Bagi 60% warga Ibukota tercinta kita ini, angkutan publik atau angkutan umum merupakan prasarana yang sangat lumrah digunakan untuk bepergian. Mulai dari pergi ke kantor, sekedar mampir di pusat perbelanjaan, berobat ke rumah sakit dan lain sebagainya.
Pada dasarnya dengan semakin macetnya ibukota, masyarakat mulai berpikir mengubah gaya hidup dengan menggunakan angkutan umum atau publik.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Tak pelak, jumlah bus yang melayani trayek tersebut juga semakin banyak bahkan pemerintah daerah Daerah Khusus Ibukota melakukan terobosan dengan menyediakan Angkutan Perbatasan Terintegrasi Bus Transjakarta (APTB) bagi masyarakat yang tinggal di daerah-daerah tersebut.
Kehidupan pengguna bus di Jakarta ini tak akan terlepas dari kehidupan para seniman jalanan, biasa begitu mereka menyebut dirinya. Mulai dari yang paling umum sebagai vokalis, mini band, hingga yang sangat tinggi tingkat literasinya yakni penyair.
Tak hanya kaum muda, kaum lansia hingga anak di bawah usia bekerja pun turut serta menjadi seniman jalanan ini.
Bagi sebagian (kecil) masyarakat, hal tersebut mereka maklumi sebagai bentuk sama-sama mencari rezeki. Tapi bagi sebagian (besar pastinya) lain, hal tersebut merupakan bentuk katakanlah tekanan-tekanan non teknis selain tekanan teknis yang mereka hadapi di pekerjaan masing-masing.
Mengapa demikian? Tak sedikit dari para seniman jalanan tersebut utamanya yang 'seharusnya' menjual suara, gagal menonjolkan suara tersebut.
Lebih teringat nampaknya bagi para penumpang tersebut adalah cerita-cerita sedih yang diuraikan atau sekadar 1-2 gertakan, paling terkenal adalah: "Daripada kami mencopet, merampok, lebih baik Kami meminta-minta dan mengamen".
Siapa juga yang akan sudi menganggap itu sebagai bentuk hiburan dari seniman kepada para penikmat seni lainnya. Di akhir pertunjukkan singkat di dalam bus tersebut sudah barang tentu para pembaca yang budiman dapat terka, tak sedikit penumpang yang menelungkupkan tangan sambil berkata 'MAAF BANG!'.
Jadi tak salah juga pada akhirnya keluar Peraturan Daerah (Perda) DKI Nomor 8 Tahun 2007 tentang Ketertiban Umum. Dalam Pasal 40 perda tersebut, setiap orang atau badan dilarang menjadi pengemis, pengamen, pedagang asongan, dan pengelap mobil.
Larangan juga termasuk menyuruh orang lain menjadi pengemis, pengamen, pedagang asongan, dan pengelap mobil. Orang atau badan pun dilarang membeli kepada pedagang asongan atau memberikan sejumlah uang atau barang kepada pengemis, pengamen, dan pengelap mobil.
Berdasarkan Perda tersebut sudah jelas betul larangan atas pemberian sejumlah uang (mohon dicatat 'gopek' itu juga sejumlah uang) kepada para pengemis dan pengamen.
Sepintas Perda yang dibuat oleh Pejabat-pejabat Ibukota Negera ini tidak ada Pro sama sekali ke rakyat kecil. Katanya pemerintah Pro rakyat, tapi orang mencari rezeki dihalang-halangi? Kalau ada yang berkata begitu, pastilah dia setiap hari mengemis dan mengamen.
Jadi pengamen itu kalau hanya mengandalkan cerita sedih dan gertak menggertak tak terlalu sulit kalau hanya demi sebungkus nasi tiap waktu makan (pagi, siang, malam).
Katakan sebungkus nasi beserta lauk seharga Rp 10,000. Mereka butuh 3 kali makan maka menjadi Rp 30 ribu. Ditambahkan lagi keluarga mereka dengan 1 istri dan 3 anak maka sehari mereka membutuhkan Rp 150 ribu.
Sekarang dari sisi pendapatan mereka. Dalam 1 jam mereka dapat menyambangi minimum 8 bus atau mini bus, dimana 1 bus paling tidak mereka mendapat Rp 5.000 maka 1 jam Rp 40 ribu. Jika waktu kerja sama dengan orang kantoran pada umumnya yakni 8 jam, maka total pendapatan mereka adalah Rp 320.000.
Jika katakanlah setiap hari mereka selalu makan di warung maka masih akan tersedia Rp 5,1 Juta sisa dari penyisihan Pendapatan dikurangi makan sekeluarga tiap hari selama 30 hari. Enak tho? Kalau Perda ini ditegakkan sebetul-betulnya maka kenikmatan tersebut dapat sirna dalam sekejap.
Dari gambaran tersebut maka tak salah jika mengamen dengan jualan cerita sedih dan gertakan begitu menggiurkan dan aduhai bagi banyak seniman jalan. Walaupun demikian, mutiara walaupun terbenam dalam lumpur tetaplah mutiara.
Dari sekian banyak seniman jalanan yang demikian, toh masih ada juga mereka-mereka yang berkilau bak mutiara. Apa yang mereka suguhkan bukan sekadar ceritera pilu atau sekadar gertakan penciut nyali. Mereka suguhkan apa yang disebut kerja keras dan seni bernyayi.
Tak dapat pula disebut sekelas para peserta di ajang pencarian bakat macam Indonesian Idol namun tak salah jika menyebut bahwa alumni seniman jalanan ada yang pernah dianggap pandai lagi berbakat hingga juarai kompetisi tersebut. Bagai pepatah nila setitik rusak susu sebelanga, yang pandai lagi menghibur itu pun terkena dampak atas pemberlakuan Perda tersebut.
Jika pemerintah Ibukota hendak menertibkan hendaknya juga mereka-mereka yang cerdik pandai ini dibina pula agar tak hilang bakat alam itu. Bak sekali merengkuh dayung dua tiga pulau telampaui.
Menerapkan dan menegaskan akan Perda tersebut namun juga memberikan dukungan serta penyaluran profesi kepada mereka yang patut berprofesi sebagai seniman. Cobalah tiru dalam hal ini aksi dari Negara tetangga, Singapura.
Di Negeri Singa tersebut, para pengamen atau buskers diizinkan untuk pentas di depan publik atau jalanan dengan syarat tertentu. Tak bisa dibilang mudah tapi jika ingin maju maka harus ada usaha juga.
Langkah awal adalah para pengamen tersebut diharuskan mengisi lembar aplikasi/pendaftaran. Kemudian buskers tersebut diwajibkan datang ke sebuah pelatihan khusus sebelum melakukan audisi pada waktu yang telah ditetapkan.
Pada saat audisi inilah mereka dinilai kelayakan serta potensi seninya sehingga bagi mereka yang dinilai mampu akan mendapatkan lisensi untuk mengadakan pertunjukan atau ngamen.
Lisensi ini memiliki masa kadaluwarsa 1 tahun atau 2 tahun bagi peserta terpilih. Untuk memeroleh perpanjangan lisensi ini, para pengamen ini diwajibkan audisi ulang untuk dinilai kembali kelaikkan skill mereka.
Pada akhirnya, semua hal ada sisi positif dan negatif. Bahwa bagaimana kita dapat memeroleh sisi positif dan menyikapi dengan positif sehingga akan timbul niat positif andaipun kegiatan di luar sana dirasa negatif bagi kita.
Jikalau ini dapat terwujud, pastilah Ibukota yang berpenduduk nomer 4 terpadat di dunia ini dapat menikmati seni yang benar-benar dapat menenangkan hati dan menentramkan pikiran bukan sebaliknya sebagai tekanan non teknis selain kegiatan kantor yang kita geluti tiap hari.
Haikal Ananta
Komplek Jatibening, Bekasi
haikal.ananta@yahoo.com
08568836816
(wwn/wwn)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini