ASEAN, EU Berikutnya?

ASEAN, EU Berikutnya?

- detikNews
Rabu, 29 Feb 2012 12:36 WIB
Jakarta - Secara kebetulan sewaktu berada di Jakarta, saya melihat undangan kuliah umum yang akan diberikan oleh bekas Menteri Pertahanan Amerika Serikat, William S. Cohen, di jaman pemerintahan Bill Clinton.

Bertempat di sekretariat ASEAN, Kebayoran Baru, yakni pada tanggal 9 January beberapa waktu lalu. Bergegas setelah mengikuti sebuah rapat, saya meluncur kesana, dan ternyata telah 5 menit kuliah ini telah berlangsung, dengan introduksi dari Dr. Surin Pitsuwan, Sekretaris Jendral ASEAN dan juga didampingi oleh dutabesar Amerika untuk ASEAN.

Topik yang dibawakan adalah sebagai berkut: "US's thinking and strategies to ASEAN, including highlights of the ASEAN-US Dialogue Relations, the US's thinking towards the emerging regional architecture, potential hotspots in the region as well as the US non-proliferation policy."

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Yang secara sederhana diartikan bagaimana pandangan dan strategi Amerika terhadap ASEAN setelah Amerika dan Eropa mengalami krisi yang mahadashyat, yang sampai sekarang belum juga ditemukan obat mujarabnya.

Yang kalau kembali dianalisa adalah bagaimana melalui ASEAN , negara yang sedang mengalami krisis ini dapat meng-internasionalisasikan produknya dan menahan gempuran dashyat produk-produk dari negara tirai bambu, alias Cina.

Jadi menurut opini saya untuk kesekian kalinya negara-negara yang tergabung dalam ASEAN memperoleh perannya, yang kalau dalam krisis ekonomi Asia, 1997, sebagai jalan meloloskan demokrasi, liberalisasi, deregulasi sedangkan pada krisis negara-negara maju kali ini, 2008, adalah sebagai spazio atau tempat berjualan dan penetrasi produk, untuk menghadapi jualan si Naga.

Pengalaman saya berada di komunitas Eropa (disingkat EU) selama hampir 2 tahun mengajarkan beberapa hal yang sangat menarik untuk diperhatikan oleh kongsi dagang seperti ASEAN.

Perbedaan kultur (cultural diversity), sewaktu EU masih 15 negara anggota saja, yang namanya rapat koordinasi untuk memutusan sebuah kebijaksaan, sebagai contoh;

Mengenai masalah pressure equipment directive, membutuhkan waktu tahunan untuk mencari musyawarah untuk mufakat, dikarenakan masing masing anggota memiliki kepentingan nasionalis yang sama kuatnya, tidak melihat apakah anda dari negara Italia yang berpenduduk 50 juta warga, ataukah Belgia dengan jumlah penduduk yang hanya seperlimanya.

Hal ini tentunya tidak mengherankan apa yang pembaca bayangkan mengenai kasus penyelesaian utang negara kecil seperti Yunani.

Belum lagi dimana anekdot-anekdot yang tadinya saya anggap gosip pasar, adalah memang kenyataan dan terlihat dalam sidang, misalnya wakil Inggris yang merasa tidak nyaman dengan terjemahan dokumen yang kental dengan apa namanya continental English.

Peracis dengan ulasannya yang panjang lebar sebelum sampai kepada masalah pokoknya, Jerman yang sangat straight forward, sehingga mungkin bagi mereka sidang hanya butuh waktu paling lama 1 jam, dimana ini adalah waktu siesta bagi delegasi Spanyol.

Very interesting! Untungnya dalam hal ini Pak Sekjen dengan commitmentnya memutuskan English sebagai bahasa utama di ASEAN dan bukan masing masing bahasa dari para anggota, tapi bagaimana dengan unsur budaya lainnya.

Perjanjian multilateral, bilateral dan lateral lainnya, yang menurut pengalaman saya merupakan bypass dari banyak negara, terutama negara dengan pengaruh besar seperti Cina, Amerika dalam mengadakan negosiasi bisnis, dengan melihat celah celah mana yang paling lemah dalam setiap anggota dari kongsi dagang ini.

Ancaman di South China Sea, ataupun konflik antara India dan Pakistan memang juga mengemuka dalam kuliah terbuka kali ini, dan ini merupakan api dalam sekam, yang dimana kongsi kongsi perdagangan mencoba untuk menyelimutinya, namun dalam salahsatu tulisan saya, kenyataan PDII mengingatkan bahwa kongsi/kongsi ini tidak menjamin hal itu.

Jadi seperti yang diungkap oleh Hon William Cohen, EU bukan United States of Europe, lain halnya dengan USA, sehingga ada sebuah pengalaman menarik dimana kementrian dari negara-negara besar ini, hanya sowan ke EU, tapi untuk masuk ke pasar mereka melalui negara anggota yang paling mudah, murah dan miskin sehingga hasil yang diperoleh lebih cepat, efisien dan efektif, moga moga Indonesia bukan merupakan negara anggota itu. Semoga!

*Penulis adalah pengamat komunitas Eropa dari ESE


Alexander Ludi
Jl PP IX OB 9 Depok
ludi2009@hotmail.co.uk
0812 12277488


(wwn/wwn)



Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Hide Ads