Tentang negara hukum, Hans Kelsen di dalam bukunya yang berjudul Altgemeine Staatslehre, menuliskan bahwa semakin tinggi keinsyafan hukum suatu masyarakat, semakin dekat masyarakat tersebut pada pelaksanaan negara hukum yang sempurna.
Berangkat dari apa yang dipostulatkan Hans Kelsen tersebut, maka untuk mewujudkan Indonesia sebagai rechtsstaat, seharusnya yang pertama kali diwujudkan dalam konstruksi supremasi hukum adalah langkah preventif (pencegahan).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Langkah preventif ini bisa diwujudkan jika awarness tersebut menjadi kristalisasi keinsyafan yang lahir dari rasionalitas relasi kausalis positivistik supremasi hukum berupa keteraturan berdemokrasi, terwujudnya kemakmuran dan terjaminnya hak-hak warga negara, sebagaimana ditulis Frans Hendra Winarta dalam bukunya Pro Bono Publico (2009).
Remisi dan Korupsi
Namun kita bisa melihat kenyataan, jika ternyata supremasi hukum tidak sejalan dengan kampanye yang selama ini di koar-koarkan oleh pemerintah dan diperjuangkan oleh berbagai lembaga NGO (non government organization).
Berbagai apologi dibangun dari argumentasi konstitusional untuk melegitimasi keputusan-keputusan pemerintah yang paradoks dengan spirit supremasi hukum. Salah satu yang saat ini hangat diperbincangkan adalah pemberian remisi atau pengurangan masa hukuman yang didasarkan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.
Ada beberapa aturan perundang-undangan yang menjadi dasar hukum atas pemberian remisi tersebut, yaitu di dalam Undang-Undang (UU) Nomor 12 Tahun 1999 tentang Remisi dan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 32 Tahun 1999 tentang Tata Cara dan Syarat Pelaksanaan Hak-hak Warga Binaan Pemasyarakatan serta Pasal 1 Ayat 1 Keputusan Presiden (Kepres) Republik Indonesia No.174 Tahun 1999.
Disebutkan bahwa remisi adalah pengurangan masa pidana yang diberikan kepada narapidana dan anak pidana yang telah berkelakuan baik selama menjalani pidana.
Jika dikonfrontir dengan pemberian efek jera pada koruptor, dengan logika sederhana bisa kita nalar bahwa pemberian remisi dengan alasan berkelakuan baik tersebut justru sama sekali menghilangkan efek jera pada para koruptor. Karena saat dihukum, dengan mudah mereka pura-pura berkelakuan baik untuk kemudian mendapat kompensasi.
Pantas saja jika negeri ini tak pernah sepi dari kejahatan, mulai dari kejahatan kelas teri hingga kejahatan kelas kakap yang merusak sendi-sendi kehidupan bangsa. Karena memang aturan-aturan seharusnya tegas memberi hukuman kepada para pelaku kriminal, akan tetapi justru memiliki celah inkonsistensi dalam supremasi hukum.
Terlebih lagi bagi koruptor, yang sudah sangat meresahkan bangsa ini. Dari rangking yang dirilis berbagai lembaga tentang tingkat korupsi, Indonesia terus saja bertengger di posisi atas.
Misalnya survey internasional pada bulan Juni 2011 yang dilakukan oleh Neukom Family Foundation, Bill & Melinda Gates Foundation dan Lexis Nexis, Indonesia menempati negara terkorup ke 47 dari 66 negara di dunia dan terkorup ke 2 dari 13 negara di Asia Pasifik seperti dilansir United Press International, Selasa (14/6/2011).
Menurut data Ditjen Pemasyarakatan, sebanyak 235 napi koruptor mendapat potongan masa tahanan, dan bahkan 8 napi koruptor langsung bebas setelah menikmati "bonus lebaran" atau remisi Hari Raya Idul Fitri 1432 Hijriyah dari Kementrian Hukum dan Hak Azasi Manusia.
Putusan tersebut sangat mengecewakan masyarakat Indonesia, karena koruptor merupakan pelaku oxtraordinary crime (kejahatan luar biasa) yang telah sepakat harus kita perangi secara bersama-sama.
Sebenarnya, daftar hitam inkonsistensi pemerintah dalam perang melawan korupsi bukan kali ini saja terjadi. Masih segar dalam ingatan kita tentang putusan akrobatik pemerintah dua pekan lalu yang juga "mencoreng" wajah supremasi hukum dan spirit pemberantasan korupsi di negeri ini dengan memotong masa tahanan 419 narapidana (Napi) koruptor dan bahkan membebaskan 21 orang napi koruptor lainnya atas alasan remisi dalam rangka HUT Proklamasi RI ke 66.
Pemberian remisi kepada para koruptor membenarkan pameo "Beda negara, beda hukuman untuk koruptor . Di Arab Saudi koruptor dipotong tangan, di China koruptor dipotong leher, di Indonesia koruptor dipotong masa tahanan dan dibebaskan".
Yang menyakitkan, putusan akrobatik pemerintah tersebut dilakukan di tengah berbagai kampanye perang melawan korupsi yang juga dikampanyekan oleh pemerintah.
Sementara terjadi degradasi kepercayaan (distrust) pada lembaga penegak hukum dalam memberantas korupsi. Tindakan itu hanya membuka borok dan kepura-puraan pemerintah yang selalu mengampanyekan supremasi hukum dan fight against corruptor/corruption.
Di dalam berbagai forum, Presiden SBY begitu semangat menyampaikan pidato retoris dan teoritis soal supremasi hukum, khususnya pemberantasan korupsi. Diantaranya saat rapat bersama anatara DPD dan DPR (16/8/2011) lalu, Presiden SBY menyitir pencapaian Indeks Persepsi Korupsi (IPK) yang terus membaik dari tahun ke tahun.
"Transparency International (TI) memberikan skor IPK 2,0 pada 2004 membaik menjadi 2,8 pada 2010," katanya. Presiden SBY bahkan menyebutkan capaian IPK Indonesia tertinggi di antara negara ASEAN lainnya.
Tidak hanya itu, kumandang pemberantasan korupsi juga didengungkan Presiden SBY saat memberikan sambutannya dalam konferensi internasional bertema "Pemberantasan Praktik Penyuapan Pejabat Asing Dalam Transaksi Bisnis Internasional". Di Nusa Dua Bali, Selasa (10/5/2011) yang lalu.
Saat itu, di hadapan 35 delegasi Negara asing, SBY menegaskan bahwa melawan korupsi sudah menjadi dasar dari pemerintahannya. Menurut SBY, memerangi korupsi bukan hanya perintah moral, tetapi juga perintah demorkasi, politik, sosial, dan ekonomi. Lucunya, pemerintah sendiri yang membuktikan bahwa klaim dan pidato dari podium ke podium tersebut ternyata hanya pepesan kosong.
Secara faktual, publik telah berkali-kali menyaksikan lambannya gerak pemerintah yang selalu butuh desakan, paksaan dan bahkan cacian- untuk menangani sejumlah kasus korupsi kelas kakap. Hal ini semakin memperkuat indikasi tidak serius dan tidak sinergisnya elemen-elemen penegak hukum dalam memerangi korupsi.
Fakta lain memperlihatkan kasus korupsi kian menggurita, hingga ke orang-orang dekat istana seperti Nazaruddin, mantan Bendahara Umum Partai Demokrat. Gurita korupsi juga ditandai dari bertambahnya pejabat-pejabat daerah yang terlibat tindakan extraordinary crime ini.
Data dari Kementrian Dalam Negeri, saat ini 160 Kepala daerah yang berstatus tersangka, terdakwa, terhukum dari 524 Gubernur, Bupati dan Walikota yang tersandung kasus korupsi sejak tahun 2004 (detik.com). Setali tiga uang, aparat "penegak hukum" pun menjadi sapu kotor, tak luput dari oknum koruptor.
Dalam 1 kasus saja, yaitu kasus mafia pajak Gayus Tambunan, tak kurang dari 15 orang aparat hukum yang terlibat jual beli perkara sebagaimana diungkapkan Jaksa Agung saat itu, Hendarman Supanji. Sebutlah misalnya Cirus Sinaga dan Poltak Manulang (antikorupsi.org)
Tak Sekedar Slogan
Oleh karena makin absurdnya perang melawan korupsi, maka tantangan yang selanjutnya harus dijawab adalah slogan-slogan supremasi hukum –khususnya pemberantsaan korupsi- yang saban hari diteriakkan, harus bisa ditransformasi menjadi aksi. Dijalankan secara komprehensif, dari hulu ke hilir.
Transformasi dari slogan ke aksi tersebut bisa dilakukan dalam berbagai cara. Pertama, dimulai dari konsistensi pemerintah dalam menegakkan aturan. Kedua, aparat penegak hukum yang bersih dan insyaf hukum yang dihasilkan dari proses seleksi yang ketat.
Ketiga, sinergi antar berbagai lembaga, baik sesama penegak hukum maupun dengan lintas lembaga seperti DPR dan NGO. Serta keempat, mengonstruksi keinsyafan masyarakat untuk taat hukum yang bisa dielaborasi dengan berbagai pendekatan. Baik pendekatan agama, budaya, sosial, ekonomi maupun pendekatan edukasi.
*Penulis adalah Pengurus Pusat Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI)
Jusman Dalle
Jl. Urip Sumoharjo Km. 05 Makassar
jusmandalle@rocketmail.com
085299430323
(wwn/wwn)