Gurita Sel NII dan Krisis Kohesifitas Pancasila

Gurita Sel NII dan Krisis Kohesifitas Pancasila

- detikNews
Jumat, 29 Apr 2011 14:22 WIB
Jakarta - Geger wacana brain washing (cuci otak) hari-hari ini menghiasi pemberitaan sejumlah besar media lokal dan nasional. Tidak tanggung-tanggung, sebagian besar korban berasal dari kalangan kampus, baik mahasiswa aktif maupun alumni (sarjana).

Para korban yang kemudian teridentifikasi terlibat dalam aksi terorisme, diduga telah menjadi korban brain washing oleh Negara Islam Indonesia (NII).

Kecurigaan aparat keamanan terhadap jaringan NII menguat pasca meledaknya bom bunuh diri yang terjadi di Masjid Adz Zikro, Kompleks Mapolresta Cirebon, Jawa Barat, Jumat (15/4/2011) lalu. Dari hasil pengembangan kepolisian, sejumlah terduga teroris digelandang densus 88. Para terduga (yang sebagian brubah status menjadi tersangka) akhirnya bernyanyi.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Penelisikan dan pengembangan lebih dalam, baik oleh aparat maupun pengamat, mengindikasikan adanya keterlibatan NII, sebagiamana yang diutarakan pengamat terorisme Mardigu WP. Menurut Mardigu, dilihat dari pola sasarannya, ledakan bom di Mapolresta Cirebon identik dengan pola sasaran NII atau DI/TII yang selama ini selalu menyerang aparat negara. Doktrin NII yang menghalalkan harta dan nyawa orang diluar NII menjadi kerangka aksi mereka.

Lebih jauh, bersamaan dengan kasus bom Cirebon, di beberapa kampus juga terjadi kasus brain washing yang mengorbankan sejumlah mahasiswa. Sebutlah misalnya korban dari Kota Malang sebanyak 15 orang, yaitu mahasiswa Universitas Muhammadiyah Malang (UMM), Jawa Timur, sebanyak 13 orang, dan mahasiswa Universitas Brawijaya (Unibraw) dua orang. Selain itu, darihasil penyelidikan mahasiswa kampus-kampus besar seperti ITB, IPB,UI dan UGM juga menjadi incaran NII.

Kekosongan faham keagamaan dan aktifitas di kampus menjadi celah bagi agen-agen NII melakukan rekruitmen sebagai bagian dari proses transmisi dan regenerasi. Maka tak heran jika aksi kekerasan dengan membajak agama tak pernah usai walau kepolisian secara aktif menangkap bahkan menembak mati pelaku-pelaku yang diidentifikasi sebagai teroris.

Gurita NII yang sekaligus menjadi ancaman ini, akhirnya menjadi stimulus bagi lembaga-lembaga pendidikan untuk lebih mawas diri. Secara aksiomatik, berbagai pilihan dapat dilakukan sebagai langkah prefentif. Dari peningkatan kualitas pendidiakn keagamaan, hingga menambah intensitas aktifitas akademik dan ekstra akademik mahasiswa. Hal ini tentu harus mendapat support system dari pemerintah sebagai perator pelaksana pendidikan.

Fakta gurita NII tersebut di atas, menjadi instrumen betapa kohesifitas sosial yang mengharmonisasi masyarakat kita, telah runtuh. Catatan panjang kekerasan sosial yang membajak agama, menjadi rangakaian noktah hitam pola-pola interkasi sosial masyarakat kita.

Kebanggaan sebagai bangsa yang padu dengan semangat gotong royong, kebhinekaan dan pluralitas menjadi sirna, tereduksi oleh kontraksi sosial yang keluar dari demarkasi normatif tersebut. Akhirnya, kekerasan menjadi bahasa sosial dalam pola-pola interaksi kemajemukan.

Jika kita telusuri dari perspektif historis, menurut Henk Schulte Norholt, geneologi kekerasan sesungguhnya sudah ada sejak berabad silam. Karakter dan benih kekerasan secara mekanistik terbentuk dari trauma sejarah (historycal traumatic) akibat penjajahan dan imperialisme. Inilah bagian yang disebut oleh Norholt sebagai rezim yang mewariskan ketakutan dan violence of power structur atau kekerasan negara.

Seiring transformasi Indonesia menjadi negara merdeka dengan nilai-nilai kebhinekaan sebagai perekat heterogenitas, maka kekerasan berlahan berhasil direduksi. Setidaknya pada masa awal kemerdekaan. Namun seiring dinamika politik sebagai bagian kontraksi sosial, benih-benih kekerasan lintas ideologi mulai bersemi.

Realitas ini tidak terlepas dari efek globalisasi dan makin lunturnya nila lokalitas sebagai identitas kebangsaan. Ada trend faktual, bahwa generasi muda lebih bangga pada nilai-nilai impor ketimbang mozaik dan khazanah kearifan lokal. Fakta ini dipertegas oleh survey Lembaga Kajian Islam dan Perdamaian (LaKIP) beberapa hari lalu, bahwa 25,8 persen generasi muda dari kalanagan pelajar di Jakarta, menilai Pancasila tidak lagi relevan menjadi dasar negara.

Banyak variabel yang kemudian menjadi stimulus munculnya gejala-gelaja sosial, yang disebut oleh Fritjop Chapra sebagai social pathology (patologi sosial). Di dalam bukunya The Turning Point, Chapra meretriksi patologi sosial tersebut ke dalam dua sub sektor.

Pertama, dari sektor ekonomi. Kekerasan diyakini lahir akibat keterdesakan untuk memenuhi kebutuhan dasar manusia. Sumber daya ekonomi yang terbatas sementara kebutuhan tak terbatas memaksa manusia untuk bertindak nekad demi memenuhi kebutuhan. Motif ekonomi ini sejalan dengan teori kebutuhan Abraham Maslow.

Bagi Maslow, basic needs (kebutuhan dasar) akan mendorong orang melakukan apa saja demi mempertahankan eksistensi. Terpenuhinya basic needs menjamin tingkat security and safety (keamanan dan keselamatan), untuk survive dan mencapai kebutuhan-kebutuhan selanjutnya yang bertingkat.

Kedua, dari sektor budaya. Struktur sosial yang bergolak dan akhirnya melahirkan kekerasan, merupakan indikasi adanya proses transformasi sehingga menyebabkan rasa alienasi (keterasingan) dan mental ketertinggalan. Sejarawan Arnold Toynbee menyebut hilangnya fleksibilitas di dalam masyarakat multikulural merupakan tanda-tanda keruntuhan sebuah budaya.

Struktur sosial dan pola perilaku masyarakat menjadi kaku, masyarakat tidak lagi mampu menyesuaikan diri dalam kreativitas respons. Kekakuan dan hilangnya fleksibilitas ini menyebabkan pudarnya harmoni secara umum dan mengarahkan masyarakat pada meletusnya perpecahan dan kekacauan sosial.

Dinamika sosial ini, menyebabkan friksi sosial budaya yang pada akhirnya melahirkan dua kutub kelompok masyarakat yang paradoks. Masyarakat radikal dan liberal. Tafsir-tafsir agama sering kali dibajak dan menjadi alat legitimasi untuk melancarkan aksi yang dikontruksi dari kekakuan logika kebudayaan, melengkapi patologis sehingga berfusi dalam mainstream kekerasan dengan jaringan global yang teralienasi dari masyarakat.

Melihat akar historis yang secara mekanistik membentuk potensi dan karakter kekerasan -termasuk juga pernah direkatkan oleh nilai-nilai Pancasila-, maka langkah revitalisasi sebagai wujud penanaman nilai-nilai kebhinekaan menjadi modal dasar interaksi sosial kita pada tahap selanjutnya.

Fitrah khazanah keluhuran Pancasila yang fleksibel dan akomodatif sebagai blue print gagasan kebangsaan, baik dalam pola kausalistik dalam pencapaian visi, di design untuk mampu mengeliminir tekanan-tekanan akibat kontraksi sosial tersebut.

Kohesifitas Pancasila sebagai mainstream kebangsaan yang menjadi medium harmonisasi, sejatinya harus bertahan di tengah semakin memuncaknya krisis kepemimpinan yang harusnya mampu mereduksi segala potensi konflik dan kekerasan. Namun apa lacur, jika pemimpin toh abai dan lemah di hadapan kekuasaan? Bisa saja, Gurita NII menjadi bom waktu yang mencerai beraikan harmonisasi kebangsaan kita.


*Penulis adalah Direktur Eksekutif TRANS Institute Indonesia dan Analis Ekonomi Politik Society Research And Humanity Development (SERUM) Institute


Jusman Dalle
Jl. Urip Sumoharjo Km.05 No.7 Makassar
jusmandalle@rocketmail.com
081355666048

(wwn/wwn)



Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Hide Ads