Pemimpin Perspektif Islam

Pemimpin Perspektif Islam

- detikNews
Selasa, 14 Jun 2011 10:40 WIB
Jakarta - Kepemimpinan dalam Islam sangat vital. Dua kelompok besar Islam Sunni dan Syi'ah tidak berbeda pandangan tentang wajibnya seorang pemimpin dalam sebuah negara. Hanya saja kalangan Syi'i lebih ekstrim karena menempatkan keberadaan pemimpin sebagai salah satu pilar atau rukun iman.

Mengapa pemimpin begitu penting? Karena merupakan wadah untuk menciptakan kemaslahatan publik (al-mashlahah al-‘ammah). Di tangan seorang pemimpinlah ditentukan seperti apa nasib dan masa depan rakyat.

Atas dasar itulah sehingga seorang kandidat pemimpin (dalam setiap tingkatan) harus memiliki kriteria-kriteria ketat yang pada dasarnya lebih banyak cenderung kepada aspek moralitas, karakter dan kepribadiannya. Hal ini penting, sebab inilah yang menentukan kelak sepak terjang seorang pemimpin saat menjalankan kepemimpinan.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Jadi bukan aspek popularitas, modal finansial dan kolusi atau nepotisme yang menjadi kriteria pokok, sebagaimana jamak berlaku di negara kita.

Kepemimpinan Islam tidak semata mementingkan internal Islam dan umat Islam sendiri, tetapi memikirkan aspek sejagat (universal), dalam arti hanya untuk kepentingan kelompok Islam semata. Islam mementingkan jauh sampai kepada semua kelompok di luar Islam, sebagaimana telah dipraktekkan nabi Muhammad saw saat memimpin negara Madinah.

Konsep inilah yang menjadi idealitas leadership dalam Islam. Dalam konteks Indonesia sebagai negara yang bukan negara Islam, tentu bukan menjadi halangan untuk menerapkan konsep atau spirit kepemimpinan Islam, mengingat bangsa Indonesia mayoritas beragama Islam.

Konsep kepemimpinan Islam sama sekali bukan momok mengerikan bagi kelompok-kelompok non-muslim, bahkan itu menjadi sebuah rahmat dan karunia sebagaimana Islam telah menunjukkan sikapnya yang rahmatan lil 'alamin.

Kriteria Pemimpin dalam Islam

Karena penting dan strategisnya pemimpin dalam Islam, sehingga seorang kandidat pemimpin haruslah dipilih dengan syarat-syarat tertentu, antara lain pemimpin harus jujur (shiddiq, integritas), pemimpin harus terpercaya (amanah, kredibelitas), pemimpin harus cerdas (fathanah, kapabilitas) dan pemimpin harus terbuka (tabligh, transfaransi).

Moralitas dan karakteristik tersebut merupakan sesuatu yang melekat, bukan instan dan spontanitas apalagi dibuat-buat. Karena itu syarat-syarat tersebut kelihatan sangat ketat dan berat, di samping memang bersifat tabiat, tetapi juga kriteria tersebut harus diterapkan secara holistik dan tuntas.

Pemimpin yang jujur jika statemen atau pidatonya realistis, mampu dibuktikan dengan perbuatan. Bukan mengumbar dan menebar harapan besar, tetapi kenyataannya tidak ada pembuktian. Pemimpin yang berintegritas merupakan pribadi yang memiliki tkomitmen dan hati nurani yang berani menyelaraskan antara perkataan dan perbuatan.

Dalam Islam, pemimpin yang berbuat sejalan dengan perkataannya itulah yang disebut pemimpin jujur. Sebaliknya pemimpin yang berbuat tidak sejalan dengan ucapannya disebut dengan pembohong atau khianat. Dalam kaitan ini, pemimpin sama sekali tidak dibenarkan oleh Islam selalu menebar pencitraan, seolah-olah selalu bertekad berbuat yang terbaik untuk rakyat, tetapi tidak terbukti.

Perbuatan seperti ini (politik pencitraan) dalam Islam dikategorikan sebagai kabura maqtan (kebencian atau dosa besar).

Pemimpin yang terpercaya berkaitan erat dengan sifat jujur, segala sepak terjangnya tidak membuat rakyat resah dan was-was, sebab pemimpin tersebut sungguh dapat dipercaya, ia dapat menjadi tempat menyandarkan harapan dan terbukti kepercayaan itu tidak sia-sia. Rakyat merasa aman sebab terlanjur sudah memiliki tingkat kepercayaan tinggi kepada sang pemimpin.

Pemimpin yang cerdas tidak saja memiliki kemampuan intelektual, tetapi sangat penting memiliki kecerdasan emosional dan spiritual. Kemampuan intelektual yang tidak dibarengi dengan kemampuan emosional dan spiritual melahirkan pemikiran dan gagasan yang jauh dari spirit akhlak atau moralitas.

Pemimpin yang hanya cerdas secara intelektual sering menggunakan kekuasaannya dengan tindakan yang mengecewakan rakyat. Tidak memiliki pertimbangan emosional apalagi spiritual dalam memperlakukan rakyat atau bawahannya, sehingga terkesan toriter dan tidak bersahabat.

Pemimpin yang terbuka atau transfaran persis sama dengan seorang da'i dalam Islam yang menyampaikan kebenaran, menyeru kepada perbuatan yang baik dan melarang melakukan perbuatan munkar.

Pemimpin yang transfaran adalah yang menyampaikan segala sesuatu yang berkaitan dengan hak-hak rakyat untuk diketahui, sebaliknya tidak menyembunyikan informasi-informasi yang sepatutnya diketahui oleh rakyat.

Fungsi dan peran pemimpin dalam Islam untuk meciptakan kemaslahatan bersama. Tujuan terbesar dari kepemimpinan tersebut adalah dalam rangka mewujudkan kemaslahatan yang merata bagi semua warga negara. Bukan kemaslahatan tersebut hanya dicicipi oleh sekelompok orang saja.

Tidak dibenarkan kesejahteraan atau kekayaan dinikmati oleh segelintir orang saja, yaitu yang telah memiliki modal atau asset yang telah meguasai sumber-sumber kekayaan negara. Praktek-praktek seperti segelintir orang atau kelompok yang menguasai kekayaan, dalam Islam sangat dikecam.

Itulah sebabnya sehingga nabi Muhammad saw. sangat menganjurkan agar distribusi kesejahteraan dan kekayaan merata untuk semua rakyat. Tujuannya hanya satu agar kekayaan tidak berkutat pada orang-orang kaya saja.

Dalam sebuah riwayat disebutkan bahwa nabi Muhammad saw. pernah melarang para sahabat untuk mengambil daging kurban pada suatu musim haji. Sahabat bertanya mengapa hal itu dilakukan.

Rasulullah saw, menjawab bahwa saya melarang kalian untuk membawa pulang daging kurban, agar orang-orang yang bakal datang dari kampung-kampung pegunungan juga bisa mendapatkan daging kurban tersebut, apalagi mereka sangat membutuhkan sebab mereka dalam keadaan paceklik.

Demikianlah sebuah visi seorang pemimpin yang menempatkan kepentingan rakyat banyak di atas kepentingan segelintir kelompok sahabatnya. Dari situ sebenarnya terlihat ada strategi perekonomian yang sesungguhnya sangat baik diterapkan, yaitu pemberdayaan ekonomi masyarakat lemah yang betul-betul realistis dan berkesinambungan.

Dengan begitu, kekayaan dan pendapatan tidak saja dikuasai oleh sekelompok orang saja, tetapi terbuka kesempatan dan peluang yang sama untuk melaksanakan praktek ekonomi secara adil.

Tanggung Jawab Pemimpin

Dalam Islam seorang pemimpin disandarkan kepadanya tanggung jawab besar terhadap rakyatnya. Artinya di tangannyalah seorang pemimpin terletak nasib dan masa depan rakyatnya.

Seorang pemimpin bertanggung jawab atas segala apa yang terjadi atas rakyatnya. Sebab seorang pepmimpin selalu dimintai pertanggungjawaban atas apa yang dilakukan terhadap rakyatnya.

Seorang pemimpin yang memenuhi kriteria kepemimpinan di atas, tentu akan memiliki rasa tanggung jawab yang tinggi terhadap apa-apa yang akan dilaksanakan menyangkut kepentingan rakyatnya. Tetapi sebaliknya seorang pemimpin yang ridak memenuhi kriteria kepemimpinan di atas, akan kelihatan bagaimana sepak terjangnya dalam memimpin.

Pemimpin seperti ini, sepatutnya tahu diri dan legowo, tidak saja meletakkan jabatan, tetapi lebih dari itu harus mempertanggungjawabkan kepemimpinannya yang gagal membawa rakyatnya kepada kemaslahatan bersama.

Sebagai bentuk tanggung jawab, seorang pemimpin harus selalu mawas diri dan peka terhadap issu-issu yang beredar di masyarakat. Tidak sepatutny seorang pemimpin tidak tampil di publik dan sekonyong-konyong muncul memberikan statemen yang tidak saja membingungkan publik, tetapi juga telah membuat masyarakat dongkol dan kecewa.

Seorang pemimpin harus selalu sadar bahwa publik semakin peka dan cerdas. Semua langkah dan intrik politik pemimpinnya tentu mereka bisa ketahui, sehingga berpidato seakan-akan memperjuangkan rakyat miskin, lemah dan tertindas menjadi sebuah trik khusus pencitraan diri dan partai.

Hal ini bukan semata menimbulkan rasa muak dan kecewa, tetapi telah menyeret rakyat untuk segera menyudahi langkah konyol seperti itu.

Karena itulah sebabnya, Islam sama sekali tidak menolerir politik "manis di mulut pahit di bukti". Islam menghendaki seorang pemimpin yang memiliki komitmen dan integritas membawa rakyatnya menikmati hak-hak kemanusiaan, persatuan, keadilan sosial sebagai terpatri dalam sila-sila Pancasila, yang semakin hari semakin terlupakan oleh gegap-gempita gaung reformasi dan demokrasi Indonesia yang kebablasan.

Sangat ironis, jika sekelompok masyarakat rindu dan ingin kembali seperti pada masa rezim otoritarianisme Orde Baru, meski semua sadar betapa bangsa Indonesia terbelenggu dalam sebuah sistem zhalim.

Tetapi demi melepas diri dari sistem saat ini yang "setali tiga uang", sama bobroknya tentu beralasan. Sebab pada masa Orde Baru, keamanan sungguh jauh lebih kondusif, dibandingkan saat ini, nyawa seorang manusia tidak lebih sulit dilenyapkan dengan seekor ayam.

Konflik dan kerusuhan merebak di mana-mana, meski dengan alasan agama sekalipun. Praktek korup para pejabat dan elit partai mengalami peningkatan yang mencengangkan.

Tak mau kalah, perseteruan kepentingan kelompok partai, terutama partai penguasa dan koalisi, sungguh berada pada titik nadir. Mengatasnamakan kepentingan rakyat, tetapi kenyataannya tidak sama sekali. Anggota dewan pada umumnya berlomba-lomba memperkaya diri, menikmati berbagai fasilitas mewah beralasan mengoptimalkan kinerja, tetapi hasilnya nol besar.

Perbuatan-perbuatan seperti itulah yang jauh-jauh dalam Islam sudah dikecam. Empat pemimpin Islam besar (al-khulafa’ al-rasyidun) telah memeraktekkan sebuah kepemimpinan berbasis sebagaimana kriteria yang ditulis di atas.

Tidak jarang dari keempat pemimpin ini rela menderita dan berkorban demi rakyatnya yang melarat. Mereka tidak mementingkan memperkaya diri dan keluarga.

Mereka hidup apa adanya, sebab tujuan kepemimpinannya memang bukan untuk mencari kekayaan, tetapi mengangkat rakyatnya menjadi manusia yang bertakwa, beriman kepada Allah swt. menerapkan keadilan dan kesejahteraan bersama.

Idealitas kepemimpinan Islam tersebut, terletak pada garis pertanggungjawaban pemimpin di hadapan Tuhannya, bukan di hadapan rakyatnya. Pemimpin Islam memiliki rasa tanggung jawab bukan hanya di dunia tetapi jauh lebih penting di akhirat.

Dengan demikian selalu ada kesadaran spiritual dalam setiap sepak terjang mereka, bukan kesadaran pencitraan agar rakyat merasa simpatik dan agar popularitas terdongkrak karenanya.

*Penulis adalah dosen STAIN Ternate


Hamzah Giling
Aroepala Residence B No. 1 Gowa
hamgiling@gmail.com
081355473240

(wwn/wwn)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini
Selengkapnya



Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Ajang penghargaan persembahan detikcom bersama Polri kepada sosok polisi teladan. Baca beragam kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini.
Hide Ads