Video Porno di Parlemen, Perspektif Sosiologis

Video Porno di Parlemen, Perspektif Sosiologis

- detikNews
Selasa, 12 Apr 2011 13:37 WIB
Jakarta - Belum rampung perdebatan rencana pembangunan gedung baru DPR yang memakan biaya trilyunan, tiba-tiba masyarakat kembali terpukul dengan ulah wakilnya di parlemen. Arifinto, Anggota DPR-RI Fraksi PKS tertangkap kamera wartawan saat menonton video mesum di sela-sela sidang paripurna DPR-RI (8/4).

Mengetahui ulahnya akan berbuntut panjang, Arifinto langsung menggelar konferensi pers di DPR, dalam pandangan penulis justru reaksinya tersebut memicu banyak pihak tergiur untuk "mengolah" kasus yang awalnya “asusila” menjadi kasus politik.

Dalam keterangan persnya Arifinto menyatakan tak ada unsur kesengajaan untuk membuka situs porno karena saat itu ia "hanya" mengklik link dalam emailnya. Ia sendiri menuturkan kerap membuka email untuk mendukung tugas-tugasnya sebagai wakil rakyat di tengah-tengah rapat. Dan pada saat ulahnya menonton video porno tertangkap kamera wartawan itu, ia mengaku tengah jenuh dengan rapat paripurna.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Banyak kasus asusila yang mengelilingi wakil rakyat di parlemen. Belum lama Amin Nasution (dari fraksi PPP), Yahya Zaini (fraksi Golkar) dan Max Moein (Fraksi PDIP) karena kesalahan penyaluran hormon tersebut telah melepaskan status mereka sebagai wakil rakyat dan kembali menjadi rakyat biasa.

Ketiga mantan anggota DPR tersebut memiliki cara yang berbeda dengan cara yang dilakukan oleh Arifinto dalam menyikapi kasus asusila. Mereka terlihat lebih "gentle" menghadapi kasus yang sifatnya "personal" ini ketimbang harus melibatkan partai untuk pasang badan seperti yang terjadi pada Arifinto.

Sejumlah statemen petinggi PKS baik yang duduk di dewan syari'ah maupun dewan pengurus menilai bahwa ada politisisasi terhadap "ulah asusila" yang dilakukan anggotanya Arifinto. Ulah Arifinto dianggap sebagai "manusiawi" sebagaimana aktifitas haus dan lapar. Pernyataan ini tentu sangat melukai konstituen PKS khususnya dari daerah pemilihan yang mengantarkan Arifinto sebagai wakil rakyat (meski dalam pemberintaan terakhir Arifinto akhirnya mundur sebagai anggota DPR).

Perspektif Sosiologis

Alasan Arifinto memutar video porno karena jenuh menjadi bukti bahwa sebagai wakil rakyat ia patut dipertanyakan komitmennya. Kata-kata "jenuh" memiliki kesepadanan makna dengan kata “bosan”. Jenuh atau bosan biasanya terjadi karena aktifitas yang dijalaninya tidak membuatnya "tertarik" dan pelakunya cenderung tidak berkepentingan akan hal tersebut.

Jenuh juga terjadi karena aktifitas yang dijalaninya itu dilakukan berulang kali, tanpa jeda dan akhirnya pikiranpun bosan. Hal yang lebih prinsip lagi "kejenuhan" muncul disebabkan karena faktor orientasi sang aktor. Sebagian besar orang akan cepat jenuh karena ia melakukan kegiatan tanpa bumbu "cinta". Dalam hal ini benarkah Arifinto tidak mencintai pekerjaannya sebagai anggota DPR yang notabene dihabiskan dari rapat ke rapat?

Sosiolog aliran struktural fungsional memandang perilaku asusila Arifinto sebagai sesuatu yang "wajar" manakala ia sebagai wakil rakyat tidak lagi menjalankan fungsinya. Fungsi tersebut terjabarkan dalam tiga fungsi yakni legislasi, budgeting dan pengawasan. Kata-kata "jenuh" yang terucapkan oleh anggota DPR-RI komisi V ini menjelaskan sesuatu yang awalnya "latent function" menjadi "clear function".

Para simpatisan partai yang memegang jargon "bersih dan peduli" di daerah pada awalnya mengira bahwa Arifinto membuka situs porno karena jebakan pihak ketiga yang target utamanya merusak citra PKS. Kira-kira skenario "penjebak" dimulai dengan meminta Arifinto membuka email yang masuk. Lalu ketika email terbuka dan link terbuka, maka wartawan memotretnya.

Namun penjelasan Arifinto sendiri yang mempertegas motifnya mengapa ia memutar video syur tersebut dengan argumen jenuh. Penjelasan Arifinto ini tentu menghancurkan asumsi petinggi PKS tentang adanya konspirasi politik. Ternyata Arifinto membuka atas kemauan sendiri, bukan karena dibujuk oleh seseorang seperti dugaan para pendukung PKS. Arifinto bahkan dengan lugas juga mengakui bahwa ia kerap membuka-buka komputer tabletnya saat rapat untuk memperlancar kinerjanya sebagai wakil rakyat.

Begitu beratkah tugas wakil rakyat sampai rapatpun "terpaksa" tidak kosentrasi? Pertanyaannya adalah apakah Arifinto selama ini tidak melaksanakan "keharusan fungsional" seperti dijabarkan para sosiolog? Setiap anggota DPR-RI mendapat fasilitas 3 orang staff honorer yakni dua anggota tenaga ahli dengan gaji Rp. 7 juta/bulan dan asisten dengan gaji Rp. 3.250 juta/bulan.

Jika memang benar alasan kebiasaan Arifinto membuka-buka email di tengah-tengah rapat untuk memperlancar tugasnya sebagai wakil rakyat, di sini ia telah melalaikan –meminjam istilah sosiolog- "keharusan fungsional" yakni komunikasi, produksi, distribusi dan kontrol sosial kepada para staff-staffnya yang digaji dari anggaran APBN.

Terjebak Pada "Latent Function"

Sebagai bangsa timur, kita kerap berperilaku dengan mendasarkan pada motifasi yang sebut oleh para sosiolog dengan "latent function". Latent function sendiri digunakan oleh para sosiolog sebagai analisis untuk menjelaskan motifasi perilaku manusia yang tidak nampak di permukaan.

Seperti perilaku orang Jawa ketika kakinya terinjak secara spontan mengungkapkan permohonan maaf, "Maaf, kaki saya terinjak". Kata maaf ini bukanlah bermaksud meminta maaf atas kesalahan namun pemberitahuan bahwa seseorang telah melakukan kesalahan.

Motifasi yang berada di balik "Latent function" ini memang pas diterapkan di Indonesia mengingat struktur sosial negeri ini lebih banyak nilai-nilai konsensusnya ketimbang mengedepankan konflik. Begitupun dengan statemen yang disampaikan Arifinto soal ulahnya menonton video porno saat rapat paripurna.

Ia ingin membenarkan ”faktor ketidak sengajaan” membuka video porno dengan penjelasan bahwa bahwa ia "hobi" membuka email (yang katanya untuk kepentingan tugas). Dari hobi membuka email tersebut, ia (tidak sengaja) meng-klik link video porno.

Apakah benar Arifinto mendapatkan video mesum itu dari email? Dewan Syari’ah PKS menyodorkan 60 frame foto mesum yang diabadikan oleh wartawan Media Indonesia dalam pertemuan klarifikasi Arifinto dengan petinggi PKS. Foto-foto tersebut di bawahnya tercetak waktu penggambilannya yang memakan kurang lebih 2,5 menit, berbeda dengan penjelasan Arifinto dalam siaran persnya yang mengatakan membuka video mesum hanya hitungan detik.

Para pakar IT pun ingin mengambil bagian dalam kasus asusila ini dengan melacak kontent atau sumber video porno yang menghebohkan tersebut sekalipun filenya telah terhapus dari komputer. Sebab kehadiran 60 buah foto ini menggugurkan statemen Arifinto, artinya ia bukan membuka link email namun mengambil file-file video mesum (dan memilihnya) dari folder yang memang menjadi koleksinya.

Dalam pandangan sosiolog, Arifinto telah menjebakkan diri dalam ”latent function” atau maksud (motif) tersembunyi. Motifasinya mengungkapkan bahwa ia membuka email sesungguhnya untuk menjaga "citra" PKS sebagai partai yang "bersih dan peduli".

Ia ingin meyakinkan kepada konstituensnya bahwa isu asusila yang bergulir cepat itu hanya "konspirasi politik" yang ingin menjatuhkan citra PKS. Namun ia tidak bergeming ketika 60 buah frame foto ”aduhai” ini akhirnya jatuh juga ke dewan syariah dan petinggi PKS yang pada awalnya pasang badan untuknya.

Dan Senin (11/4) ia dikabarkan mengundurkan diri sebagai anggota DPR sebelum Badan Kehormatan meminta komputer tabletnya untuk diteliti lebih lanjut oleh pihak IT tentang asal-usul video porno. Kita berharap semoga ke depan tidak lagi ada sidang "Pariporno", sebuah istilah yang dibuat rakyat kecil untuk wakilnya di Senayan.

*Penulis adalah Mahasiswa Pascasarjana Sosiologi Pedesaan IPB


Susianah Affandy
Komp. Dosen IPB Jalan Melati No 1 Darmaga, Bogor
susianah.affandy@yahoo.com
081399236046

(wwn/wwn)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini
Selengkapnya



Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Ajang penghargaan persembahan detikcom bersama Polri kepada sosok polisi teladan. Baca beragam kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini.
Hide Ads