Pertama, survey yang dilakukan oleh Komisi Nasional Perlindungan Anak tahun 2007 silam terhadap 4.500 remaja di 12 Kota Besar di Indonesia tentang kecenderungan remaja terhadap seks. Hasilnya; 97% pernah menonton film porno; 93,7% pernah ciuman, petting, seks oral; 62,7% remaja SMP dan SMU tidak perawan dan perjaka lagi; 21.2% remaja SMP dan SMU pernah aborsi.
Kedua, Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) tahun 2010 merilis data remaja yang sudah tidak perawan lagi di beberapa kota berikut; Jakarta 51%, Bogor 51%, Bekasi 51%, Tangerang 51%, Surabaya 54%, Medan 52%, Bandung 47% dan Yogyakarta 37%. Juga diterangkan bahwa rentang usia remaja yang pernah melakukan hubungan seks di luar nikah adalah 13-18 tahun, dan tingkat kehamilan di luar nikah 17%.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Membaca dengan hati
Data seperti di atas mungkin sudah sering kita baca. Tapi biasanya seletah dibaca tidak ada efek khusus dan "dianggap" sekedar deretan huruf dan angka. Padahal masalah ini tidaklah kecil. Tentu tidak bisa terbayangkan masa depan Negara dan nanggroe ini jika moralitas remajanya berada di titik nadir. Bukankah pemuda hari ini pemimpin masa depan? Mari mulai membaca segalanya, termasuk data statistic atau temuan penelitian, dengan hati agar mampu berefleksi.
Memang, semua data tersebut tidak ada satupun mencantumkan fakta di Aceh. Tapi bukan berarti Aceh bebas dari hal-hal tersebut. Tentu masih segar dalam ingatan, tertangkap basahnya sepasang mahasiswa saat bermesum di WC mushalla kampusnya, juga ironi statiun RRI yang menjadi ajang pelaksanaan kontes waria se Aceh. Lalu, mari lihat life style ABG atau remaja Aceh saat ini; cara berboncengan dengan yang bukan muhrimnya saat berkendaraan; suasana kafe-kafe baik yang terang maupun yang gelap-gelapan di sepanjang jalan protocol maupun pinggiran kota Banda Aceh; suasana tempat-tempat rekreasi terutama di bibir pantai Ulhe Leu dan Lam Puu, dan seterusnya.
Masalahnnya, hingga saat ini masih sedikit sekali instansi terkait atau lembaga social lain yang berani melakukan survey mendalam tentang masalah di atas. Tabu, demikian jama' alasannya. Tapi siapa yang bisa menjamin bahwa di balik alasan ketabuan itu terselubung praktik hubungan seks di luar nikah bahkan penyimpangan hubungan seksual? Salah satu yang masih bisa diakses adalah data dari PKBI Aceh.
Sepuluh tahun silam (2001), Divisi Konseling/Medis Centra muda Putroe phang (CMPP)-PKBI Aceh. membuktikan begitu kompleksnya permasalahan remaja. Hal ini dapat dilihat dari hasil pelayanan konsultasi psikologi dan medis via tatap muka, surat dan telepon hotline service ke sekretariat CMPP-PKBI Aceh dengan klarifikasi kasus dari Januari 2000 - Desember 2001; terkait dengan aktivitas seksualitas dan melakukan hubungan seksualitas dalam pacaran semakin meningkat yaitu dari 71 kasus tahun 2000 menjadi 129 kasus pada tahun 2001 (situs.kesrepro.info).
Akhir tahun 2009 lalu, OPSI (Organisasi Pekerja Seks Indonesia) mendapat legalitas dari pemerintah pusat. Ternyata 2 dari 52 peserta pendeklarasian lembaga itu berasal dari Aceh. Karenanya kini mereka menargetkan legalitas dari pemda setempat. Ini diperkuat dengan testimoni seorang mahasiswa yang nyaris menjadi korban pelaku homoseksual (gay) setahun lalu. Menurut pengakuannya, di kampusnya sudah eksis sebuah komunitas gay, sedangkan komunitas lesbi ada di Fakultas Ekonomi kampus sebelahnya.
Patologi sosial di atas bermula dari tiga hal mendasar. Pertama, pengaruh pergaulan bebas karena semakin menguatknya paham permisivisme (serba boleh) yang berakar dari filsafat hedonisme atau libertianisme yang bertujuan mencapai segala kenikmatan fisik setinggi mungkin, sesering mungkin dan dengan cara apapun. Para sosiolog menegaskan bahwa permisivisme merupakan anak kandung dari nihilisme yang menyerukan pembebasan manusia dari segala bentuk otoritas termasuk agama dan relativisme yang menyatakan kebenaran atau moralitas adalah relatif.
Kedua, peran keluarga. Elly Risman, Psikolog Yayasan kita dan Buah Hati, menegaskan, kecenderungan seks di kalangan remaja sebenarnya tak lebih dari pelampiasan akibat tidak diterimanya kasih sayang yang cukup oleh anak. Orang tua tidak memberikan validitas, yakni perasaan penerimaan dan pengakuan yang utuh terhadap anak. Jika kasih sayang terhadap anak cukup, mereka tidak akan mencari di tempat yang lain dalam bentuk seks bebas dan pornografi.
Ketiga, komunikasi yang buruk terbukti dapat merusak otak anak.
Anak perlu merasa dihargai dan menjadikan keluarga sebagai basis yang kuat dalam hidupnya. Seperti membuat bangunan bertingkat, fondasinya tentu tak bisa seadanya. Fondasi keluarga yang kuat dapat menjadi benteng yang kuat bagi anak dalam lingkungan apapun agar dia tidak jatuh.
Katakan Cinta
Elly Risman merekomendasikan dua hal untuk mengentaskan permasalahan di atas, Pertama, menghadirkan Tuhan dalam tiap desah nafas kehidupan. Hal ini sangat cocok sekali dengan kondisi Aceh yang telah memformalisasikan syariat sejak lebih dari sewindu silam. Disini dibutuhkan kerjasama -bukan sama-sama kerja- semua pihak; orang tua di rumah, guru di sekolah, tengku di dayah, tuha chiek di gampong, ulama dan umara di pemerintahan, dan seterusnya. Namun demikian, utamanya tetap berada pada kedua orang tua.
Hasil sebuah penelitian menegaskan bahwa:
(1) ketiadaan ayah dalam keluarga dalam arti ayah tidak menjalankan fungsinya sebagai seorang pendidik atau ketidakmengertiannya tentang kekhasan pada masa kanak-kanak akan menghambat perkembangan anak baik jasmani, perilaku maupun intelektualitasnya,
(2) dasar utama pendidikan anak adalah keteladanan, cinta, kasih saying dan kelembutan,
(3) pengaruh seksual, acara tivi yang menyimpang, nyanyian yang tidak mendidik, perselisihan orang tua, waktu luang yang banyak dan ketergantungan kepada pembantu merupakan kendala yang paling rawan yang mengakibatkan penyimpangan perilaku anak, (Adnan Hasan, 1991).
Kedua, pola komunikasi. Dari keluarga kedekatan itu dibangun. Dari kedekatan kepercayaan itu tercipta. Sebelum semuanya terlambat, ada baiknya kita melongok ke rumah; seperti apakah wajah komunikasi yang dibangun di dalamnya? Sudahkah para remaja kita menemukan kenyamanan? Sebuah situs komunikasi keluarga menulis tips, "tell your teen you love them." Katakan pada anak-anak remaja anda/kita bahwa anda/kita mencintainya. Komunikasikan secara verbal bahwa anda atau kita selalu ada bersama mereka. Masalah mereka adalah masalah anda/kita juga.
Saat kita mengetahui kondisi anak terjebak dalam "dunia gelap" atau melanggar norma-norma kepatutan sosial, jangan panik, marah, apalagi sampai diusir. Tapi, maafkanlah. Karena bukan tidak mungkin terjerumusnya mereka karena kesalahan kita juga. Di zaman teknologi canggih seperti sekarang, kita sebagai orang tua dalam semua struktur sosial harus lebih keras belajar kembali menjadi orang tua. Karena sudah tidak zamannya lagi menggunakan cara pengasuhan/pendidikan anak yang sama dengan 30-40 tahun silam.
Kesibukan orang tua mungkin tak ada habisnya, tapi masa depan anak pasti tak ternilai harganya. Luangkan waktu untuk sekedar bercakap-cakap ringan, mungkin lewat makan, olah raga atau jalan-jalan bersama. Jika merasa nyaman, mereka akan cerita tentang masalah-masalahnya. Bersiaplah mendengar untuk kemudian menyampaikan pandangan, nilai dan sikap kita sendiri. Suasana dialogis akan lebih mendukung komunikasi berjalan efektif. Komunikasi memang bukan segala-galanya, tapi lewat komunikasi kita bisa membangun harapan bahwa nilai-nilai kebaikan akan selalu terwariskan.
*Koresponden situs asyeh.com Arab Saudi yang focus pada upaya penguatan lembaga keluarga, Berdomisili di Banda Aceh.
Ahmad Arif
Jl. Keuchik Zam-Zam, Lr. 2, Gampong Lampoh Daya, Jaya Baru, Banda Aceh
banta_lw2@yahoo.com
081360295521
(wwn/wwn)