Di Balik Gulung Tikarnya Pengusaha Penggilingan Padi

Di Balik Gulung Tikarnya Pengusaha Penggilingan Padi

- detikNews
Rabu, 16 Mar 2011 10:38 WIB
Jakarta - Indonesia dikenal sebagai negara agraris dengan penghasil padi yang beragam di masing-masing daerah. Produksi padi yang tumbuh subur di bumi Indonesia membuka pasar bagi usaha penggilingan padi. Dari usaha penggilingan padi, profit yang didapat tidak hanya dari upah giling, namun juga dari penjualan dedak atau katul ke pihal lain. Dengan usaha tersebut tak ayal banyak pemilik penggilingan padi hidup dengan kaya raya.

Namun situasi ekonomi para pengusaha penggilingan padi tersebut di atas tiba-tiba merosot tajam. Pada tahun 2000 an usaha mereka tiba-tiba mengalami gulung tikar dengan ditandai jarangnya petani dan buruh tani menggilingkan padinya. Mengapa terjadi demikian padahal Indonesia adalah penghasil padi terbesar. Kemana padi-padi tersebut.

Pengelolaan Padi Petani (Kasus Jawa)


Potensi Indonesia dalam memproduksi hasil-hasil pertanian membuat masyarakat yang tinggal di daerah ini secara ekonomi berkecukupun. Makna "berkecukupan" yang dimaksud adalah hasil panen para petani berupa padi digunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup semua anggota keluarga petani sampai datangnya masa panen selanjutnya.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Setengah dari hasil panen mereka jual di mana hasilnya digunakan untuk memenuhi kebutuhan sekolah anak-anak dan juga kebutuhan sekunder seperti membeli televisi, sepeda motor dan lain sebagainya. Sedangkan setengahnya lagi digunakan oleh keluarga petani untuk memenuhi kebutuhan pangan sehari-hari.

Sisa padi yang tidak dijual di letakkan dalam satu gudang kecil yang menjadi bagian dari rumah induk masyarakat. Sebagaimana kita ketahui, struktur rumah di Jawa terdapat ruang-ruang yang tersekat dengan rapi antara ruang utama yang terdiri atas kamar dan ruang tamu dengan bagian belakang yakni dapur dan gudang. Sebelum masuk gudang, padi-padi hasil panen terlebih dahulu di jemur sampai kering. Kegiatan jemur padi ini juga dilaksanakan sendiri oleh petani di depan rumahnya.

Sisa padi yang di simpan oleh para petani itulah yang akan di produksi oleh mesin-mesin yang dimiliki pengusaha penggilingan padi. Padi-padi tersebut di giling secara bertahap (tidak sekaligus) sesuai dengan kebutuhan. Dari kegiatan proses produksi hampir tidak ada limbah yang ditinggalkan. Sebab ”katul atau dedak” dapat digunakan sebagai pakai ternak dan bahan produksi makanan ringan. Sedangkan ”sekem” nya juga memberi manfaat untuk membakar batu bata. Di sinilah keuntungan ganda yang dapatkan oleh para pengusaha penggilingan padi.

Gulung Tikar Para Pengusaha Penggilingan Padi dan Dominasi Pengusaha Cina; Tinjauan Sosiologi Ekonomi

Fenomena gulung tikar para pengusaha penggilingan padi yang terjadi di Indonesia dalam pandangan penulis merupakan gejala sosiologis yang saling terkait satu sama lain. Kebijakan pemerintah terhadap pembangunan pertanian juga menjadi bagian integral dalam perubahan struktur pertanian dan pengelolaan lahan pertanian di Indonesia.

Liberasi ekonomi di pedesaan berimplikasi perekonomian pedesaan dijalankan dengan menggunakan pendekatan pasar. Inilah periode masuknya pedagang Cina di pedesaan di Jawa. Selain berdagang mereka juga menekui usaha penggilingan padi. Sedangkan mekanisme produksi yang jalankan oleh para pengusaha Cina berbeda dengan mekanisme yang dijalankan oleh para pengusaha penggilingan padi yang berasal dari masyarakat lokal. Perbedaan sistem produksi ini dapat dilihat dari tiga aspek antara lain : pertama, modal.

Pengusaha Cina menempatkan modal sebagai unsur penting dalam usahanya. Ia membangun gudang padi dengan luas mencapai 5000 meter. Di gudang inilah mereka gunakan menyimpan padi, menjemur dan menggilingnya. Kedua, karyawan atau buruh. Usaha penggilingan padi milik Cina mempekerjakan banyak karyawan dari masyarakat lokal. Jika pengusaha penggilingan padi milik masyarakat lokal hanya mempekerjakan sebanyak 2 orang, pengusaha Cina menggunakan tenaga kerja mencapai 50 orang per gudan g.

Ketiga, perkuat interaksi sosial. Jika pengusaha penggilingan padi milik masyarakat lokal hanya melakukan proses "menggiling" padi menjadi beras dan tidak ada kegiatan ekonomi berbalut interaksi sosial, para pengusaha Cina sebaliknya.

Pengusaha Cina melakukan kegiatan ekonomi secara integral dalam kegiatan sosial masyarakat petani di Indonesia. Mereka menjadikan masyarakat petani sebagai mitra kerjanya. Kebutuhan para petani untuk melakukan proses tanam dipenuhi oleh para pengusaha Cina tersebut dengan menyediakan modal. Jika sewaktu-waktu petani ini membutuhkan uang dan hendak menjual tanaman padinya (meskipun baru berumur 1 bulan), para pengusaha cina tersebut yang bersedia kapanpun membelinya.

Tradisi jual-beli padi yang masih tanam dan belum usia panen ini secara otomatis merusak tatanan yang dibangun oleh para pengusaha penggilingan padi dari masyarakat lokal. Entah sejak kapan perubahan sistem pengelolaan padi oleh petani ini berubah (dengan sistem menyimpan hasil panen), namun sejak tahun 2000-an para petani mulai mengubah strategi. Hasil panen para petani sebagian besar dijual 100% kepada para pengusaha Cina.

Tradisi tidak menyimpan hasil panen sebenarnya sudah nampak pada tahun 1995-an. Namun demikian para pengusaha penggilingan padi lokal ketika itu masih memiliki pasar yakni dari padi milik buruh tani. Seperti kita ketahui upah sebagai buruh biasanya dibayarkan dengan padi hasil panenan. Seiring dengan masuknya teknologi pertanian yang menggusur tenaga buruh tani dan digantikan oleh tenaga mesin maka dampaknya tak hanya dirasakan oleh para buruh tani namun juga dirasakan oleh para pengusaha penggilingan padi lokal. Mereka kini tidak lagi memiliki pasar.

Masuknya usaha cina di Indonesia dan mendominasi sistem perekonomian dalam pandangan Granovetter (2000) disebabkan karena Cina menjalankan kegiatan ekonominya integral dengan masyarakat yang berada di sekitarnya. Tindakan ekonomi Cina pada kasus usaha penggilingan padi ini sangat menekankan pada nilai-nilai solidaritas sosial dengan upayanya memberikan modal tanam dan membeli padi hasil panen.

Nilai solidaritas sosial para pengusaha Cina juga terlihat ketika mereka merekrut banyak buruh yang dipekerjakan di perusahaannya. Berbeda halnya dengan para pengusaha lokal yang hanya merekrut sedikit tenaga kerja. Dampak sosial yang dihadapi oleh para pengusaha penggilingan padi lokal ketika mengalami gulung tikar justru oleh masyarakat desa di Indonesia dianggap sebagai sesuatu yang lumrah, yang tidak mampu bertahan dengan adanya kompetisi pasar.

*Penulis adalah Mahasiswa Sekolah Pascasarjana IPB Program Studi Sosiologi Pedesaan

Susianah Affandy
Komp. Dosen IPB Jalan Melati No 1 Darmaga, Bogor
susianah.affandy@yahoo.com
081399236046


(wwn/wwn)



Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Hide Ads