Pentingnya Pendidikan Yang Berakar Budaya Bangsa

Pentingnya Pendidikan Yang Berakar Budaya Bangsa

- detikNews
Kamis, 17 Mar 2011 10:08 WIB
Jakarta - "Pernah mengamati apa yang mnembuat Jepang menjadi Negara yang maju dan salah satu raksasa ekonomi dunia? Salah satunya karena bangsa ini mampu memanfaatkan nilai-nilai budaya dan sejarah. Dua nilai yang tidak dapat dipisahkan sebagai landasan Identitas sebuah bangsa dan daya juang untuk mendorong kemakmuran rakyat."

Sungguh ironis, bahwa bangsa Indonesia sesama Negara di asia, justru mengalami kondisi yang berkebalikan dengan Negara maju di Asia. Kita masih berkutat pada masalah-masalah pengangguran, kemiskinan, pendidikan, pemberantasan korupsi dan mafia lainya. Malahan masalah-masalah tersebut bukannya berkurang tapi malah memburuk pasalnya penegak hukum ikut tersandung dalam masalah tersebut.

JIka kita simak hasil laporan lembaga internasional mengenai masalah pendidikan, pembangunan manusia, dan daya saing Indonesia, maka kita patut prihatin. Indeks pendidikan kita berada di urutan 7, indeks pembangunan manusia berada di urutan 6 dan indeks daya saing (competitiveness index) kita berada di ranking 5 dari 10 negara ASEAN.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Terlepas setuju atau tidak dengan ukuran yang dipakai, itulah penilaian lembaga internasional ternama seperti United Nations Development Program (UNDP). Data ini mengungkapkan bahwa Indonesia dibawah Malaysia dan Thailand untuk Negara-negara di ASEAN.

Dalam keterkaitan dengan dunia pendidikan, bisa jadi ada dua maslah yang mempengaruhi kondisi SDM Indonesia rendah diantaranya, yaitu kurangnya komitmen pemerintah dalam memenuhi amanat undang-undang untuk mencerdaskan kehidupan bangsa dan kultur pendidikan ditanah air memang tidak mendukung proses kemajuan.

Dua maslah tersebut menjadikan wajah pendidikan negeri ini terpuruk, SDM tidak kompetitif karena kurangnya memiliki basis berfikir yang merujuk pada nilai-nilai usaha, perjuangan dan kejujuran. Artinya masyarakat juga memiliki kemampuan rendah untuk mengatasi berbagai permasalaahan kehidupan sdan memperdayakan dirinya dalam proses pembangunan ekonomi, sosial dan budaya. Akibat ketidakmampuan tersebut, pembangunan ekonomi berjalan lambat ditingkat masayarakat bawah sehingga kemiskinan masih menjadi permasalahan besar Bangsa Indonesia yang belum terpecahkan.

Ketidakmerataan akses pendidikan kita

Kemiskinan merupakan rintangan terbesar bagi seseorang untuk memperoleh hak-hak pendidikan mereka. Padahal, pendidikan diyakini sebagai mekanisme untuk melakukan mobilitas vertikal secara cepat. Keterkaitan pendidikan dengan kemiskinan ini telah menjadi isu yang semakin meluas. Di Indonesia, permasalah pendidikan terletak pada ketidakadilan dalam memperoleh akses pendidikan antara Si Kaya dan Si Miskin.

Kesenjangan partisipasi pendidikan yang terjadi berpengaruh terhadap upaya penuntasan program wajib belajar yang diterapkan. Meskipun pemerintah telah menyediakan bantuan operasional sekolah (BOS) untuk jenjang pendidikan dasar, namun masih ditemukan adanya beberapa sekolah yang menarik berbagai iuran, sehingga memberatkan orang tua, terutama bagi keluarga miskin. Kesenjangan partisipasi pendidikan tersebut terlihat mencolok pada jenjang pendidikan menengah dan pendidikan tinggi.

Faktor mahalnya biaya pendidikan menjadi pemicu terpinggirkannya masyarakat miskin dari jangkauan pendidikan. Akses mereka untuk bisa mendapatkan pendidikan yang murah dan bermutu semakin sulit diwujudkan, karena kendala ekonomi. Ketiadaan biaya benar-benar membuat mereka tidak bisa memperoleh salah satu hak dasarnya, yaitu pendidikan.

Sampai saat ini pendidikan yang berkualitas untuk masyarakat bawah belum tersentuh dalam program pendidikan nasional. Institusi pendidikan semakin tidak memberikan tempat bagi masyarakat miskin. Prestasi yang bagus sama sekali bukan jaminan untuk bisa mendapat tempat di sekolah negeri atau perguruan tinggi negeri. Bersembunyi di balik permasalahan kemiskinan, institusi pendidikan negeri mulai menutup akses bagi orang miskin guna memperoleh pendidikan yang baik. Jangan ditanya lagi hak anak-anak dari golongan miskin yang tidak berprestasi.

Kenyataannya, biaya menyekolahkan anak kaya maupun miskin dalam sistem pendidikan formal itu sama, bahkan cenderung lebih mahal bagi kaum miskin. Hal tersebut disebabkan, sekolah-sekolah negeri yang 90% pembiayaannya ditanggung oleh negara justru diduduki oleh mayoritas anak-anak orang kaya (kelas menengah). Sebaliknya, anak-anak nelayan, pemulung, buruh tani,buruh pabrik, buruh kasar, buruh bangunan, dan sebaginya justru bersekolah di swasta-swasta kecil, yang 90% pembiayaannya ditanggung sendiri.

Dengan demikian, orang-orang kaya di Indonesia justru membayar biaya pendidikan lebih kecil dibanding orang-orang miskin yang harus membayar biaya pendidikan jauh lebih banyak. Munculnya ketidakadilan itu bersumber pada sistem seleksi peserta didik yang didasarkan pada besaran nilai hasil ujian yang memperlihatkan pencapaian nilai tertinggi. Sedangkan, untuk memperoleh nilai yang tinggi harus memenuhi kelengkapan fasilitas belajar dan asupan gizi dalam makanan yang dikonsumsi sehar i-hari agar seorang anak bisa menjadi cerdas. Kadua hal itu hanya bisa dicapai oleh orang-orang yang mampu secara ekonomi.

Permasalahan ini dapat dilihat dengan perspektif konflik. Perspektif ini menekankan pada perbedaan diri individu dalam mendukung suatu sistem sosial. Menurut perspektif konflik, masyarakat terdiri dari individu yang masing-masing memiliki berbagai kebutuhan yang sifatnya langka. Keberhasilan individu mendapatkan kebutuhan dasar tersebut berbeda-beda, hal ini dikarenakan kemampuan individu untuk mendapatkannya pun berbeda-beda. Persaingan untuk mendapatkan kebutuhan itulah yang akan memicu munculnya konflik dalam masyarakat.

Dalam permasalah ketidakmerataan akses pendidikan, menurut perspektif ini disebabkan karena adanya kemampuan individu yang berbeda sehingga memunculkan persaingan, dalam hal ini terjadi persaingan anatara Si Kaya dan Si Miskin untuk memperoleh pendidikan. Dengan kemampuan yang terbatas, Si Miskin tidak dapat menjangkau pendidikan, sedangkan Si Kaya yang memiliki kemampuan lebih akan dengan mudah memperoleh akses terhadap pendidikan.

Kultur Pendidikan di Indonesia

Wajah pelaksanaan pendidikan formal di Indonesia masih didominasi oleh kultur yang tidak mendukung penyemaian nilai-nilai yang dapat menumbuhkan sikap yang mendorong kemajuan bangsa. Pelaksanaannya belum menyentuh kebutuhan Negara dalam pembangunan dan pengentasan kemiskinan. Permasalahannya masih berkutat pada hal-hal monoton seperti sistem pengajaran konvensional dengan metode ceramah searah. Mestinya kegiatan belajar mengajar (KBM) sudah tidak lagi terbelit persoalan klasik dalam hal metode mengajar.

Pendidikan di Negara kita masih menggunakan konsep penenanaman sikap pengutamaan target nilai, dengan masih menggunakan ujian nasional sebagai patokan ukur keberhasilan seorang. Pendidikan yang benar seharusnya menekankan pentingnya proses perjuangan dalam meraih sesuatu. Peserta didik dapat menghargai proses usaha bukan hanya jalan pintas dianggap pantas dengan menghalalkan segala cara supaya dapat lulus dengan nilai yang memuaskan. Maka wajar kalau ujian nasional menjadi momok bagi peserta didik dan juga menjadi masalah psikologis, pasalnya banyak peserta didik yang tidak berhasiol dalam ujian nasional frustasi dan stress makanya banyak kasus kriminalitas akibat tekanan kejiwaan bagi peserta didik yang tidak lulus dalam menempuh ujian nasional.

Proses pendidikan yang melibatkan seluruh komponen masyarakat terasa kurang memperhatikan penanaman nilai-nilai budaya dan sejarah kepahlawanan yang mendukung kemajuan bangsa. Antonio gramsci menekankan pentingnya pembelajaran diri melalui nilai sejarah, dengan mengatakan "manusia merupakan makhluk yang membentuk diri melaui sejarah, sebab jika tidak manusia terjatuh pada transendensi atau imanensi yang tidak nyata" (Koesoema, 2007).

Oleh karena itu, ada baiknya dikembangkan wacana yang mengintensifkan penanaman nilai-nilai sejarah dan budaya dalam proses pendidikan pada seluruh pilar penyelenggara pendidikan yang terdiri dari sekolah, keluarga dan masyarakat. Kemampuan menghargai budaya di tandai dengan rasa bangga dan militansi untuk selalu menunjukkan atau mempromosikan serta membela, bila ada yang merusak atau mengambiol alih berbagai tradisi serta produk budaya bangsa.

Hasil karya anak bangsa berbentuk budaya penting untuk didukung oleh pemerintah atau lembaga yang mengeluarkan legalitas pembakuan hasil karya, agar segala ciptaan anak bangsa diakui sebagai produk budaya Indonesia, melalui hak paten. Jangan sampai Negara lain yang justru mengambil alih hak paten untuk kepentingan ekonomi meraka. Peristiwa klaim Negara Malaysia terhadap beberapa roduk budaya bansa Indonesia kiranya menjadi peringatan yang keras terhadap pemerintah.

*Penulis adalah Mahasiswa Agribisnis, Pertanian, Universitas Muhammadiyah Yogyakarta dan aktivis KAMMI DIY


Sumaryanto
Jl Gatak No 15, Tamantirto, Kasihan, Bantul, Yogykarta
0852 6878 8639

maz_yantoe@yahoo.co.id

(wwn/wwn)



Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Hide Ads