WikiLeaks dan SBY

WikiLeaks dan SBY

- detikNews
Senin, 14 Mar 2011 19:40 WIB
Jakarta - WikiLeaks, situs pemberi informasi dokumen-dokumen rahasia, kerap memancing kontroversi. Sepanjang tahun 2010 saja, situs ini telah membocorkan dokumen Perang Afghanistan (Juli 2010), 400.000 dokumen rahasia Perang Irak (Oktober 2010), dan dokumen rahasia kabel diplomatik Amerika Serikat (November 2010).

Pekan lalu, Indonesia juga ikut merasakan dampak dari pembocoran dokumen rahasia WikiLeaks. Dua Koran Australia, yang memanfaatkan bahan berita dari kawat diplomatik rahasia Kedutaan Besar Amerika Serikat di Jakarta yang bocor ke situs WikiLeaks, The Age dan The Sydney Morning Herald, memuat berita tentang dugaan penyalahgunaan kekuasaan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).

Pada Jumat 11 Maret 2011, The Age menurunkan berita utama yang berjudul Yudhoyono β€˜Abused Power’. The Age menyebutkan, secara personal SBY telah mengintervensi dan mempengaruhi jaksa dan hakim untuk melindungi tokoh politik yang melakukan korupsi. SBY disebutkan juga menggunakan intelijen negara untuk memata-matai rival maupun sekutu politiknya.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Sementara itu, The Sydney Morning Herald, menulis berita tuduhan korupsi atas Presiden SBY dengan judul yang cukup menghentak, "Corruption Allegations Against Yudhoyono". Laporan yang ditulis The Sydney Morning Herald sama persis seperti yang ditulis Philip Doring dalam pemberitaan di Koran The Age.

Sentak saja, dua koran Australia ini mendapat kecaman dari pemerintah Indonesia dan para pendukung Presiden SBY. Hampir semua lingkaran istana, mulai dari staf khusus, wakil staf khusus, juru bicara kepresidenan, para menteri, dan Wapres Boediono ikut memberikan hujatan kepada dua koran tersebut. Bahkan Menteri Luar Negeri Marty Natalegawa, secara resmi mengajukan protes keras kepada Dubes AS Scot Marciel.

Umumnya kecaman yang dilakukan oleh lingkaran istana difokuskan kepada data mentah WikiLeaks yang dijadikan sumber pemberitaan oleh Koran The Age dan The Sydney Morning Herald. Dalam konteks ini, mereka yang mengecam umumnya meragukan keabsahan data WikiLeaks dan tidak layak untuk dijadikan rujukan sumber berita.

Pertanyaanya adalah bagaimana kita dapat mengetahui kalau dokumen rahasia yang dibocorkan oleh WikiLeaks itu asli atau palsu? Pertanyaan ini sulit untuk dijawab dan bahkan tetap menjadi teka-teki hingga saat ini.

Akan tetapi Michel Chossudovsky, dalam artikelnya yang berjudul "Who is Behind WikiLeaks?" (Global Research, 13 Desember 2010), pernah mencoba menelusuri siapa dibalik keberadaan WikiLeaks.

Tulisan Chossudovsky tersebut penting untuk dikaji, mengingat tulisannya mengupas banyak hal tentang Wikileaks, khususnya tentang hubungan Wikileaks dengan para jurnalis-jurnalis dari media arus utama di AS, seperti David E Sanger dari NYT, Richard Stengel dari Time Magazine, dan Raffi Khatchadurian dari The New Yorker, yang mungkin dapat sedikit membantu untuk menjawab pertanyaan seputar keabsahan dokumen rahasia yang diedarkan oleh Wikileaks.

Dalam artikelnya, Chossudovsky mengungkapkan bahwa ketika dokumen rahasia dibocorkan oleh Wikileaks, dokumen itu kemudian didistribusikan secara lebih luas melalui media-media mainstream, seperti The New York Times, the Guardian dan Der Spiegel. Masyarakat internasional umumnya mengetahui "apa yang dibocorkan oleh Wikileaks" dari media tersebut, bukan merujuk dari Wikileaks itu sendiri. Mereka menerima berita dan analisis justru dari media-media mainstream, yang disebarluaskan ke seluruh dunia. Peran utama dalam proses distribusi ulang ini adalah The New York Time (NYT).

David E Sanger dari NYT pernah mengatakan, "[W]e went through [the cables] so carefully to try to redact material that we thought could be damaging to individuals or undercut ongoing operations. And we even took the very unusual step of showing the 100 cables or so that we were writing from to the U.S. government and asking them if they had additional redactions to suggest."

Dengan begitu dapat dikatakan bahwa NYT adalah poros utama dalam pengeditan dan pendistribusian ulang isi dokumen rahasia Wikileaks. Seperti diketahui NYT adalah media yang terkait erat dengan Wall Street, the Washington think tanks, dan the Council on Foreign Relations (CFR). NYT adalah bagian dari jaringan media mainstream yang dikendalikan oleh dinasti Rockefeller dan sejak awal sudah berperan sebagai media yang melayani kepentingan bisnis dinasti ini.

NYT juga memusatkan perhatiannya pada dokumen-dokumen Wikilekas yang berkaitan dengan kepentingan politik luar negeri AS, seperti nuklir Iran, Korea Utara, Saudi Arabia, dukungan Pakistan pada Al Qaeda, hubungan China dengan Korut, dll. Dokumen 'bocoran' Wikileaks digunakan sebagai sumber data NYT untuk kemudian diramu jadi artikel dan analisis.

Pemerintah AS pun memanfaatkan dokumen-dokumen itu untuk kepentingannya. Misalnya, bocoran kawat diplomatik yang menyebutkan bahwa pemerintah negara-negara Arab meminta agar AS menyerang Iran karena khawatir Iran akan membangun senjata nuklir, segera disambut oleh Clinton, "Hal ini membuktikan bahwa kekhawatiran AS atas program nuklir Iran adalah kekhawatiran bersama komunitas internasional."

Yang menarik adalah bahwa dokumen rahasia Wikileaks sebagaimana yang diedarkan oleh NYT itu paralel dengan orientasi politik luar negeri AS di Negara-negara yang memiliki rezim opresif. Sebagaimana yang pernah dikatakan oleh Julian Asange di sela-sela wawancaranya dengan The New Yorker, "Our primary targets are those highly oppressive regimes in China, Russia and Central Eurasia".

Sehubungan dengan apa yang diberitakan oleh Koran The Age dan The Sydney Morning Herald mengenai penyalahgunaan kekuasaan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang berasal dari kawat diplomatic rahasia Kedutaan Besar Amerika Serikat di Jakarta yang bocor ke situs WikiLeaks, hal ini menunjukkan kemiripan dengan apa yang dikatakan oleh Julian Assange.

Meski pemerintahan SBY bukanlah rezim opresif sebagaimana yang menjadi target Wikileaks dan pemerintahan AS, akan tetapi Pemerintahan SBY juga menjadi sorotan dunia internasional karena dimasukkannya Indonesia dalam daftar salah satu negara yang paling terkorup di dunia.

Terlepas dari benar atau tidaknya data dokumen rahasia Wikileaks mengenai Presiden SBY, sejatinya pemberitaan Koran The Age dan The Sydney Morning Herald tentang SBY tidak mesti di respon secara reaktif tapi justru dijadikan masukan bagi Pemerintahan SBY agar lebih responsif dalam mensikapi permasalahan bangsa dan Negara yang kian mengkawatirkan, khususnya dalam persoalan korupsi yang terus menggerogoti kekayaan negara.

(Terima kasih untuk Dyna Suleman atas informasinya mengenai tulisan Profesor Michel Chossudovsky, yang berjudul "Who is Behind WikiLeaks?"

*Penulis adalah analis media social di LSI Network

Asrudin
Jl. Kerinci Raya, No.3 RT.02, RW.26, Depok II Timur Jawa Barat
d_asrudian@yahoo.co.id
08567757574


(wwn/wwn)



Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Hide Ads