Persoalannya adalah ada satu hal yang begitu dekat dengan keseharian kita namun seringkali luput atau dilupakan ketika bencana itu datang, yakni arsip (khalayak sering menyebutnya dokumen).
Sertifikat rumah, ijazah, akta perusahaan dan lainnya itu dengan segala rupa macam bentuknya, kerap luput dari perhatian. Padahal arsip tersebut merupakan sumber legitimasi bagi kepemilikan atau keabsahan, menyangkut dengan kelanggengan hak keperdataan seseorang atau insitusi.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Bagaimana mengetahui kinerja pemeri ntahan ketika arsip yang menjadi bukti tercatat rusak atau musnah?
Persoalannya kini adalah pelindungan dan penyelamatan arsip dari bencana belum terekspose secara gamblang.
Padahal terang tercantum dalam Pasal 34 ayat (3) UU No.43/2009 tentang Kearsipan bahwa negara menyelenggarakan pelindungan dan penyelamatan arsip dari bencana alam, bencana sosial, perang, tindakan kriminal, serta tindakan kejahatan yang mengandung unsur sabotase, spionase, dan terorisme.
Hal ini sekaligus menegaskan bahwa sejatinya masalah pelindungan dan penyelamatan arsip menjadi bagian yang inheren dalam kebijakan penanggulangan bencana.
Indonesia dan Bencana
Banjir hanyalah salah satu dari sekian banyak jenis bencana yang 'ada' di Indonesia. Bahkan menurut Badan Perserikatan Bangsa-Bangsa Untuk Strategi Internasional pengurangan Risiko Bencana (UN-ISDR), sebagaimana dilansir oleh bbc.co.uk (10/08/2011), Indonesia menjadi negara yang paling rawan terhadap bencana di dunia.
Bencana Tsunami Aceh tahun 2004 menggambarkan betapa dahsyatnya dampak dari bencana. Belum lagi barisan gunung berapi aktif, gempa bumi, kerusuhan sosial dan lain-lain.
Kondisi tersebut idealnya membuka mata bahwa dengan tingkat kerawanan yang tinggi, maka konsekuensinya adalah dibutuhkan pula upaya yang ekstra untuk meminimalisir risiko.
Dengan kerawanan bencana yang tinggi, maka risiko terhadap kerusakan yang ditimbulkan oleh bencana terhadap arsip pastilah juga tinggi. Ketika hal ini tidak diterjemahkan dalam aksi pelindungan dan penyelamatan arsip maka kehancuran dan kemusnahan arsip menjadi tak terhindarkan.
Padahal kehancuran dan kemusnahan arsip tersebut bisa dihindari. Pada posisi ini, negaralah yang memiliki tanggungjawab dan dapat mewujudkan itu melalui segenap perangkatnya.
Arsip Nasional RI (ANRI): Keseriusan Negara Dalam Pelindungan dan Penyelamatan Arsip
ANRI adalah tangan negara dalam menangani masalah kearsipan. Sebuah Lembaga Negara Non Kementerian (LPNK) yang menjadi 'mpu' kearsipan di republik ini.
Dengan segala keterbatasannya, ANRI mengupayakan pelindungan dan penyelamatan arsip ini tidak saja ketika paska bencana melalui upaya perbaikan (restorasi) arsip melainkan juga melalui implementasi kebijakan penyelenggaraan kearsipan secara total agar risiko rusaknya atau musnahnya arsip menjadi sangat-sangat minimal.
Kasus Tsunami Aceh menjadi contoh konkret bagaimana pelindungan dan penyelamatan arsip itu berlangsung dan bagaimana faedah dari usaha tersebut tergambar nyata. Ketika itu puluhan ribu arsip (sertifikat tanah) dengan volume 840 meter kubik berhasil diperbaiki oleh ANRI melalui teknik pembersihan berteknologi Jepang (http://www.suarakarya-online.com, 21/03/2007).
Pada kejadian banjir besar Jakarta beberapa tahun lalu, ANRI juga membentuk gugus kerja untuk menangani arsip-arsip terdampak banjir milik instansi pemerintah.
Gugus kerja ini terus berlanjut sebagai bagian dari upaya pelindungan dan penyelamatan arsip dengan pertimbangan bahwa bencana banjir di Jakarta merupakan bencana yang berkelanjutan.
Di tahun 2014 ini, mengingat banjir kembali meluas, ANRI terbuka bagi masyarakat umum untuk merestorasi (memperbaiki) arsip yang terkena banjir atau bencana alam lainnya, tanpa dipungut biaya (detik.com, 28/01/2014).
Persoalannya adalah dalam suatu proses penanggulangan bencana, dibutuhkan upaya yang melibatkan seluruh potensi pemerintah, swasta dan masyarakat serta segenap elemen lainnya. Pun begitu dengan pelindungan dan penyelamatan arsip, ANRI membutuhkan sokongan semua pihak agar dapat berkiprah secara optimal.
Saat ini yang dibutuhkan dalam konteks jangka panjang adalah dengan tidak saja fokus pada paska bencana, melainkan juga pada upaya sebelum terjadi bencana. Restorasi arsip sebagai tindakan paska bencana merupakan hanya sebagian dari keseluruhan proses pelindungan dan penyelamatan arsip.
Itulah mengapa dibutuhkan juga tindakan sebelum terjadinya bencana dengan mengurangi risiko yang ditimbulkan bencana melalui implementasi kebijakan kearsipan.
Pada titik ini, tidak bisa tidak, pemerintah harus menguatkan simpul-simpul ANRI, dengan cara mengoptimalkan Lembaga Kearsipan Daerah (LKD) ditiap-tiap Provinsi dan Kab/kota.
Dengan bukti nyata betapa Indonesia rawan bencana, tinggalkanlah paradigma lama yang berpandangan bahwa LKD hanya sekedar tempat penyimpanan arsip.
LKD merupakan institusi yang memastikan terselenggaranya kearsipan yang sesuai kaidah, bukan sekedar tempat singgah dan penyimpanan. Sehingga pelindungan dan penyelamatan arsip bisa terselenggara.
Pada titik ini pulalah segenap instansi pemerintah sudah saatnya untuk menyertakan pelindungan dan penyelamatan arsip dalam skema strategi penanggulangan bencana. Hal ini dilakukan melalui pemantapan sistem kearsipan di lingkungan instansi masing-masing.
Dari uraian ini, pada dasarnya tergambar, keseriusan negara dalam pelindungan dan penyelamatan arsip terlihat pada sejauhmana dukungan yang diberikan negara terhadap ANRI dan segenap simpulnya.
Selain itu pula dapat dilihat pada sejauhmana negara memungkinkan terjadinya suatu sinergi antar elemen sehingga pelindungan dan penyelamatan arsip ini menjadi bagian yang tak terpisahkan dari kebijakan penanggulangan bencana.
Sehingga amanah yang termaktub dalam UU.NO.43/2009 tentang Kearsipan dan peraturan lainnya mewujud tak terkhianati.
*Penulis adalah Peneliti di Pusat Pengkajian dan Pengembangan Sistem Kearsipan (Pusjibang Siskar)
Harry Bawono
Jl Ampera Raya, Jakarta Selatan
feuerbaw@gmail.com
(wwn/wwn)











































