Urbanisasi dan Struktur Sosial yang Timpang

HUT Kota akarta ke-484

Urbanisasi dan Struktur Sosial yang Timpang

- detikNews
Kamis, 23 Jun 2011 10:32 WIB
Jakarta - Hari ini Rabu, 22 Juni adalah Ulang Tahun Kota Jakarta ke-484. Seperti perayaan pada tahun-tahun sebelumnya, HUT Jakarta selalu diwarnai semarak Jakarta Fair atau Pekan Raya Jakarta berupa festifal dan pameran produk-produk industri, budaya dan wisata kuliner Jakarta.

Dan pada HUT-nya kali ini, sebentang spanduk panjang terpampang di Bundaran Hotel Indonesia dan kawasan Taman Impian Jaya Ancol (19/6), bertemakan Ubeg-Ubeg (Usul Begini-Usul Begitu) mewarnai kota metropolitan.

Di bentangan spanduk tersebut, tertulis harapan warga Jakarta yang sebagian besar menginginkan agar pemerintah DKI Jakarta dapat mengatasi permasalahan sosial.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Di antara masalah sosial yang menyelimuti kota Jakarta adalah tingginya angka kriminilitas yang terkait dengan kemiskinan warganya. Kemiskinan warga Jakarta dapat dipotret dari perkampungan kumuh yang letaknya dibawah gedung-gedung pencakar langit. Perkampungan kumuh tersebut sebagian besar dihuni oleh kaum urban tidak berpendidikan dan bekerja di sector informal dan non formal.

Urbanisation dan Pembangunan Perkotaan

Gubernur DKI Jakarta Fauzi Bowo menyebutkan dalam kurun 2 tahun (2009-2010) terakhir terjadi penurunan jumlah urbanisasi ke Jakarta. Tahun 2009 para pemudik yang disinyalir Pemerintah Daerah DKI Jakarta telah membawa anggota keluarga atau tetatangganya ke Ibu Kota ini berjumlah 68.000 jiwa.

Angka ini turun sebesar 20% dari jumlah urbanisasi yang masuk ke Jakarta tahun 2008 yakni sebesar 80.000-an jiwa. Sedangkan pada tahun 2007 jumlah penduduk desa yang masuk Jakarta berkisar sekitar 100.000 jiwa (Susianah, 2010).

Penurunan angka urbanisasi ke DKI Jakarta tak bisa dipungkiri sebagai akibat meluasnya pembangunan ekonomi di kota-kota kecil sekitar Jakarta. Pembangunan pabrik dan sektor industri yang dipusatkan pada daerah luar Jakarta mengundang urbanisasi ke daerah tersebut. Sehingga menurunnya angka urbanisasi di Jakarta berbanding terbalik dengan meningkatnya angka urbanisasi di daerah seperti Bekasi, Depok dan Tangerang.

Terjadinya perpindahan penduduk dari desa ke kota disebabkan oleh berbagai faktor, baik faktor penarik maupun pendorong. Perkembangan industri dan perdagangan di kota Jakarta merupakan faktor penarik yang menyebabkan banyak orang desa melakukan migrasi ke metropolitan.

Selain itu juga sarana dan prasarana pendidikan dan rekreasi yang tersedia di kota seperti Jakarta juga mempunyai daya tarik yang tak kalah pentingnya di samping pengaruh media dengan segala bentuk pesan yang di tawarkan terhadap kehidupan modern Jakarta. Jahratunnazmi, (2009) menyebutkan di sinilah terdapat titik temu hubungan mutualisme antara kaum urban yang ingin mendapatkan kemudahan hidup dengan pembangunan ekonomi perkotaan.

Pembentukan Elit

Paruh waktu 1990-an, Urbanisasi di Jakarta banyak dilakukan oleh penduduk berlatar belakang pendidikan sarjana. Kedatangan para sarjana dari berbagai latar belakang disiplin ilmu ini memiliki beragam motivasi.

Dalam pandangan penulis terdapat tiga motivasi yang menggerakkan para sarjana menjadikan Jakarta sebagai tumpuan masa depan;

Pertama para sarjana ini sebagian besar daerah berasal dari daerah pedesaan yang bersifat agraris dan tidak kondusif bagi pengembangan ilmu pengetahuan. Artinya ada kesenjangan antara disiplin ilmu yang dipelajari oleh anak-anak muda dengan lapangan pekerjaan yang sebagian besar hanya bertumpu pada sektor pertanian dan kehutanan. Di sisi lain para sarjana yang melakukan migrasi ke Jakarta juga berasal dari keluarga yang sudah tidak lagi mengandalkan pertanian sebagai mata pencaharian.

Kedua, struktur sosial daerah pedesaan yang tidak mendukung berkembangnya para sarjana juga menjadi alasan mengapa mereka tertarik mengadu nasib ke Jakarta.

Ketiga, motivasi para sarjana melakukan urbanisasi ke Jakarta disebabkan adanya keinginan besar mereka mengikuti para seniornya dari almamater yang sama untuk berkiprah dalam kegiatan sosial-politik.

Iklim politik baru pasca lengsernya kepemimpinan Presiden Soeharto membuat para sarjana dari luar Jakarta tergerak melakukan migrasi ke kota.

Para sarjana yang melakukan migrasi dari desa ke Jakarta dengan dorongan mengikuti jejak para seniornya yang sudah menempati posisi baik itu dalam struktur politik, lembaga birokrasi maupun dunia usaha rupanya sejak lama sudah menjadi perhatian para Sosiolog dan pakar kependudukan.

Masuknya kaum urban intelektual dan membentuk komunitas menurut Soetomo (2009) sebenarnya telah lama terjadi. Kaum urban intelektual membentuk komunitas dan elit masyarakat.

Dalam waktu yang tidak terlalu lama sejak terbentuknya komunitas kecil tersebut, para elit masyarakat tersebut lalu mengelompok berdasarkan persamaan sifat menjadi elit-elit yang lebih fokus dan profesional; ada elit politik, ekonomi, budayawan.

Soetomo (2009) menyebutkan bahwa jika elit politik berhasil menciptakan kekuasaan maka kehadiran para pedagang ke kota berhasil menciptakan elit kapitalis atau kelompok borjuasi begitupun dengan kelompok budayawan yang juga berhasil menciptakan dan mengembangkan seni serta ilmu pengetahuan.

Dengan demikian hadirnya kaum intelektual ini telah membentuk kota menjadi pusat kekuatan politik, kebudayaan dan ekonomi dan menjadikan kota Jakarta berstruktur sosial masyarakat yang heterogen.

Struktur Sosial yang Timpang

Dari rangkaian program pembangunan ekonomi yang mengedepankan pertumbuhan, di manakah pemerintah menempatkan masyarakat asli Jakarta? Di sinilah permasalahannya.

Pembangunan perkotaan yang telah menyebabkan terjadinya gerak penduduk dari desa ke kota tanpa disadari telah membentuk struktur sosial yang timpang. Megahnya kota Jakarta dengan perencanaan yang modern baik dari segi fisik bangunan dan maupun tata perencanaan kotanya telah memunculkan wajah ganda dalam struktur sosialnya.

Terbentuknya perkampungan-perkampungan menunjukkan adanya entitas hubungan kekerabatan seperti yang ada dalam kampung Jawa, Kampung Bali, kampung Makasar, Kampung Madura sehingga dengan sendirinya terdapat "desa di kota". Hal ini tidak terlalu merisaukan jika akulturasi budaya tidak menyebabkan tercerabutnya budaya asli Jakarta bahkan terkikisnya sedikit demi sekidit masyarakat asli dari kota kelahirannya.

Hal ini bisa kita lihat dengan semakin terpinggirkannya mereka dari tanah kelahirannya. Kini warga asli Jakarta banyak yang tinggal di daerah-daerah pinggiran Jakarta seperti Bekasi, Ciputat, Citayam, Bogor dan lain sebagainya.

Isu otonomi daerah di satu sisi memang telah menggugah semangat patriotic warga asli Jakarta untuk membangun kotanya. Namun di sini lain semangat tersebut juga membentuk satu gerakan primordial "tandingan" yang justru kerap merisaukan karena kerap hadir dalam setiap persoalan konflik sosial seperti Forum Betawi Rempug dan lain sebagainya.

Urbanisasi dan pembangunan wilayah perkotaan bak dua sisi mata uang yang saling terkait. Pembentukan elit baru juga bagian dari proses dan dinamika sosial perkotaan selain permasalahan usang yang kerap mengiringi urbanisasi yakni berupa kemiskinan, tata ruang kota yang amburadul sehingga menimbulkan permasalahan seperti macet, banjir, sampah yang menumpuk dan kepadatan hunian.

Dan masalah yang sering terlupakan dalam kajian sosial perkotaan adalah luruhnya budaya local masyarakat Jakarta dan terpinggirkannya mereka dari kampung nenek moyangnya.

*Penulis adalah Mahasiswa Pascasarjana Sosiologi Pedesaan IPB


Susianah Affandy
Komp. Dosen IPB Jalan Melati No 1 Darmaga, Bogor
susianah.affandy@yahoo.com
081399236046

(wwn/wwn)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini
Selengkapnya



Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Ajang penghargaan persembahan detikcom bersama Polri kepada sosok polisi teladan. Baca beragam kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini.
Hide Ads