Comte de Buffon Beranggapan bahwa terbentuknya bumi akibat dari apa yang ia sebut sebagai katastrofi. Yaitu teori yang menyatakan bahwa bumi merupakan materi matahari yang terbentuk dari tabrakan komet dengan permukaan matahari.
Tulisan ini tak hendak mengkaji lebih jauh tentang disiplin ilmu yang dikembangkan Comte de Buffon. Tapi ada satu hal menarik yang diajarkan oleh karib filusuf kenamaan Prancis dan tokoh berpengaruh Voltaire ini.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Bahwa benturan antara realitas pertama dengan realitas kedua akan melahirkan realitas ketiga. Bahwa benturan antara idealitas dan realitas yang berbeda akan melahirkan kekecewaan. Akibat dari benturan tersebut tidak harus terjadi pada episentrum benturan. Tapi akibatnya akan mengefek luas di luar radiusnya.
Menarik menggunakan pendekatan yang dalam dunia saitifik ini disebut dengan teori katastrofi, dalam menganalisis realita sosial politik yang belakangan terjadi di Indonesia.
Pola Misterius
Ahad (25/9) kemarin, terjadi ledakan bom di Gereja Bethel Injil Sepenuh (GBIS), Kepunton, Solo yang menewaskan satu orang. Ledakan ini mungkin tidak lagi mengagetkan kita (khususnya bagi penulis), mengingat saban hari ledakan bom dan konflik sosial maupun stimulasinya sudah 'intim' dengan masyarakat Indonesia. Apakah lagi ketika pemerintah mengalami tekanan politik, baik oleh sesama politisi maupun oleh rakyatnya sendiri.
Kita bisa membaca pola ini, misalnya Ketika sedang hangat-hangatnya kasus Daftar Pemilih Tetap (DPT) pemilu 2009 lalu, juga muncul ledakan bom di Hotel JW Marriot dan Ritz Carlton pada bulan Juli 2009.
Ketika mega skandal bailout Bank Century sedang panas-panasnya dan berefek guncangan besar pada pusat kekuasaan (great disruption on centre of power) saat penentuan kelanjutan kasus tersebut dengan voting pada Maret 2010.
Tak berselang lama, ketika Century Gate mendapat perhatian luas dari masyarakat yang menimbulkan gejolak massa, tiba-tiba muncul isu bom di depan Universitas Kristen Indonesia (UKI), Cawangan Jakarta Timur yang melibatkan oknum wartawan saat itu.
Pun bulan Maret 2011 yang lalu, ketika dua harian Asutralia The Sidney Morning Herald dan The Age menurunkan berita dari Wikileaks yang mengguncang istana dengan memberitakan bahwa Presiden SBY abuse of power (menyalahgunakan wewenang), serta desakan politik akibat angket mafia pajak di DPR, maka tiba-tiba muncul bom Cirebon dan buku yang dipaket dan dikirim lewat kurir komersil, di beberapa tempat di Jakarta.
Efek pemberitaan bom buku, membuat masyarakat paranoid dengan paket kiriman. Akhirnya pemberitaan bom buku yang rasa-rasanya mengancam kesalamatan orang banyak ini, membuat perhatian masyarakat teralihkan dari apa yang disebut oleh WikiLeaks sebagai abuse of power.
Terbaru, ketika pemerintah disorot karena makin mengguritanya korupsi yang semakin mendekati istana yaitu korupsi di Kementrian Pemuda dan Olah Raga melibatkan mantan politikus Partai Demokrat Nazaruddin dan Sekretaris Menpora, Wafid Munarman.
Juga korupsi oleh bawahan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi yang keduanya membuat popularitas pemerintahan SBY-Budiono mengalami distrust sebagaimana dirilis oleh berbagai survey, termasuk survey oleh LSI pada Sepetember ini yang memperlihatkan bahwa hanya 37,7 persen masyarakat yang puas dengan kinerja pemeritah.
Tiba-tiba muncul konflik horizontal di Ambon dengan agama sebagai isu utama. Isu yang selama ini cukup efektif menimbulkan kekacauan di masyarakat sehingga membuat masyarakat teralihkan perhatiannya dari berbagai isu yang ,menerpa pemerintah.
Namun kegagalan memecah belah masyarakat Ambon karena tokoh-tokoh masyarakat dan pemuda begitu sigap melakukan aksi soliditas, membuat desain konflik di Ambon menjadi gagal. Dugaan penulis, kegagalan di Ambon itu akhirnya dialihkan ke Solo, dan mereka sukses. Bom meledak pada Ahad kemarin.
Bom Solo seolah menutup semua kasus-kasus besar itu. Solo selama ini memiliki tarck record merah karena dikaitk-kaitkan dengan beberapa pelaku pengeboman di tanah air yang katanya pernah nyantri disalah satu pesantren yang selama ini distigmakan sebagai tempat munculnya beberapa pelaku teror.
Parade bom dan stimulasi konflik sosial ini tentu menjadi misterius, mengingat polanya yang sama. Apa lagi kondisi masyarakat yang depresi di tengah berbagai tekanan hidup sehingga rentan diprovokasi. Kerentanan ini dimanfaatkan oleh pihak-pihak tak bertanggungjawab untuk berselancar meraih keuntungan dengan memanfaatkan struktur yang bahkan jauh dari pusat desain konflik kekerasan tersebut.
Pola konspirasi dan permainan intelejen pecah belah dan selancar seperti ini, dalam praktek perang global sekalipun, sudah menjadi salah satu desain strategis. Sebagaimana konflik berkepanjangan didesain oleh Amerika Serikat di Irak yang berhasil memecah belah masyarakat Sunni, Syi'ah dan Kurdi.
Gejolak Politik
Heterogenitas di Indonesia, memungkinkan pecah belah itu rentan terjadi dalam semua ranah. Bahkan antara wartawan dan pelajar. Maka dalam konteks tatanan kenegaraan, lahirnya konflik yang terjadi dimana-mana merupakan gambaran jika struktur masyarakat, dalam hal ini direpresentasikan oleh pemerintah (negara), belum mampu memungsikan diri sebagai regulator dan dinamisator.
Masyarakat begitu mudah dihasut untuk melakukan vandalisme. Fritjof Chapra (1997) di dalam bukunya The Turning Point, menyebut konflik sebagai “patologi peradaban”. Menurut Chapra, patologi peradaban ini terjadi sebagai bias dari anomali ekonomi dan krisis budaya.
Dari perspektif ekonomi, konflik lahir dari akibat tidak terpenuhinya kebutuhan dasar sehingga memaksa manusia bertindak brutal. Dari perspektif budaya, hal tersebut terjadi akibat dari hilangnya fleksibilitas di dalam masyarakat multikulural.
Determinasi budaya lokal akibat turbulensi dengan budaya asing, menyebabkan masyarakat kehilangan identitas dan mudah dihasut. Tercerabut dari akar kebangsaan yang arif dan bersahabat. Maka pada kondisi demikian, keruntuhan budaya sangat rentan terjadi.
Kondisi semakin kompleks dengan sering terjadinya konflik tingkat elit yang bermuara pada kepentingan kuasa. Sistem sosial-politik yang seharusnya menjadi pilar kehidupan heterogen ini, ikut terguncang. Konflik politik mereduksi spirit kebersamaan untuk kepentingan bangsa, menjadi spirit politik untuk kepentingan sekelompok gelintir orang.
Yang menarik dari bom Solo ini, yaitu kemiripan dengan bom buku pada bulan Maret-April lalu. Keduanya muncul ketika isu reshuffle kabinet menjadi polemik para elit politik.
Ketika muncul manuver-manuver politik diantara sesama penguasa (koalisi). Isu reshuffle yang bergulir sejak dua pekan lalu, kita saksikan telah memancing polemik yang tak kurang untuk mempertahakan kursi kekuasaan.
Reshuffle menjadi pertaruhan berbagai kepentingan politik untuk eksistensi pada pemilu 2014 mendatang. Pertanyaannya, apakah parade bom, konflik rasial dan agama yang menjadi stimulasi chaos di masyarakat, akibat dari turbulensi dengan kepentingan elit politik sebagaimana teori katastrofi Comte de Buffon?
*Penulis adalah Analis Society Research and Humanity Development (SERUM) Institute, Pengurus Pusat Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI)
Jusman Dalle
Jl. Urip Sumoharjo Km. 05 Makassar
jusmandalle@rocketmail.com
085299430323
(wwn/wwn)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini