Industri Besar Modern VS Industri Kecil Tradisional

Industri Besar Modern VS Industri Kecil Tradisional

- detikNews
Sabtu, 10 Des 2011 19:46 WIB
Jakarta - Seberapa besarkah manfaat yang didapat oleh masyarakat industri kecil menengah dari terciptanya industri besar modern di Indonesia?

Di jaman globalisasi seperti sekarang, industri besar dan modern merupakan pilar utama pada setiap sektor pembangunan. Industri dipercaya sebagai sebuah instrumen penting yang dapat memenuhi segala kebutuhan masyarakat dunia.

Dengan dalil itulah, istilah industri besar modern disegala bidang dan menyangkut kebutuhan masyarakat luas tercipta dan terus "dikembang-biakkan" keberadaannya. Hingga kian hari, ia terus merebak menjadi serupa prajurit tempur yang siap dan terus menggerus peran manusia.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Industri itu sendiri sebenarnya terbagi atas beberapa klasifikasi, diantaranya; industri kecil, menengah dan besar. Masing-masing keberadaannya pun tidak luput dari persaingan ketat. Dalam persaingannya itu akan dapat diperkirakan, siapa kira-kira yang akan menjadi pemenang. Industri besar modern tentunya. Produk industri beragam jenisnya. Ada yang murni buah karya pradaban modern, kontemporer dan tradisional.

Dengan keberadaan industri besar modern pada suatu kehidupan masyarakat, suka atau tidak, akan melahirkan sebuah pradaban baru. Maka konsekwensi logis yang harus diterima adalah; pradaban lama (tradisional) akan terkikis dan kemudian hilang digerus laju jaman. Begitulah sepertinya hukum alam berlaku.

Sebagian besar negara-negara maju di dunia, mengandalkan industri besar modern untuk kemajuan bangsanya. Jepang misalnya. Pada umumnya, produk industri yang mereka ciptakan berupa produk modern yang mengembangkan atau melahirkan kebudayaan baru pada kehidupan manusia, seperti; handphone, televisi, radio, komputer dan lain sebagainya.

Keberadaannya dan perkembangannya pun mampu menjadikan masyarakatnya mapan, baik ekonomi maupun intelektual. Sebab lembaga-lembaga kebudayaan seperti pendidikan mereka turut mendorong masyarakatnya untuk memiliki spirit mengembangkan atau menciptakan sebuah produk baru.

Dari situ, dapat disimpulkan bahwa tujuan dari keberadaan industri besar dan modern pada sebuah negara, bukan saja hanya memenuhi kebutuhan manusia, atau memberikan keuntungan kepada penyelenggaranya, tetapi industri besar modern, juga harus mampu mendorong kemapanan kehidupan ekonomi dan intelektual pada masyarakatnya menjadi lebih baik.

Industri di Indonesia

Keberadaan industri di Indonesia, berbeda terbalik. Umumnya industri besar modern kita berbasis pradaban tradisional yang dimodernkan. Sebagai bangsa yang memiliki keberagaman budaya (karya cipta, rasa, dan karsa manusia) tradisional sejak dulu, untuk memenuhi kebutuhannya, masyarakat kita telah banyak membangun industri kebudayaan di daerahnya (tradisional) masing-masing. Biasanya industri kecil menengah tradisional yang mampu menerobos pangsa pasar nasional, akan menjelma menjadi industri besar dan modern. Peluang mendapatkan keuntungan besar pun tercipta.

Biasanya fenomena seperti ini secara perlahan-lahan akan mengubah penyelenggaraan industrinya. Baik pemilik maupun teknologinya. Dari industri kecil menengah, menjadi industri besar modern yang diselenggarakan oleh para pemilik modal besar. Oleh sebab itu industri kecil menengah yang mampu menerobos pasar nasional sebenarnya adalah ’petaka’. Karena pada umumnya eksistensi mereka secara tidak langsung akan 'dirampas' oleh industri besar modern.

Ambil contoh pengrajin batik misalnya. Setelah industri ini mampu menembus pangsa pasar nasional dan UNESCO menetapkannya sebagai warisan budaya dunia asal Indonesiaβ€”tehnik pembuatan karya ini, kian hari kian terus dikembangkan (menjadi modern). Maka konsekwensinya yang harus dirasakan oleh penggiat batik tradisional, seperti batik tulis Gajah Oling di Banyuwangi adalah keberadaannya akan terus tergilas gulung tikar oleh batik painting (Detik Surabaya 16/10/2009).

Saat ini industri batik memang dominan masih dikuasai kelompok usaha kecil menengah. Tetapi, suatu saat nanti, tidak menutup kemungkinan industri ini akan dikuasai oleh pemilik modal besar dan menjadi industri besar modern yang akan mematikan keberlangsungan industri kecil menengah.

Atau contoh lain, seperti industri jamu dan obat-obatan tradisional yang disuarakan Ketua GP Jamu Indonesia Charles Saerang misalnya. Mereka dikabarkan merugi hingga 90% dari total pendapatan per-bulan yang nilainya mencapai Rp 100 miliar dan terancam bangkrut dengan keberadaan industri modern jamu berbahan kimia (Liputan6.com 16/05/2006).

Atau contoh lain seperti industri kecil rokok di Madiun dan Kediri yang gulung tikar dan terus bertambah dari tahun ke tahun. Penyebab tak lain, karena kalah bersaing pasar dengan industri besar.

Dan kondisi itu pun semakin diperparah menjelang diterapkannya kebijakan pemerintah yakni Peraturan Menteri Keuangan Nomor 200 tahun 2008, yang salah satu isinya mewajibkan industri rokok kecil memiliki tempat usaha minimal 200 meter persegi (Kompas.com 29/11/2011).

Atau contoh kecil lain yang mungkin luput dari perhatian kita, seperti terasi misalnya. Sebuah produk kebudayaan yang jelas dan sejak dulu ada dan berkembang di kalangan masyarakat tradisional, kini keberadaannya terus digrogoti oleh industri besar modern terasi pabrikan. Sebut saja Markhamah seorang pemilik usaha industri kecil menengah terasi di Desa Ngaglik, Kecamatan Palang, Jawa Timur.

Ia mengaku, tak sebatang pun terasi produknya terkirim sebulan ini. Kondisi itu disebabkan oleh kondisi pasar yang makin tidak berpihak dan membanjirnya produk terasi pabrikan di pasaran (Kotatuban.com 17/08/2011). Belum lagi hantaman isu higienis yang kerapkali muncul dan dipropagandakan televisi atau media-media lain, pada industri tradisional. Masalah klasik seperti minimnya modal dan pengetahuan masyarakat, akhirnya menyebabkan mereka menyerah dan kalah pada jaman.

Semua itu hanyalah sedikit dari contoh kecil "perampasan-perampasan" industri kecil menengah kebudayaan tradisional masyarakat kecil menengah oleh pemilik modal besar di negeri kita. Naif memang. Tetapi begitulah realitas keberadaan industri kecil menengah yang mampu menembus pasar nasional di negeri kita. Industri kecil dan menengah karya masyarakat tradisional Indonesia, yang sejak dulu merupakan pendapatan ekonomi masyarakat kecil menengah, satu-persatu akan terus berubah menjadi industri besar dan modern, dan menjadi mesin pencetak uang pemilik modal besar!

Ancaman

Keadaan itu jelas ancaman bagi masyarakat kelas menengah kebawah, yang notabene sejak dulu menciptakan, merintis dan membangun industri kecil menengah tradisional. Keberadaan industri besar modern memang melahirkan pradaban baru. Tetapi di negeri kita, umumnya tak lebih hanya kepanjangan dari industri modern asing. Ada beberapa memang, diantaranya industri modern alutista, alat pertanian dan beberapa lagi.

Tetapi selebihnya adalah ekplorasi budaya tradisional yang pemilik modal besar 'rampas' dari industri kecil dan menengah menjadi industri besar modern. Hingga akhirnya masyarakat kecil menengah kita akan semakin jauh dari kesan "mapan" seperti di negara-negara maju. Semakin langkanya, terasi, jamu tradisional dan batik tulis, di tengah-tengah keseharian kita adalah bukti nyata!

Hari ini, mungkin para pemilik dan karyawan industri-industri kecil menengah tradisional itu sudah benar-benar telah gulung tikar. Dan imbas paling menakutkan dari semua ini; adalah bangsa kita menjadi bangsa buruh.

Minimnya produktifitas kretifitas anak negeri karena banyak yang beralih profesi sebagai buruh pabrik, tukang ojek motor atau kuli bangunan. Jaman Industri besar modern di negeri kita tidak mampu mendorong terciptanya kemapanan ekonomi dan intelektual masyarakat. Lembaga kebudayaan (pendidikan) kita juga seperti tidak sanggup memberikan inpirasi dan spirit untuk menciptakan karya.

Akan tetapi satu-satunya ilmu yang diajarkan oleh sistem pendidikan kita adalah: lulus ujian nasional dan dapat ijazah! Pakar pendidikan, Prof. Winarno Surakhmad, menyimpulkan, pendidikan nasional kita hanya menggiring bangsa Indonesia pada "tragedi nasional" (Kompas 19/11/2011)

Belum lagi, pemberlakuan ACFTA (Asean-China Free Trade Agreement) sejak 1 Januari 2010 lalu, menjadi sosok hantu bagi keberlangsungan hidup industri kecil, menengah tradisional kita. Entah berapa banyak lagi mereka yang gulung tikar sekarang. Entahlah.

Sejak dulu jaman memang selalu memperkenalkan kita kepada persaingan, keserakahan dan pertarungan. Hingga "menang dan kalah" merupakan kejadian biasa. Terlebih lagi, itu kekalahan bagi rakyat kecil. Meskipun bagi mereka, batik, jamu dan terasi bukan saja sekedar kehidupan perut bagi keluarga, melainkan nafas dari keberlangsungan hidup sebuah negeri!

*Penulis adalah Sekjen Komunitas Anak Muda Cinta Indonesia


Ichdinas Shirotol Mustaqim
Jl. Percetakan Negara V No. 2 DKI Jakarta
dinaz_zone@yahoo.co.id
085221051381, 08567190810

(wwn/wwn)



Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.

Hide Ads