Dimensi mencerdaskan kehidupan bangsa memiliki pengaruh resonansi yang ekskalaktif untuk berbagai sendi kehidupan. Baik ekonomi, sosial, maupun politik.
Secara derivatif, amanat "mencerdaskan kehidupan bangsa" telah dibreakdown ke dalam Pasal 3 UU Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional yang secara gamblang menjelaskan rumusan fungsi dan tujuan pendidikan nasional.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Kalimat tersebut setidaknya memuat fungsi dan sekaligus tujuan pendidikan nasional. Pertama, rumusan tentang fungsi pendidikan yaitu untuk mengembangkan kemampuan dalam rangka membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat sebagai manifestasi dari kecerdasan kolektif kita sebagai suatu bangsa.
Pada poin ini, jelas bahwa pendidikan nasional kita mengedepankan adab yang dalam bahasa Prof. Mulyadhi Kartanegara (2009) disebut sebagai bagian terintergaris dari karakter masyarakat madani.
Masyarakat madani di dalam beberapa referensi didefinisikan sebagai masyarakat yang berkarakter khas dengan nilai-nilai yang tinggi. Di dalam kamus bahasa Inggris misalnya, masyarakat madani disebutkan dengan istilah civilized yang berarti memiliki peradaban (civilization).
Kamus bahasa Arab menyebut masyarakat madani dengan tamaddun yang juga berarti peradaban atau kebudayaan tinggi.
Dengan demikian, 'watak peradaban bangsa yang bermartabat' sebagaimana disebutkan di dalam UU Nomor 20 Tahun 2003 tersebut lebih pada praksis cita-cita untuk mengonstruksi karakter kolektif manusia Indonesia sebagai suatu bangsa.
Inilah alasan mengapa di dalam dunia pendidikan termutakhir, pendidikan karakter menjadi perbincangan menarik dalam pengayaan model pendidikan nasional Indonesia.
Kedua, rumusan tentang tujuan pendidikan nasional yakni mengembangkan potensi manusia agar mengejewantah di dalam dirinya nilai-nilia spiritual yang diimplementasikan dalam bentuk output akhlak mulia, sehingga menjadi manusia yang demokratis dan memiliki tanggungjawab.
Di dalam poin ini, fatsun moral dengan landasan nilai-nilai keagamaan disandingkan dengan karakter demokratis, kemudian dipertegas dengan sikap tanggungjawab yang merupakan pengejewantahan dari karakter seorang demokrat (pelaku demokrasi).
Dalam konteks dinamika demokrasi Indonesia kontemporer, maka parameter keberhasilan pendidikan nasional salah satunya bisa kita lihat dari kualitas demokrasi kita dengan adanya partisipasi masyarakat.
Sebagaimana disinyalir beberapa ahli politik seperti Joseph Schumpeter (1974), salah satu upaya mewujudkan partisipasi publik sebagai pelaku demokrasi (politik partisipatif) hanya dapat dicapai melalui kontruksi pendidikan yang berkualitas. Pendidikan menjadi titik tolak untuk melahirkan awarness (kesadaran) dan kemauan untuk berpartisipasi.
Demokrasi partisipatif , lanjut Scumpeter, berarti kedaulatan tertinggi yang berada di tangan rakyat dapat dilaksanaan melalui kegiatan bersama untuk menetapkan tujuan-tujuan, serta masa depan bersama.
Pandangan ini lahir dari nalar bahwa tiada demokrasi tanpa partisipasi politik warga, sebab partisipasi merupakan esensi dari demokrasi. Sebagaimana kita lihat dari pengertian demokrasi tersebut secara normatif, yakni pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat.
Sementara Max Weber, memandang bahwa salah satu alasan masyarakat berpartisipasi dalam politik yaitu alasan rasional nilai. Bahwa masyarakat melihat ada nilai yang perlu dijaga secara bersama-sama dengan melibatkan semua stakeholder.
Pada titik inilah kita menemukan korelasi demokrasi partisipatif dengan pendidikan nasional yang mencita-citakan masyarakat rasional dan berkarakter. Karater yang akan melahirkan nilai di dalam masyarakat.
Lebih lanjut, dengan keterlibatan masyarakat dalam berbagai kebijakan publik, secara sinergis akan mendorong lahirnya good governance dan clean governance yang bercirikan efisiensi menejemen, akuntabilitas, tersedianya infrastruktur hukum, sistem informasi yang menjamin akses masyarakat terhadap informasi yang berisi kebijakan pemerintah. Semua ciri tersebut lahir dari prinsip-prinsip demokrasi.
Kembali ke soal pendidikan, salah satu tantangan pendidikan kita selama ini adalah adanya disparitas antara kualitas "pendidikan kota" dan “pendidikan desa” yang diakibatkan oleh terbatasnya infrastruktur dan suprastruktur pendidikan. Harus diakui, secara kausal hal ini turut mempengaruhi kualitas partisipasi politik masyarakat kota dan desa.
Akar masalah yang selama ini menjadi alasan pemerintah adalah keterbatasan dana, padahal Pasal 31 UUD 1945 telah mewaijbkan 20 persen dari APBN maupun APBD dialokasikan untuk sektor pendidikan. Maka melalui momentum HUT Proklamasi Kemerdekaan RI, kita berharap agar pemerintah kembali merenungkan cita-cita kemerdekaan yang dirumuskan 66 tahun silam tersebut.
Kemerdekaan untuk mencerdaskan kehidupan seluruh anak bangsa tanpa lapisan-lapisan terntentu demi tegaknya demorkasi melalui demokrasi partisipatif.
Keterangan Tentang Penulis :
*Penulis adalah Pengurus Pusat Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI)
Jusman Dalle
Jl. Urip Sumoharjo Km. 05 Makassar
jusmandalle@rocketmail.com
085299430323
(wwn/wwn)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini