New Media dan Transformas Politik 3.0

New Media dan Transformas Politik 3.0

- detikNews
Senin, 03 Okt 2011 09:59 WIB
Jakarta - Ada satu hal yang sangat menarik dari rilis Lingkar Survey Indonesia (LSI) pada Minggu (2/10/2011) yang mengangkat tema besar the image of politicians (citra politikus). Menurut hasil survey yang dilakukan 5 hingga 10 September 2011 tersebut, selama 6 tahun terakhir (sejak tahun 2005), citra polikus merosot hingga 21 persen.

Salah satu variabel yang diklaim oleh peneliti LSI Ardia Sopa turut memengaruhi pandangan masyarakat terhadap politikus adalah media sosial. Hal ini tentu relevan dengan perkembangan media (khususnya media sosial), dalam satu dekade terakhir.

Dunia Virtual

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Super high way information, itulah fakta tantang ruang global yang mendadak cair. Secara virtual, semua informasi teraktual mulai dari perilakau para politikus, model rambut Lady Gaga, atau bahkan jadwal konser Justin Bieber datang menyerbu, menembus tembok-tembok hingga ke kamar kita dari semua penjuru. Penetrasi digital ini bahkan kadang di luar kesadaran umat manusia. Bumi terpolar secara linier menjadi satu dalam gelombang information technology (IT).

Thomas L. Friedman telah memprediksi hal ini di dalam bukunya The World is Flat: a Brief History of The Twenty First (2005). Bahwa dunia akan didatarkan oleh konvergensi peristiwa yang berhubungan dengan politik, inovasi, dan perusahaan.

Perkembangan cepat membuat manusia semakin sibuk, manusia saling terkoneksi satu sama lain menembus batas ruang dan waktu. Tembok-tembok runtuh dan jendela mulai dibangun. Globalisasi menjadi kunci wajah baru dunia di abad 21 tersebut.

Kini, setiap orang di dunia memiliki kesempatan yang sama dalam mengarahkan perubahan. Jika dahulu perubahan di bawah kendali elite, kini civil society juga memegang peranan penting dalam proses perubahan sosial karena mampu menggerakkan massa.

Perubahan sosial ini, sejalan dengan keyakinan dua penganut teori konvergensi, Evans dan Sthepens (1988) yang telah meramalkan kecenderungan konvergensi. Oleh penganut teori konvergensi, modernisasi dan pembangunan dilihat telah bergerak secara positif untuk semakin memperbaiki diri.

Determinasi terhadap teori perubahan sosial yang selama ini disempitkan dalam ruang dikotomi analisis tradisionalisme dan modernisme secara kasus per kasus, tidak lagi dilihat dengan pendekatan universalisme. Variabel perubahan seperti agama, budaya, kelas, gender, negara, gerakan sosial hingga perusahaan multi nasional (MNC) menjadi entitas baru dalam mere-design dunia menjadi ruang digital.

Perusahaan global yang berbasis new media dan commerce orinted seperti Google, Facebook, Twitter, Yahoo dan sederet korporasi media sosial lainnya, menjadi media transformasi gagasan dan informasi yang mengubah paradigma masyarakat dalam berinteraksi.

Media, oleh Jenderal Perang fenomenal asal Prancis, Napoleon Bonaparte, diakui memiliki kekuatan super dan lebih menakutkan dari bedil seribu orang musuh. Pergeseran perang dari penggunaan senjata ke penggunaan tekhnologi informasi pada akhirnya menjadi mainstream baru dalam politik.

Instrumen-instrumen polarisasi ruang global, yang selanjutnya melahirkan Gen-C (dipopulerkan Dan Pankraz. Gen-C bisa berati generasi connected, cyber atau disebut juga digital creative) ini, dapat kita saksikan dari berbagai rilis data yang mengindikasikan semakin meleknya masyarakat dengan informasi yang didukung oleh fasilitas internet. Dalam hal ini new media memegang peranan secara radikal.

Pada tahun 2008 jumlah pengguna internet di Indonesia 24,5 juta orang. 15 juta diantaranya mengakses internet dengan handphone (mobile internet) sebagaimana dikutip dari buku Craking Zone karya Prof. Rhenald Kasali PhD. Dua tahun kemudian, seiring dengan makin populernya jejaring sosial, yaitu pada 2010 angka tersebut melonjak menjadi 45 juta orang pengguna internet (Kemenkominfo).

Signifikasi peningkatan ini, tak lepas dari semakin meleknya masyarakat terhadap kebutuhan informasi yang kian hari kian cepat dan semakin memperkaya ruang referensi kita.

Perilaku Politik

Perubahan media, baik oleh pers yang berada dalam korporasi maupun "pers yang tidak melembaga" atau lebih relevan disebut dengan nama citizen journalism, membentuk perilaku tersendiri dalam dunia politik. Fakta bahwa kesadaran pencitraan berbanding lurus dengan perkembangan demokrasi bangsa-bangsa, termasuk juga di Indonesia.

Kemenangan Soesilo Bambang Yudhoyono (SBY) melenggang ke istana selama dua kali pemilihan umum misalnya, tak dapat dinafikan berakar dari pengaruh besar media yang menjadi lapangan terbuka atraksi pencitraannya.

Maka wajar jika sukses SBY kemudian melahirkan budaya latah, diikuti oleh politisi lain di negeri ini. Mulai dari politisi balita (yang baru lahir) hingga politisi yang sudah uzur, semua memanfaatkan media untuk pencitraan.

Saban hari, kita disuguhi politikus bak selebriti yang menghiasi layar kaca. Mereka tidak sedang menghibur layaknya selebriti karena mereka memang bukan selebriti sejati, tapi mereka berusaha mengonstruksi kesadaran baru dalam mainstream branding politik pada khalayak.

Tak heran jika cost paling besar yang dikeluarkan partai politik dan politikus ketika musim pemilu/pemilukada, berasal dari iklan di media massa.

Silih Agung Wasesa di dalam Political Branding and Public Relation (2011) mengistilahkan gaya political branding ini dengan Buzzing. Yaitu pelaku-pelaku politik menjadikan pesan politik mereka sebagai bahan pembicaraan positif di masyarakat dan sekaligus menggerakkan target audiens dengan membangun kesadaran kepada mereka.

Namun cara ini ternyata tidak melulu berhasil, karena di satu sisi secara paradoks, pendidikan politik masyarakat terus mengalami trend positif.

Oleh karenanya, pada titik ini media yang awalnya dijadikan sebagai senjata pencitraan, justru berubah menjadi alat efektif untuk mengontrol pemerintah dalam kebijakan-kebijakan politiknya.

New media seperti Facebook, Twitter dan sejumlah lainnya, dalam waktu relatif singkat menjadi ruang raksas yang menampung segala macam saran, protes dan kritik hingga tuntutan revolusi dari masyarakat. Politis pun harus semakin waspada dengan kehadiran new media.

Beberapa kasus (skandal) yang baru-baru ini terjadi adalah fakta bahwa media hadir dengan kekuatan quantum yang mereduksi segala laku politik yang penuh kepalsuan. Seperti kasus Nazaruddin yang menguak permainan korupsi politikus-politikus senayan dan jajaran eksekutif. Sarana skype dan blackberry messanger (BBM) menjadi populer karena kasus mantan Bendahara Umum Partai Demokrat tersebut.

Bahkan secara global, media membuktikan kekuatannya. Kita dapat saksikan terhadap gelombang revolusi yang hingga kini masih menghantui penguasa-penguasa despotik di Timur Tengah Afrika.

Dengan menembak isu global โ€“demorkasi dan HAM-, blowup media telah meggerakkan massa. Efek yang lahir dari asimetric warfare (perang asimetris) di sejumlah Negara, berhasil mengubah peta politik global.

Jika dahulu politkus/penguasa bebas melakukan atraksi politik tanpa feedback (umpan balik) berarti dari masyarakat atau penulis istilahkan era politik 2.0, politik dua arah. Maka dengan perkembangan new media, kini politikus harus lebih hati-hati dalam berperilaku, karena dengan sarana social media masyarakat bisa mengekspresikan kekecewaan mereka secara kolektif.

Politik telah masuk ke era 3. Masyarakat bukan lagi objek yang dengan mudah dieskploitasi, namun telah bertransformasi untuk terlibat secara aktif baik di dalam maupun jauh di luar sentrum elit politik.

*Penulis adalah Pengurus Pusat Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI dan Praktisi Media/Redaktur Majalah Suara Kemanusiaan
Follow Twitter @Jusmandalle


Jusman Dalle
Jl. Urip Sumoharjo Km. 05 Makassar
jusmandalle@rocketmaikl.com
085299430323

(wwn/wwn)



Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Hide Ads