dilegitimasi dalam pasal 72 ayat (1) huruf b dan Pasal 72.

Masih terkait dengan peningkatan keahlian petani, saat ini pemerintah Indonesia sedang melakukan kerjasama bidang pertanian dengan pemerintah Belanda yang disebut vegIMPACT (vegetable production with impact).

Oleh karena itu, Indonesia perlu memanfaatkan momentum kerjasama ini dengan mempelajari secara mendalam ilmu dan pola-pola teknis pengolahan dan peningkatan pangan khususnya pada sektor sayur-sayuran. Harus diakui, Belanda merupakan salah satu negara di Eropa dengan manajemen pertanian terbaik.

Selain peningkatan keahlian, petani juga harus dibekali informasi yang cukup tentang standar kesehatan dan keselamatan hasil-hasil produk pertanian sehingga produk-produk hasil pertanian kita dapat bersaing di pasar internasional.

Akhirnya, kita tidak hanya berhasil menjaga ketahanan pangan dan mengurangi importasi, tetapi juga mempertegas keunggulan kita sebagai negara agraris, kaya akan sumber daya alam.

Kedua, peningkatan infrastruktur penunjang pertanian. Infrastruktur tersebut antara lain berupa jalan, sanitasi, irigasi dan tidak kalah pentingnya adalah laboratorium teknis berstandar internasional. Laboratorium ini penting untuk menguji tingkat keamanan dan kesehatan produk-produk hasil pertanian.

Selain itu perlu juga dilakukan revitalisasi Balai Pengujian dan Sertifikasi Mutu Barang (BPSMB). Seiiring dengan membaiknya infratruktur, khususnya dalam hal pertanian, maka di masa yang akan datang hambatan-hambatan teknis dalam pengembangan dan peningkatan hasil pertanian tidak lagi menjadi masalah yang signifikan.

Ketiga, membuat rencana strategi jangka panjang dalam rangka pemberian subsidi bidang pertanian. Pada APBN 2014 subsidi pupuk dan benih ada pada kisaran 22,6 triliun rupiah ditambah Dana Alokasi Khusus (DAK) untuk bidang pertanian sebesar 2.6 triliun.

Pemberian subsidi maupun state aid dalam APBN tahun-tahun selanjutnya khususnya pada tahun 2017 perlu memperhatikan kesepakatan besaran subsidi yang disepakati dalam Paket Bali, yaitu sekitar 10 sampai dengan 15 %. Terlebih kelonggaran subsidi tersebut akan berakhir pada tahun 2017.

Salah satu siasat yang dapat dilaksanakan adalah pemberian subsidi tidak langsung. Misalnya dengan peningkatan alokasi dana untuk pengadaan pada sector-sektor terkait distribusi hasil pertanian, salah satunya sarana transportasi atau opsi lain misalnya peningkatan kredit dengan suku bunga kecil bagi petani di pedesaan.

Namun demikian sekali lagi bahwa langkah-langkah ini harus tetap memperhatikan asas-asas seperti national treatment, non-discrimin atory, dan most favoured nation (MFN) dalam ruang WTO.

Keempat, melakukan konsolidasi yang intensif dengan negara-negara anggota G-33 untuk memperjuangkan kepentingan negara-negara berkembang khususnya terkait Agreement on Agriculture (AoA) pada KTM WTO tahun 2017 nanti.

Terakhir dan tidak kalah pentingnya, pemerintah perlu melanjutkan dan meningkatkan kesempatan putra-putri terbaik bangsa untuk membekali diri dengan berbagai keterampilan dan keahlian, khususnya dalam bidang perdangangan dan diplomasi internasional.

Keahlian dalam berargumentasi dan penguasaan hukum perdagangan internasional sangat dibutuhkan guna memperjuangkan kepentingan bangsa Indonesia di badan penyelesaian sengketa (dispute settlement body) WTO apabila dikemudian hari Indonesia menjadi pihak yang bersengketa.

Mengingat dunia perdagangan Internasional yang begitu dinamis maka dibutuhkan kebijakan pemerintah yang taktis guna melidungi kepentingan bangsa dan menjamin kesejahteraan rakyat.

Kebijakan Presiden Indonesia terpilih untuk periode 2014-2019 ini nantinya akan sangat menentukan bagaimana Indonesia merespon isu-isu sensitif dan memainkan peran dalam dunia perdagangan internasional. Layak ditunggu.

*Penulis adalah mahasiswa semester pertama pada program Master of European Business Law, Radboud University, Nijmegen, Belanda. Sekaligus Penerima Beasiswa LDPD Kementerian Keuangan RI.


Putra Pratama
Prof. Broomstraat, Nijmegen
putrasiregar15@yahoo.com

(wwn/wwn)



Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 


Hide Ads