Apa yang mengikat mereka sehingga rela berdesak-desakan, kepanasan, kamar mandi yang mengantri, dan sejumlah kekurangan lainnya? Ya, karena mereka memiliki harapan, serta mereka hanya menjadikan ruang tempat mereka tinggal itu, melepas penat.
Lalu, berapa banyak di antara kita yang juga memperlakukan rumah seperti itu. Para pekerja yang terikat dengan ketatnya waktu, menjadikan rumah hanya dua fungsi. Hotel dan Vila. Disebut hotel karena umumnya mereka meninggalkan ruangan itu masih pagi. Bahkan mungkin ketika anak-anaknya masih asyik dalam mimpi. Dan datang kembali ketika keluarganya sudah lelap.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Kita melihat itu merupakan gejala perkotaan yang ritme dan dinamikanya berbeda dengan kultur pedesaan. Sehingga wajar jika kemudian, unsur-unsur yang melekatkan antar individu tersebut bukan lagi rasa berkomunitas, tapi hanya kepentingan. Coba lihat, ketika mereka mau bertamu saja ke tetangganya, harus janjian dulu. Tidak bisa lagi maen terobos seperti halnya di desa-desa.
Gambaran di atas ada dua model kehidupan yang sesungguhnya fakta komunitasnya sama. Kita sudah mulai banyak kehilangan daya kohesivitas sosial dalam bentuk ruang-ruang komunitas itu. Sehingga, akibat dari fenomena seperti itu, kita dihadapkan pada model individualisme estrim dan sangat transaksional.
Lalu mengapa para buruh masih bisa membangun kebersamaan pada rumah-rumah sempit dan sesak itu? Karena daya rekatnya masih ada. Jadi dibanding warga kota yang mapan dan sibuk itu, para buruh relative tidak kehilangan ikatan berkomunitasnya meskipun direkat oleh hal-hal pragmatis seperti pekerjaan atau asal daerah.
Tulisan ini ingin menawarkan gagasan lama yang sudah pudar itu. Rumah yang berkarakter komunitas bagi warga kecil. Hal ini didasarkan kepada kesalahan paradigmatic dari pemerintah tatkala mengadakan pembangunan perumahan. Mari kita telisik beberapa kesalahan tersebut.
Pertama, banyak perumahan bagi rakyat kurang mampu akhirnya tetap dinikmati orang kaya. Hal ini terjadi karena meskipun disubsidi, harga jual rumah tetap tinggi. Sehingga yang memiliki duit dan jaminan ini itu yang bisa mendapatkannya.
Kedua, konsep rumahnya sendiri memang mengakibatkan harganya tetap tinggi. Rumah dengan perhitungan setiap orang harus memiliki 8 meter persegi menyebabkan luasan rumah bagi kalangan tidak mampu pun, disamakan. Padahal praktiknya, ruangan tidak efektif dipergunakan 24 jam.
Ketiga, banyak rumah berdiri di tanah pemda, didirikan oleh pemerintah pusat hanya mengejar target berdiri. Setelah itu mekanisme pembangunan 'dalam' nya tidak digarap. Pindah rumah bukan semata pindah fisik, tetapi juga pindah kebudayaan, sosial, ekonomi, dan sebagainya, Akibatnya, banyak yang terbengkalai padahal sudah ada pemiliknya.
Untuk itu, pendekatan baru dalam konsep RUMAH harus dibangun. Misalnya prinsip rumah komunitas yang sesungguhnya sudah banyak dilakukan oleh warga negeri ini. Di Padang Sumatera Barat misalnya, kita misalnya mengenal Rumah Gadang. Sebuah rumah besar yang bisa dihuni oleh beberapa keluarga batih. Di Negara maju seperti Jepang, konsep rumah bersama tetap dipertahankan meski tidak oleh seluruh keluarga Jepang.
Rumah Bersama atau Rumah Komunitas
Rumah bersama atau rumah komunitas adalah sebuah rumah besar yang didalamnya bisa jadi dihuni oleh beberapa keluarga, misalnya 10 keluarga. Tiap keluarga dibolehkan memiliki kamar yang sifatnya privasi. Sedangkan sisanya seperti ruang tengah, ruang tamu, atau ruang dapur, adalah ruang bersama. Bagi para buruh, atau keluarga para buruh seperti yang disinggung di atas, semestinya tidak mendapat kesulitan jika mereka disatukan dalam sebuah rumah besar itu. Sebab itu tetap jauh lebih baik dibandingkan di bedeng-bedeng yang tak layak.
Agar menghemat tanah, tentu bangunannya dibuat vertikal. Tapi jangan terlalu tinggi. Misalnya maksimal 4 atau 5 lantai. Satu lantai, satu komunitas. Ke depan, jika kelembagaan sosialnya terbentuk, mungkin satu gedung itu, bisa jadi satu RT.
Agar keberlangsungkan komunitasnya bisa terbangun, maka pemerintah perlu melakukan pendampingan. Para pendamping ini misalnya bisa diambil dari fresh graduate universitas, yang ditugaskan dalam masa waktu yang cukup panjang. Tiap pendamping bisa mendampingi lebih dari 1 rumah.
Pada pendamping ini yang kemudian menjadi fasilitator jika ada masalah, atau mengelola potensi produktif dari komunitas itu agar berimplikasi positif. Misalnya mengajarkan kerajinan tangan kepada mereka yang tidak bekerja ke luar rumah sehingga bisa menambah penghasilan.
Siapa saja yang tinggal di situ? Dan di mana akan dibangun?
Pertama, yang akan tinggal di rumah itu, adalah mereka yang tanahnya selama ini mereka pergunakan untuk membangun rumah-rumah tak layak itu. Pemerintah tinggal mendata, siapa saja yang nantinya bisa tinggal. Sesuai aturan, misalnya, mereka yang tinggal di situ tapi di bawah 5 tahun, harus mencari lokasi baru (itu berlaku jika tanah Negara). Atau jika pemiliknya ada mereka tinggal dikonvensasi ketika rumahnya ditempati.
Kedua, harus dilihat juga proyeksi ke depannya. Sebagaimana para buruh yang tengah bermimpi dalam kepenatan mereka itu, pasti mereka tidak akan selamanya tinggal di situ. Begitu juga di rumah komunitas ini. Mereka harus diingatkan agar punya cita-cita memiliki rumah sendiri yang jauh lebih pantas dan layak bagi keluarga mereka tinggal.
Pendekatan di atas hanya awal dari sesuatu yang lebih besar, yakni menata kembali sistem komunitas kita yang semakin hari meluruh karena persoalan sehari-hari. Jika ini terbangun "tentu membutuhkan waktu yang tidak sebentar" maka Indonesia yang memiliki 'imagine community' itu, bisa hidup kembali dan menguat. Komunitas adalah akar dari bangsa ini. Jika komunitas kita terus diperkuat, maka tidak mustahil kita siap menjadi bangsa yang kuat.
Tantan Hermansah (Mahasiswa Prgram Doktor Sosiologi)
Perum VMB Blok B7 N0 02, Bogor
tantan.hermansah@ui.ac.id
0818800528
(wwn/wwn)