Isu itu antara lain, bentrokan aparat dengan pegawai Freeport yang berdemo, bentrokan aparat di acara kongres Papua Merdeka (OPM), terbunuhnya Kapolsek Mulia oleh orang tak dikenal, dan paling akhir, skandal bantuan pendanaan operasi keamanan oleh Freeport kepada aparat kepolisian.
Aktivitas tambang emas PTFI di Papua yang telah berlangsung selama 44 tahun ini dituding sebagai biangkerok konflik dan tragedi kemanusiaan, kelaparan dan konflik sosial berkepanjangan di Papua.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Baru-baru ini, Indonesian Corruption Watch menemukan adanya dugaan terjadinya kekurangan pembayaran royalti oleh PTFI kepada Negara selama periode 2002 hingga 2010. Total kewajiban royalti PTFI dari periode tersebut adalah US$ 1.050,084 sehingga diduga ada kekurangan yang mengakibatkan kerugian negara sebesar US$ 176,884 (Rp1,591 triliun).
Bukan hanya itu, sebag ian pengamat menilai bahwa sebagai salah satu bentuk adu domba anak bangsa dengan menggelontorkan uang triliunan rupiah kepada TNI/Polri freeport memobilisasi aparat militer untuk mengamankan atau mengusir penduduk setempat dari wilayah mereka demi kepentingannya di Papua.
Menurut laporan New York Times pada Desember 2005, jumlah yang telah dibayarkan antara tahun 1998 dan 2004 mencapai hampir US$ 20 juta.
Selain dari itu, keberadaan freeport juga telah menimbulkan kejahatan ekologi berupa pengrusakan lingkungan. Pembuangan sisa pasir tambang (tailing) yang dihasilkan sebanyak 300 ribu ton per hari telah merusak beberapa kawasan hutan dan terjadi pendangkalan di beberapa sungai dan laut akibat tailing yang dibuang oleh PT Freeport.
Berdasarkan analisis citra LANDSAT TM tahun 2002 yang dilakukan oleh tim WALHI, tailing Freeport tersebar seluas 35,000 ha lebih di DAS Ajkwa dan tailing masih menyebar seluas 85,000 hektar di wilayah muara laut, yang jika keduanya dijumlahkan setara dengan Jabotabek. Total sebaran tailing bahkan lebih luas dari pada luas area Blok A (Grasberg) yang saat ini sedang berproduksi.
Berdirinya PTFI, sebuah perusahaan pertambangan yang mayoritas sahamnya dimiliki Freeport-McMoRan Copper & Gold Inc. bermula dari penemuan gunung Ertsberg (gunung biji) oleh seorang geologis Belanda, Jean Jacques Dozy pada tahun 1936.
PTFI telah melakukan eksplorasi di dua tempat di Papua, masing-masing tambang Erstberg (dari 1967) dan tambang Grasberg (sejak 1988), di kawasan Tembaga Pura, Kabupaten Mimika, Provinsi Papua. Sejarah mencatat bahwa kontrak karya I penambangan tembaga (padahal Emas ?) PTFI, ditandatangani pemerintah RI April 1967.
Pada saat pengeboran, bulan Desember 1967, di kawasan Erstberg terdapat lebih dari 1000 orang masyarakat adat dari suku Amungme yang mengangap Gunung Erstberg itu merupakan tempat tinggal leluhurnya dan sebagai "ibu" yang bisa memberikan kehidupan, menjadi tempat pemujaan (dugu-dugu) yang tidak boleh dirusak.
Hingga saat ini, masyarakat Amungme menilai PTFI telah memasuki dugu-dugu mereka tanpa permisi. Karenanya, PTFI dinilai telah melanggar hak martabat, menghancurkan dunia batin dan sumber orientasi kehidupan orang Amungme.
Tidak sekedar memasuki area mereka, tetapi sebagaimana pemegang konsesi pertambangan yang lain, PTFI menutup kawasan pertambangan dari "pihak luar yang tidak berkepentingan", Sehingga masyarakat Amungme sebagai pemegang hak adat Gunung Erstberg tidak bisa lagi menjejakkan kaki di dugu-dugu yang di anggap suci itu.
Sekelompok rakyat papua hanya menjadi pencari remeh-remeh sisa pembuangan tailing. Ironisnya, pemukiman tempat mereka hidup dan bersosialisasi telah rusak dan hancur berubah menjadi konsesi pertambangan serta berubah menjadi kota Timika, Kuala Kencana, atau Tembagapura, sementara itu ketergantungan mereka terhadap alam tetap tinggi (Wibisono, 2007).
PT Freeport telah mencetak keuntungan finansial bersih perharinya mencapai US$ 20 juta (sekitar Rp 5,5 triliun/bulan). Keuntungan tersebut bisa menutupi utang luar negeri sejumlah 1.700 triliun rupiah yang selama ini bebannya ditanggung oleh rakyat Indonesia.
Menurut catatan Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral, sejak 1991 hingga tahun 2002, PTFI memproduksi total 6.6 juta ton tembaga, 706 ton emas, dan 1.3 juta ton perak. Dari sumber data yang sama, produksi emas, tembaga, dan perak Freeport selama 11 tahun setara dengan 8 milyar US$.
Sementara perhitungan kasar produksi tembaga dan emas pada tahun 2004 dari Grasberg setara dengan 1.5 milyar US$. Kemudian selama periode Kontrak Kerja I tahun 1973-1991, perusahaan ini telah mendapat laba 1,1 milyar dolar AS. Sementara untuk kas Indonesia, Freeport hanya menyetor 138 US$ (sekitar 12,54%) dalam bentuk deviden, royalti dan pajak.
Kekerasan dan pernyataan kemerdekaan sebagian masyarakat Papua Akhir-akhir ini hanya pucuk gunung es dari akumulasi kekecewaan, frustasi yang selama ini diperlakukan PT Freeport yang hanya menggerus Sumber Daya Alam di Papua demi kepentingan asing, beragam ketimpangan telah menimbulkan persoalan kesejahteraan dan rasa muak terhadap semua penyelesaian persoalan Papua.
Oleh karena renegosiasi kontrak antara pemerintah Indonesia dengan PT Freeport sebagai kunci memperbaiki akar bencana ekonomi dan kedaulatan Bangsa Indonesia sudah menjadi keharusan, perubahan sistem hukum dalam kebijakan tambang di negeri ini dan kerjasama dengan perusahaan tambang asal AS tersebut benar-benar harus saling menguntungkan dan keadilan dan kesejahteraan juga menjadi syarat penting agar Papua tidak terus bergolak bagai bara dalam sekam.
*Penulis adalah Dosen Unhas dan pemerhati lingkungan
Andi Iqbal Burhanuddin
Jl. Sunu FX-5, Kompl Unhas Baraya, Makassar
iqbalburhanuddin@yahoo.com
0811441491
(wwn/wwn)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini