Di tengah koar-koar perang melawan korupsi, sementara terjadi degradasi kepercayaan pada lembaga penegak hukum dalam memberantas korupsi, tahu-tahu pemerintah malah membebaskan sebanyak 21 narapidana kasus korupsi di Indonesia setelah mendapat remisi umum II pada HUT ke-66 RI pada 17 Agustus kemarin.
Selain itu, hampir setengah narapidana kasus korupsi yang tersebar di seluruh tanah air, juga mendapat remisi umum sebagian, yaitu 419 dari 1.008 napi (detik.com).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Fakta di atas merupakan salah satu bentuk kepura-puraan pemerintah yang selalu mengampanyekan supremasi hukum dan fight against corruptor/corruption, kemerdekaan yang sejatinya memberi gairah untuk bangkit lebih baik, justru diperingati secara nyinyir dengan membebaskan, memerdekakan perampok uang negara.
Pembebasan koruptor tentu paradoks dengan pidato retoris Presiden SBY di rapat DPD dan DPR sehari sebelumnya (16/8/2011). Saat itu, Presiden SBY menyitir pencapaian Indeks Persepsi Korupsi (IPK) yang terus membaik dari tahun ke tahun. "Transparency International (TI) memberikan skor IPK 2,0 pada 2004 membaik menjadi 2,8 pada 2010," katanya.
Presiden SBY bahkan menyebutkan capaian IPK Indonesia tertinggi di antara negara ASEAN lainnya. Walaupun menurut survey internasional pada bulan Juni 2011 yang lalu yang dibiayai oleh Neukom Family Foundation, Bill & Melinda Gates Foundation dan Lexis Nexis, Indonesia menempati negara terkorup ke 47 dari 66 negara di dunia dan terkorup ke 12 dari 13 negara di Asia Pasifik seperti dilansir United Press International, Selasa (14/6/2011).
Paradoks lain dalam ranah hukum, rakyat kecil sering kali di jerat dengan hukum tak adil, sebagaimana kasus Prita Mulyasari dan Nenek Marsinah. Sementara rakyat besar dengan melenggang kangkung ke luar negeri membawa miliaran hingga trilyunan uang negara.
Berbagai apologi dan alibi dijadikan alasan untuk membiarkan mereka lolos. Hukum menjadi pisau bermata satu. Tajam kebawah, tumpul ke atas.
Perang melawan korupsi yang kian gencar didengung-dengungkan hanya pepesan kosong, karena justru semakin menggurita hingga ke orang-orang dekat istana seperti Nazaruddin. Gurita korupsi juga terindikasi dari bertambah panjangnya daftar aparat "penegak hukum", yang ikut terlibat kejahatan sistemik tersebut.
Negeri Paradoksal
Bukan hanya kali itu saja polah pradoks diatraksikan oleh pemerintah. Dikesempatan lain, pemerintah βbaik oleh Presiden SBY sebagai pucuk pimpinan maupun oleh para pembantunya sering mengklaim (baca: mempropagandakan) jika Indonesia memiliki sejumlah prestasi.
Masih segar dalam memory kolektif publik Indonesia, beberapa bulan lalu, seorang TKI yang bernama Ruyati Binti Sapubi dieksekusi pancung di Arab Saudi. Padahal tiga hari sebelumnya Presiden SBY mendapat standing applause saat menyampaikan pidatonya dalam sidang International Labour Organization (ILO) ke 100 di Swiss.
Saat itu, dengan bangga dan percaya diri Presiden SBY memaparkan program pemerintah RI dalam memperhatikan nasib TKI di luar Negeri. SBY mengatakan bahwa di Indonesia mekanisme perlindungan terhadap PRT migran Indonesia sudah berjalan, tersedia institusi dan regulasinya.
Tapi nyatanya, pidato tersebut hanyalah buaian semu seiring dengan banyaknya problem buruh migran di berbagai negara.
Selain paradoks soal korupsi yaitu klaim indeks persepsi korupsi di Indonesia yang terus membaik pada masa pemerintahannya, paradoks lain dalam pidatonya di hadapan DPD-DPR Selasa (16/8) kemarin, Presiden SBY mengklaim kemajuan proses konsolidasi demokrasi yang katanya diakui oleh komunitas internasional sebagai proses konsolidasi terbaik di Asia dan Afrika.
Padahal yang ada hanya demokrasi semu. Karena model kekuasaan tak jauh beda dengan oligarki, bahkan Profesor Jeffery Winters (2011) menyebut Indonesia telah menggunakan sistem rulling oligarki.
Yaitu berpusatnya sumber daya kekuasaan, sumber daya politik serta ekonomi pada satu kekuatan karena para oligarki bersatu setelah melalui demokrasi prosedural.
Model seperti ini rentan dengan konflik karena selalu ada upaya untuk mendominasi diantara elemen-elemen kekuatan yang ada. Akhirnya kita menyaksikan antar parpol dan antar politikus sering kali terlibat perseteruan bak sinteron.
Pada akhirnya dibuat konsensus bersama berupa pembagian kue kekuasaan agar terjadi stabilitas sebagaimana diamini oleh pidato Presiden SBY. Maka model-model skandal seperti yang menimpa partai Demokrat (dan Nazaruddin) saat ini, membuat kita pesimistik, karena bisa hilang di tengah jalan akibat dijinakkan kekuatan politik.
Sebelumnya, pola ini nampak jelas kita saksikan dari beberapa kali kejadian. Misalnya parpol yang tergabung di dalam koalisi pemerintahan SBY-Budiono, justru saling gertak sambal dengan menjadikan skandal yang diduga melibatkan jaringan partai berkuasa sebagai amunisi.
Ketika mencuat isu reshuffle akibat lemahnya kinerja pembantu presiden, dengan cepat isu-isu yang rentan meruntuhkan kredibilitas penguasa kemudian dijadikan alat sandera. Sepeti kasus mega skandal Bank Century, Mafia Pajak dan saat ini kasus Mafia Kursi Haram DPR.
Terakhir, dari sisi ekonomi di dalam podatonya Presiden SBY juga membanggakan meningkatnya cadangan devisa dan menyebut-nyebut Indonesia sebagai emerging market yang dalam tempo 20-30 tahun kedepan, katanya Indonesia akan masuk dalam 10 besar negara maju di dunia.
Tapi faktanya, pujian dan apresiasi terhadap pertumbuhan ekonomi Indonesia yang disejajarkan dengan Cina dan India, ternyata tidak mampu mereduksi kemiskinan yang masih menghantui bangsa ini.
Memakai standar baku internasional, dengan batasan penghasilan sebesar 2 dollar Amerika per hari atau setara Rp. 540.000 per bulan (dengan menggunakan asumsi Rp. 9.000 per USD), maka kita akan tercengang karena jumlah penduduk miskin di Indonesia mencapai hampir 100 juta orang (data BPS).
Padahal dengan logika sederhana, kita bisa menalar seharusnya pertumbuhan ekonomi itu dinikmati oleh semua lapisan masyarakat. Namun fakta berbicara lain, pertumbuhan ekonomi yang didominasi oleh sektor korporasi hanyalah berpengaruh pada penumpukan harta para kapitalis yang menamakan diri investor.
Mereka jumlahnya hanya segelintir. Benarlah apa yang dikatakan Buya Syafi'i Ma'arif, bahwa puncak menara pertumbuhan ekonomi dihuni oleh segelintir orang, sementara di dasarnya, ada jutaan rakyat miskin dan papa. Paradoks, di sisi lain ada yang bertambah kaya, sementara disudut lain ada yang mati kelaparan.
Surat Citra Pada Koruptor
Paradoks-paradoks ini sebenarnya bermuara pada gaya politik Presiden SBY yang lebih mengendepankan pencitraan ketimbang kinerja yang berdampak dan dirasakan langsung oleh masyarakat bawah.
Hampir di setiap pemerintah dirorongrong oleh berbagai isu, Presiden SBY selalu keluar ke podium menggunakan jurus saktinya, pidato. Dengan gaya retorika yang tertata hendak meninabobokan rakyat Indonesia, bahwa sebenarnya tidak terjadi apa-apa, oleh karenanya jangan salahkan pemerintah. Tapi di sisi lain, masyarakat secara faktual merasakan getirnya kehidupan.
Terbaru, kita disuguhi lagi dengan adegan lucu, ketika SBY sebagai Presiden repot-repot membalas surat koruptor Nazaruddin, tersangka korupsi Wisma Atlet Sea Games Palembang dan sejumlah proyek yang menurut KPK nilainya menembus Rp. 6 triliun.
Padahal sebelumnya SBY serta petinggi Partai Demokrat telah berkali-kali menegaskan untuk tidak mencampuri proses hukum Nazaruddin. Sangat kuat isyarat kekhawatiran jika surat sebelumnya dikirim oleh Nazaruddin yang berisi permintaan kepada Presiden SBY untuk mengadili dirinya tanpa diproses hukum dengan syarat jaminan Neneg, Istri Nazaruddin, menurunkan citra Presiden SBY.
Dalam konteks komunikasi politik artinya dengan kapasitasnya sebagai Kepala Negara, Presiden SBY rela mensejajarkan diri dengan koruptor.
Maka langkah tersebut sebenarnya sangat-sangat tidak subtansial dan tidak berdampak bagi kepentingan rakyat. Sekali lagi, rakyat tidak butuh pencitraan bagi netralitas pemerintah dalam proses penegakan hukum.
Akan tetapi rakyat butuh ketegasan sikap pemerintah mengadili para koruptoir. Sehingga sangat nampak hanya ada semangat pencitraan dari surat balasan Presiden SBY tersebut ke pada Nazaruddin. Tepatnya, surat citra pada koruptor.
Melalui pidato-pidato retoris nan indah dan surat kepada koruptor tersebut, sejatinya Presiden SBY sedang mengakumulasi kekecewaan rakyat.
Pada pada saatnya nanti, SBY akan mengakhiri karier politiknya dengan dikenang sebagai pemimpin yang gagal karena hanya jago parade pidato retoris yang sangat normatif. Tidak merealitas.
Jangan salahkan rakyat jika suatu saat akan jujur menilai dan mengatakan apa yang mereka rasakan (bukan sekedar apa yang disaksikan melalui pencitraan di media), bahwa Presiden SBY memang hanya bisa meninabobokan rakyat dengan parade pidato dan surat citranya.
*Penulis Adalah Pengurus Pusat Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI)
Jusman Dalle
Jl. Urip Sumoharjo Km. 05 Makassar
jusmandalle@rocketmail.com
085299430323
(wwn/wwn)