Dalam pidatonya, Lama menghimbau parlemen Tibet untuk segera mengubah konstitusi dan memilih perdana menteri baru. Lama akan melakukan perubahan yang membolehkannya mundur dari tanggung jawab politik pada pertemuan anggota parlemen Tibet di pengasingan Dharamsala (India Utara), bulan Maret ini.
Sejak awal 1960-an, Lama memang menghendaki Tibet menjadi sebuah negara yang demokratis. Lama menginginkan, pemimpin Tibet kelak adalah pemimpin yang dipilih langsung oleh rakyat. Karenanya keputusan Lama untuk mundur sebagai pemimpin politik Tibet adalah tepat dan benar jika dilihat dengan menggunakan kacamata demokrasi.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Di tengah kebisingan politik dalam negeri, dimana para elit hanya sibuk memikirkan kekuasaan politik, mundurnya Lama tentu dapat menjadi cermin yang berharga bagaimana kita dapat melepaskan diri dari ego kekuasaan politik. Tulisan singkat ini berupaya untuk menyelami sosok Lama, dan apa yang dapat kita pelajari darinya tentang filosofi hidup kebajikan dan kepemimpinan politik.
Filosofi Dalai Lama
Meskipun Cina memandang Lama sebagai tokoh separatis berbahaya karena pemberontakan di Tibet pada 1959, tapi bagi para pengikutnya internasional, Lama dipercaya sebagai reinkarnasi ke-14 sang Budha.
Dalam wilayah spiritual dapat dikatakan bahwa sikap dan tingkah-laku Lama adalah perwujudan dari sikap dan tingkah laku Budha. Dalam ceramah dan pidatonya, Lama kerap melontarkan ajaran-ajaran Budha tentang perdamaian, seperti kedamaian batin dan kedamaian antar umat manusia.
Lama sangat membenci sifat pendendam, serakah, sirik, dan iri hati. Sesungguhnya, menurut Dalai Lama, sifat utama manusia itu adalah kelembutan. Memang Ilmu pengetahuan dan filsafat sering menggambarkan manusia sebagai sosok yang hanya mementingkan diri sendiri, tetapi sejarah juga mencatat bahwa manusia adalah mahluk yang peduli terhadap sesamanya.
Sebagai contoh, musibah tsunami di Aceh dapat menggerakkan komunitas internasional untuk memberikan pertolongan. Ibarat bayi sebagai contoh mahluk sempurna umat manusia. Meskipun bayi dalam kehidupannya hanya memenuhi kebutuhan fisiologisnya, tetapi jika dilihat dari sudut pandang yang lain, Anda akan melihat kegembiraan yang diberikan si bayi kepada orang-orang disekitarnya. Bila kita melihat dunia ini bukan sebagai sesuatu yang agresif, dunia akan menjadi tempat yang aman dan damai bagi para penghuninya.
Untuk itu, Lama sering kali mengutarakan filosofinya tentang kebaikan dan tentang perdamaian, "My philosophy is kindness. We live not to believe but to learnβ, dan "The love and compassion are the foundation for world peace at all levels".
Filosofi Lama ini juga tampak dalam pernyataannya tentang agama, menurutnya ,"Agama itu sederhana. Tak butuh gereja, pura, masjid, kuil, wihara atau apapun yang disebut orang sebagai 'rumah Tuhan'. Agama juga tak membutuhkan filsafat atau kitab-kitab yang serba cangih dan rumit. Sesungguhnyalah, akal dan nurani kita adalah rumah Tuhan yang sejati. Dan, filsafat dasarnya adalah kebajikan".
Dalam wilayah politik, Lama juga dikenal sebagai sosok pemimpin yang bijak dan tidak haus akan kekuasaan. Mundurnya Lama dari panggung politik Tibet menunjukkan bahwa dirinya tak pernah sedikitpun berambisi untuk terus menjadi pemimpin politik di Tibet dan bahkan dia mendorong Tibet untuk menjadi sebuah Negara yang demokratis dimana rakyat dapat menentukan siapa nantinya yang akan menjadi wakil mereka di parlemen Tibet. Tujuan Lama untuk mundur dari panggung politik Tibet adalah agar dirinya dapat fokus untuk mengajarkan kebaikan bagi umat manusia dan tidak terjebak dalam nafsu kekuasaan politik semata.
Sudut pandang filosofi Lama ini sesungguhnya dapat kita pahami di luar doktrin Buddha, karena pada dasarnya semua ajaran agama adalah mengajarkan kebajikan. Tepatnya, kita tidak sepenuhnya memahami eksistensi kita, maka yang lebih penting adalah bersikap baik terhadap sesama dan menjadikan dunia ini sebagai tempat yang lebih baik untuk dihuni. Dengan perintah sederhana ini, kita tahu pasti bahwa kita tidak akan salah langkah.
Belajar Dari Dalai Lama
Terdapat dua pelajaran penting yang dapat dipetik dari Lama untuk mensikapi permasalahan bangsa dan negara ini. Yang pertama adalah tentang kebaikan, dan kedua adalah mengenai kepemimpinan.
Maraknya aksi kekerasan agama di Indonesia beberapa waktu lalu menunjukkan bahwa masyarakat kita, meskipun tidak seluruhnya, masih mencintai cara-cara kekerasan dalam menyelesaikan persoalan. Kasus kekerasan yang menimpa jamaah Ahmadiyah di Cikeusik dan Pandeglang, serta kekerasan yang terjadi di Temanggung, Jawa Tengah, seharusnya tidak perlu terjadi jika masyarakat kita mengedepankan cara-cara damai dalam menyelesaikan persoalan dan arif dalam memandang perbedaan.
Dengan begitu dapat dikatakan bahwa kekerasan yang mengatasnamakan agama kerap terjadi karena "masyarakat" kita tidak lagi memahami isi dan kandungan ajaran agamanya yang justru memerintahkan umatnya untuk saling mencintai satu-sama-lain. Keringnya pemahaman umat atas agama ini yang menyebabkan tidak ada lagi rasa cinta dan kebaikan yang tumbuh dalam diri manusia, sehingga cara-cara kekerasan selalu dikedepankan dalam menyelesaikan persoalan.
Lama seringkali berujar tumbuhkanlah rasa kebaikan dalam diri kita, serapilah ajaran agamamu dengan benar agar manusia terhindar dari hal-hal yang dapat merugikan dirinya sendiri. Kedepan, tentunya kita semua berharap, bahwa masyarakat Indonesia tidak lagi menjadikan agama sebagai alasan pembenar untuk melakukan aksi kekerasan terhadap umat manusia, tapi justru menjadikan agama sebagai landasan kita untuk saling mencintai satu-sama-lain.
Begitupula dalam hal kepemimpinan. Sejak reformasi bergulir pada 1998, rakyat Indonesia seperti kehilangan seorang pemimpin. Pemimpin dalam arti yang sebenarnya. Belum lama ini rakyat Indonesia kerap dipertontonkan sandiwara politik murahan. Politik bagi para elite kita tak lebih daripada sekedar bagi-bagi kue kekuasaan. Tuntutan perombakan kabinet atau tuntutan untuk mempertahankan kabinet dan tuntutan untuk mengeluarkan atau membatalkan hak angket politik di DPR dalam menekan pemerintah adalah contoh sandiwara politik yang sering kita baca, kita tonton, dan kita dengar dalam pemberitaan media massa.
Kedepan kita semua tentu berharap bahwa para elite politik kita tidak lagi terjebak dalam politik transaksional untuk menggapai kekuasaan semata, tapi justru transaksi politik yang memperjuangkan kesejahteraan rakyatnya. Lama seharusnya dapat menjadi cermin bagi para elite politik kita. Disaat Lama diharapkan rakyatnya untuk terus memimpin Tibet, justru ia memutuskan untuk mundur dari panggung politik Tibet untuk menunjukkan bahwa dirinya bukanlah manusia yang nafsu akan kekuasaan. Sungguh sebuah cermin pemimpin politik.
*Penulis adalah Analis Media Sosial di LSI Network dan penulis buku Global Warming
Asrudin
Jl. Kerinci Raya No.3, RT.02, RW.26, Depok II Timur
d_asrudian@yahoo.co.id
08567757574
(wwn/wwn)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini