Tragedi Casa 212

Tragedi Casa 212

- detikNews
Selasa, 04 Okt 2011 10:50 WIB
Jakarta - "Ya Allah….. SBY, dimana perhatianmu kepada kami….?!, Kenapa lama sekali menolong keluarga kami, harusnya mereka masih hidup, mereka itu pasti mati karena kelaparan dan kedinginan, kalau pemerintah cepat pasti tidak begini…."

Kedua nukilan tersebut merupakan teriakan paling dominan di antara deru histeria keluarga para korban jatuhnya pesawat Cassa 212-200 milik PT Nusantara Buana Air (NBA) di pegunungan Bahorok Kecamatan Bahorok, Kabupaten Langkat, Sumatera Utara, Rabu (29/9/2011). Badan pesawat berada di koordinat 0324 utara dan 09801 timur.

Kecelakaan transportasi kembali terjadi dan menelan korban anak negeri. Padahal, baru pekan lalu diperingati hari trasnsportasi nasional. Seakan-akan tidak ada kolerasi positif antara selebrasi formal birokrasi dengan perbaikan sarana dan prasarana trasnsportasi itu sendiri.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Ternyata, republik ini masih belum bisa menghargai nyawa anak bangsanya. Banyak nyawa manusia di Bumi Pertiwi ini melayang sia-sia. Roh mereka terpisah dari raganya karena buruknya sistem transportasi di Indonesia.

Label ini menjadi paten karena pemerintah sebagai regulator dan penyedia transportasi sebagai operator sama-sama mengabaikan aturan atau undang-undang.

Hampir setiap tahun kecelakaan transportasi baik darat, laut, dan udara merenggut nyawa manusia. Nyatanya semua pihak lepas tangan dan saling tuding siapa yang berhak bertanggung jawab.

Paling tragis adalah kecelakaan bus Antar Lintas Sumatra (ALS) yang masuk ke telaga di jalan rusak Aek Latong, Kecamatan Sipirok, Kabupaten Tapanuli Selatan, Sumatera Utara, 26 Juni 2011. Dalam insiden tersebut dipastikan 16 nyawa melayang.

Kemudian bus Sumber Kencono bertabrakan dengan Elf di Mojokerto, September 2011 lalu. Dalam kejadian memilukan tersebut, 20 orang dipastikan tewas dan puluhan penumpang lainnya luka-luka.

Tanah pusaran para korban kecelakaan bus tersebut belum kering, Indonesia kembali berduka. KM Kirana IX terbakar saat bersandar di Pelabuhan Tanjung Perak Surabaya sekira pukul 05.00 WIB, Rabu 28 September 2011, delapan orang dipastikan tewas.

Kontroversi Komunikasi

Lambatnya proses penyelamatan evakuasi korban menuai kritik. Seharusnya, saat lokasi pesawat jatuh ditemukan, evakuasi segera dilakukan. Karena, mungkin saja saat itu, masih ada penumpang atau awak yang masih hidup. Tapi itu tidak dilakukan dengan alasan medan yang berat dan cuaca yang tidak bersahabat.

Keluarga korban sempat melakukan protes atas kelambanan ini. Mereka bahkan ada yang mengaku sempat dikontak oleh anggota keluarga mereka. Diduga ada korban yang mengalami luka, namun karena pertolongan tak kunjung datang penumpang pesawat tidak terselamatkan (detik.com, Sabtu, 01/10/2011).

Ironi lain dalam tragedi jatuhnya pesawat Casa 212 tersebut adalah debat dan kontroversi tentang kemungkinan tersambungnya komunikasi antara penumpang dengan keluarga mereka atau sebaliknya.

Beberapa televisi swasta nasional sempat mem-blowup berita tentang tersambungnya komunikasi antara penumpang dengan keluarga mereka. Menurut pengakuan pihak keluarga, mereka sempat dua kali terhubung pada hari Kamis sore dan Jumat pagi. Setelah itu, tidak bisa dihubungi kembali.

Syamsidar Yusni (27) sempat menelepon salah seorang kerabatnya di Medan sekitar pukul 10.00 WIB. Namun, ucapan pegawai kantor Pajak Kutacane itu tidak bisa diterima Akbar, sang kerabat, dengan baik. Akbar hanya bisa mendengar suara tangisan dan jeritan di sekeliling Syamsidar, hanya beberapa detik. Setelah itu, terputus dan tidak bisa dihubungi kembali (Serambi Indonesia, 30/9/2011).

Namun sayangnya, berita tersebut, khusunya yang di-blowup beberapa stasiun tv, dibantah oleh pemerintah. Herry Bhakti, Dirjen Perhubungan Udara Kementerian Perhubungan, menampik kabar sempat terjadi hubungan komunikasi para korban yang meminta pertolongan. Menurutnya kondisi di lokasi jatuhnya pesawat sangat sulit ditembus jaringan komunikasi.

"Kalau ada kontak, itu saya pikir tidak mungkin karena di lembah itu komunikasinya sangat sulit. Kecepatan pesawat waktu terbang 140 knot dan manusia tidak mungkin bisa bertahan," ujarnya (detik.com, Minggu, 02/10/2011).

Regulator versus Operator

Sederet kecelakan tersebut merupakan bentuk lemahnya pengawasan yang dilakukan regulator dan operator. Bila kedua belah pihak menegakkan aturan yang berlaku di Indonesia, jumlah kecelakaan bisa diminimalisir.

Aturan dimaksud adalah praktik suap yang terjadi di negeri tercinta ini. Semua pelanggaran bisa dikondisikan dengan tawar menawar. Pelanggaran yang dilakukan operator bisa ditoleransi dengan memberikan uang suap. Padahal inilah yang menjadi pemicu utama terjadinya kecelakaan dengan korban massal.

Regulator sendiri sadar risiko besar bila mengabaikan hukum yang berlaku. Sebut saja kapal laut atau bus yang kelebihan muatan. Aturan melarang kapal dan bus tersebut berangkat. Namun dengan tawar-menawar dan harga pas maka bisa tancap gas.

Begitu juga dengan kelaikan semua armada transportasi di udara, laut, dan darat. Regulator sebagai pengawas harusnya bisa bertindak tegas melarang bus, kapal atau pesawat yang tidak laik terbang. Nyatanya, banyak moda transportasi di negeri ini sebenarnya tidak laik operasi lagi.

Artinya oknum regulator dan operator sama-sama berperan dalam kecelakaan transportasi di Indonesia. Bila ingin bangsa ini minim kecelakaan, maka hapus budaya suap. Bertindak seperti Jepang atau China yang taat akan hukum.

Pemerintah negeri ini selalu gagap dan tidak siap dalam menghadapi berbagai macam tragedi dan bencana. Padalah, jelas-jelas letak negeri ini berada di atas zona bencana. Tapi hal itu sepertinya itu tidak pernah digubris.

Ketidak siapan itu bisa dilihat pada tiga aspek; sarana, institusi dan operasional. Dari sisi sarana dan prasarana bisa dilihat dari keengganan pemerintah mengalokasikan dana untuk menyiapkan peralatan dan perlengkapan pendukung lainnya. Begitu ada kejadian, baru sibuk mencari sarana.

Secara institusi, terlalu sering terjadi over lapping sehingga panjang sekali proses birokrasi yang harus dilalui. Sedangkan pada tataran operasional, kesan yang lebih tertangkap di permukaan adalah lebih kepada cari muka dan ABS (asal babe senang). Dengan kata lain, arogansi institusi masih sangat kental.

Jika sikap tersebut masih membalut pemerintahan Pak Beye, atau pemerintahan lainnya di kemudian hari, maka tragedi demi tragedi akan tetap dan terus menerus menghantui anak negeri.

Solusinya, dibutuhkan sebuah lembaga independen yang lepas dari intervensi pemerintah atau tetek bengek birokrasi lainnya seperti selama ini. Selain itu, juga dibutuhkan orang-orang yang tidak cetek mental alias cemen dalam mengoperasionalkan lembaga independen tersebut.

*Penulis adalah peminat kajian social kemasyarakatan, mantan pengurus pusat IMAPA (ikatan mahasiswa dan pemuda Aceh) Jakarta


Ahmad Arif
Jl. Tuan Dipakeh II, No. 1 Punge Blangcut, Banda Aceh
banta_lw2@yahoio.com
081360295521


(wwn/wwn)



Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Hide Ads