Makna Sosial Tradisi "Nyumbang"

Makna Sosial Tradisi "Nyumbang"

- detikNews
Kamis, 28 Jul 2011 08:26 WIB
Jakarta - Satu bulan menjelang Ramadhan, umat Islam di Indonesia memiliki tradisi memanfaatkan bulan tersebut dengan beragam hajatan mulai dari sunatan, kawinan, sedekah desa (tradisi masyarakat Jawa).

Bulan ini kerap disebut dengan "musim hajatan" atau masyarakat Jawa menyebutnya "musim repot". Selama musim inilah berbondong-bondong warga masyarakat hadir ke rumah "shohibul hajat" dengan beragam buah tangan mulai dari bahan-bahan makanan seperti beras, mihun, gula dan kini yang marak berbentuk uang.

Buah tangan ini dalam tradisi masyarakat Jawa dikenal dengan nama "Nyumbang" yakni suatu pemberian suka rela warga masyarakat kepada anggota keluarga, sahabat dan tetangga yang tengah memiliki hajatan.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Tradisi Nyumbang dalam masyarakat Jawa memiliki beberapa nama-nama dan istilah yang berbeda-beda. Di Jawa Timur sebagian besar masyarakat menyebutnya "buwuh".

Dalam masyarakat lainnya juga kerap disebut dengan "mbecek atau jagong". Istilah yang berbeda dengan makna yang secara subtansi sama. Tulisan ini ingin menjawab dua pertanyaan bagaimana tradisi Nyumbang membentuk masyarakat Jawa dan apakah tradisi ini berjalan di atas rel keadilan atau justru malah memiliki semangat lain di luar yang telah digariskan oleh para nenek moyang.

Asuransi Sosial

Hidup di tengah-tengah struktur masyarakat Jawa seperti kita mafhum menempatkan kita terikat dengan tradisi-tradisi. Dalam setiap peristiwa kehidupan manusia di Jawa mengandung makna yang kemudian diiringi dengan perayaan seremonialnya masing-masing.

Ketika seorang anak di lahirkan, tradisi Jawa mengenal dengan yang namanya neton (peringatan hari lahir), selapan, tujuh bulanan dan sebagainya.

Menginjak usia dewasa, sang anak wajib di khitan (bagi laki-laki) dan masuk masa pingitan (bagi perempuan) yang kemudian dilanjutkan dengan perayaan pernikahan sebagai pintu gerbang membangun bahtera rumah tangga.

Tradisi seremonial terakhir sebagai penanda tahapan kehidupan manusia di Jawa adalah peringatan kematian seperti dikenal dengan "pitung dinan" (selamatan selama tujuh hari berturut-turut), nyatus (selamatan seratus hari kematian), dan sewon atau "nyewu" (seribu hari)

Di luar tahapan kehidupan anak manusia tersebut, masih terdapat peristiwa-peristiwa lain yang juga tak luput dari acara seremonial "selamatan" seperti mendirikan rumah, peringatan sedekah desa dan lain sebagainya. Tradisi seperti ini kerap menimbulkan perdebatan di antara kaum "agamawan" karena dianggap bid’ah yakni kegiatan seremonial yang tidak ada acuan hukumnya dalam Al-qur'an dan hadist.

Bagi masyarakat Jawa sendiri tradisi ini diyakini sebagai bentuk akulturasi dari kebudayaan hindu Jawa dan kebudayaan Islam. Bentuk upacara seremonialnya yang kental dengan tradisi Hindu Jawa lama kelamaan sirna dan berganti dengan istilah baru yakni β€œsedekah” atau β€œsedekahan” (mengambil konsep "shodaqoh" dalam Islam).

Dalam menjalankan tradisi tersebut di atas, esensial Nyumbang mengikat dalam kehidupan masyarakat Jawa. Hakekat Nyumbang yang diturunkan puluhan generasi ini memiliki makna untuk meringankan beban anggota masyarakat yang tengah melaksanakan hajat atau selamatan.

Bahkan sebelum tahun 2000-an, di Jawa Timur khususnya di pedesaan pantura dan tapal kuda (Jawa Timur terbagi tiga wilayah Pantura atau Pantai Utara, Tapal Kuda dan Mataraman) masih memegang tradisi Nyumbang kepada anggota masyarakat yang tengah membangun rumah. Ada yang Nyumbang batu, semen, kayu, ubin, dan pasir.

Pertanyaan kerap hadir ketika tradisi ini masih bertahan di tengah struktur masyarakat yang "organis" seperti saat ini. Karena tradisi seperti ini semestinya hanya bertahan dalam masyarakat paguyuban yang bertumpu pada solidaritas mekanistik. Kenyataannya tradisi Nyumbang justru tidak hanya menjadi fenomena tunggal masyarakat lokal di desa pedalaman namun (juga) ditradisikan oleh masyarakat perkotaan.

Dari dialektika penulis dengan anggota masyarakat baik di pedesaan Jawa Timur maupun di kota Jakarta ditemukan sebuah fakta bahwa tradisi Nyumbang dapat langgeng karena memiliki nilai dan jaminan sosial bagi masyarakat. Prasetyo (2007) menyebut bahwa tradisi Nyumbang merupakan asuransi sosial yang berbentuk sangat sederhana.

Menyumbang merupakan bentuk perilaku masyarakat dalam meminimalisir dan mendistribusikan beban kehidupan mereka, terlebih dalam menghadapi resiko dan ketidakpastian masa depan (Prasetyo, 2007).

Contoh sederhana yang dapat ditemui pada masyarakat Jawa adalah ketika ia menyumbangkan kayu, batu, pasir dan bahan material dalam pembangunan rumah anggota keluarga atau tetangga, sesungguhnya ia berharap di waktu yang akan datang akan memperoleh kembalian yang sama ketika ia akan membangun rumah untuk anak-anaknya yang sudah berumah tangga.

Begitupun dengan tradisi Nyumbang dalam acara hajatan pernikahan dan "selametan", tidak sedikit anggota masyarakat Jawa Nyumbang hasil-hasil bumi yang dimilikinya dalam jumlah banyak seperti pisang, beras, kambing dan lain sebagainya karena sebenarnya mereka yang menyebutnya "nitip" barang-barang tersebut, kelak berharap akan dapat mengambil kembali pada saat melaksanakan hajatan yang sama.

Istilah "nitip" ini memang agak berbeda dengan istilah "bowo" dalam tradisi Nyumbang ala masyarakat Jawa. Jika bowo nilai material bersifat "sekadarnya" dan tidak memberatkan seperti beras 10 kilo, namun dalam tradisi "nitip" biasanya barang-barang yang "dititipkan" tersebut berjumlah besar seperti pisang 50 curung (pohon) atau pasir 10 truck untuk pembangunan rumah.

Kapitalisasi "Nyumbang"

Jika kita hadir dalam hajatan nikahan seorang kerabat atau tetangga, di pintu depan rumah "shohibul hajat" biasanya disambut oleh penerima tamu dengan buku daftar hadir di depannya. Penerima tamu bertugas mencatat tamu yang hadir dan juga mencatat besaran uang yang disumbangkan oleh masing-masing tamu.

Sebelum mendatangi sebuah hajatan pun, dalam undangan juga kerap tertulis "hanya menerima sumbangan dalam bentuk uang". Ini artinya pemilik hajat telah menentukan bentuk "sumbangan" yang dalam tradisinya bersifat sukarela. Persegeran nilai dalam tradisi Nyumbang berimplikasi pada dua hal.

Pertama akumulasi modal pemilik hajat. Tradisi Nyumbang yang telah dimaterialkan dalam wujud uang mendorong pemilik hajat menjadikan hajatannya sebagai ladang akumulasi modal.

Di pedesaan Jawa Timur (observasi penulis di wilayah Tapal Kuda), tradisi Nyumbang justru banyak dimanfaatkan oleh para tuan tanah untuk memodali shohibul hajat dalam bentuk "arisan". Dalam konteks ini tradisi Nyumbang dijalankan masyarakat dengan tujuan gengsi. Karena uang yang disumbangkan harus ditarik, tidak sedikit dari anggota "arisan" kemudian membuat hajatan (meski tidak ada tahapan kehidupan atau peristiwa).

Dalam hajatan seperti ini tentu pelaksanaannya tidak sama dengan hajatan yang diselenggarakan untuk memaknai tahapan kehidupan seseorang atau adanya peristiwa tertentu dalam masyarakat Jawa. Karena yang diundang dalam "hajatan" ini bersifat ekslusif hanya meliputi anggota "arisan" saja dengan rangkaian acara kesenian dan perekatan jaringan. Biasanya anggota arisan adalah mereka yang memilik i profesi sama seperti para blantik sapi (pedagang sapi), pengusaha penggilingan padi, pedagang motor dan lain sebagainya.

Dengan adanya perubahan nilai dalam tradisi Nyumbang yang dulunya bersifat suka rela bergeser pada upaya pengumpulan materi membawa dampak bergeser pula pada semangat gotong royong masyarakat.

Sebab untuk penyelenggaraan hajatan yang dulunya dilaksanakan secara gotong royong kini mulai dari penyiapan tenda sampai catering diserahkan pada badan usaha. Akibatnya masyarakat yang tidak memiliki uang tidak lagi bisa "menyumbangkan" tenaga dan pikirannya dalam hajatan tersebut.

Kedua, beban bagi masyarakat miskin. Akumulasi modal dalam hajatan juga dirasakan memberatkan anggota masyarakat yang hidup digaris kemiskinan. Jika dulu mereka bisa menyumbangkan "tenaga dan pikiran (memasak)" dalam kegiatan "mrabot" (bekerja memasak selama hajatan tanpa bayaran) namun ketika tradisi Nyumbang hanya dimaknai dengan uang, maka tradisi ini justru membelenggu bagi sebagian masyarakat.

Apalagi dalam tradisi Jawa biasanya dikenal dengan bulan-bulan hajatan seperti saat ini, di mana undangan menumpuk membuat kita patut mempertanyakan apakah semangat solidaritas yang dimiliki dalam tradisi ini masih bisa dipertahankan atau justru membentuk wajah baru yakni kapitalisasi Nyumbang? Wallahu'alam

*Penulis adalah Mahasiswa Pascasarjana Sosiologi Pedesaan IPB


Susianah Affandy
Komp. Dosen IPB Jalan Melati No 1 Darmaga, Bogor
susianah.affandy@yahoo.com
081399236046

(wwn/wwn)



Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Hide Ads