(1) adanya arus modal yang sempurna, dan
(2) suku bunga dunia menjadi sama dengan suku bunga domestik.
Dengan kata lain, stabilitas suatu negara akan ditentukan oleh stabilitas Negara lain dimana negara tersebut banyak berinteraksi secara ekonomi. Tak terkecuali Indonesia, dimana kekuatan ekonominya masih banyak bertumpu pada sektor perdagangan. Pada tahun 2008, ekspor Indonesia 30%, 10%, 12%, 10%, 25%, dan 15% masing-masing menuju negara Asia, Amerika Serikat, Jepang, Singapore, ASEAN, dan Uni Eropa. Oleh karenanya, beberapa variabel makroekonomi, seperti inflasi, nilai tukar, dan suku bunga akan senantiasa menjadi bagian dari fenomena ekonomi yang akan terus muncul sebagai akibat dari proses dinamika dan proses berlakunya hukum ekonomi
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Nampaknya, pemerintah dalam hal ini Bank Indonesia menyadari akan adanya kerentanan perekonomian akibat fluktuasi variabel inflasi yang pada akhirnya dapat berujung pada instabilitas moneter. Oleh karenanya, pada tahun 2005 Bank Indonesia telah menetapkan pemberlakukan Inflation Targetng Framework (ITF) sebagai kerangka operasional kebijakan moneter di Indonesia. Dalam implementasinya, kebijakan ini diarahkan pada tercapainya sasaran inflasi sebagai sasaran utama operasional kebijakan moneter, dimana terhubungkan dengan jalur transmisi kebijakan moneter.
Dengan demikian, penetapan inflasi yang bersifat forward looking telah ditetapkan sebagai anchor agar ekspektasi inflasi dapat diarahkan dan disesuaikan dengan sasaran akhir kebijakan moneter.
Akan tetapi, akhir-akhir ini muncul sebuah fenomena dimana pemerintah ingin mengeluarkan elemen cabai dari basis perhitungan inflasi (CPI) dengan alasan untuk mengurangi besaran inflasi. Fenomena ini bisa disikapi dalam perspektif ekonomi maupun politik. Dalam perspektif politik, ketidakmampuan pemerintah dalam mengawal inflasi tentunya akan berdampak pada berkurangnya daya beli masyarakat yang berarti juga menurunnya tingkat kesejahteraan masyarakat yang juga berarti meningkatkan potensi angka kemiskinan.
Tentunya pemerintah dimanapun merasa alergi dengan situasi tersebut sehingga buru-buru pejabat negara memberikan usulan untuk mengeluarkan komponen cabai dalam basis perhitungan. Sebenarnya, perkara ini bukanlah hal yang baru mengingat beberapa negara seperti Canada, Japan, Peru, bahkan termasuk Amerika dan Inggris mengeluarkan komponen makanan yang dikategorikan βvolatileβ dalam basis perhitungan inflasi mereka. Usulan pengeluaran komponen cabai mengindikasikan bahwa dampa knya berakibat negatif dan merusak perekonomian melalui pergerakan variabel inflasi.
Apa pentingnya Inflasi?
Pada dasarnya inflasi yang sering kita amati di berbagai media adalah tampilan inflasi yang dikategorikan "core inflation". Sebab berdasarkan komponen penyusunnya, inflasi dikelompokkan menjadi core atau headline inflation dan non-core inflation, termasuk didalamnya adalah volatile dan administered inflation. Inflasi yang banyak digunakan sebagai indicator kebijakan adalah core atau headline inflation dimana ia secara fundamental dipengaruhi oleh,
(1) supply dan demand interaction,
(2) external envirounment, seperti nilai tukar, dan
(3) ekspektasi. Sehingga berbekal ketiga hal di atas, core inflation sangat sentral dalam perumusan kebijakan ekonomi, terutama kaitannya dengan Inflation Targeting Framework (ITF).
Dalam konteks cabai, dimana pada awalnya dimasukkan ke dalam komponen pembentuk inflasi inti (core) dianggap membahayakan keamanan dan normalitas pergerakan ekonomi, terutama variabel makroekonomi.
Inflasi yang terlalu tinggi, semisal berdasarkan laporan Bank Indonesia pada Januari 2011, menempatkan angka inflasi inti sebesar 6,96% (yoy), dimana kontribusi inflasi dari sector "volatile" mencapai 17,74% (yoy), mengakibatkan gejolak di sector moneter berupa pengetatan ekonomi (tightening monetary policy). Langkah pengetatan ini merupakan respon sector moneter (BI) karena meningkatkan liquiditas di dalam perekonomian atau dengan kata lain jumlah uang beredar meningkat akibat membumbungnya inflasi.
Demi tetap menjaga target inflasi dan stabilitas ekonomi, maka kenaikan suku bunga tak dapat dibendung, yang direpresentasikan melalui kenaikan BI rate 25 bps. Tentunya kenaikan suku bunga ini pada gilirannya akan direspon dengan kenaikan imbal hasil instrument hutang pemerintah, baik jangka pendek maupun panjang, serta tendensi penguatan rupiah dan melemahnya ekspor.
Dengan demikian, inflasi yang terjadi akhir-akhir ini bukanlah sepenuhnya kesalahan BI, namun lebih kepada merespon gejolak pasar dari sisi penawaran barang yang sejatinya berada pada domain pemerintah. BI mencoba mengantisipasi potensi gejolak di sector moneter dengan kebijakan kontraksioner. Selanjutnya, muncul di benak tentang apa yang akan terjadi bila inflasi dibiarkan menjadi bola liar tanpa penyikapan oleh BI? Ada 2 hal yang setidaknya sudah jelas akan terjadi yakni,
(1) inflasi menjadi bola liar dan akan merambah kepada kenaikan biaya hidup lainnya melalui jalur ekspekstasi, dan
(2) akan terjadi arus pembalikan modal asing (capital outflows) besar-besaran karena ekspekstasi masa depan ekonomi Indonesia yang dibayangi factor risiko yang tinggi akibat kenaikan inflasi.
Lalu bagaimana?
Sekali lagi, peristiwa kenaikan inflasi di Indonesia bukanlah berasal dari sector moneter, namun dari sector pemerintah. Sehingga penyikapan yang diberikan sudah selayaknya berasal dari sejauh mana kreatifitas dan kepiawaian pemerintah dalam menyikapinya. Namun demikian, setidaknya ada 2 hal yang bisa dilakukan oleh pemerintah,
(1) pengeluaran komponen cabai "dibenarkan" dengan kompensasi melakukan operasi pasar dengan sterilisasi pasokan cabai yang dapat mencukupi keperluan secara waktu tertentu. Hal ini karena fenomena ini adalah fenomena temporer, maka pasokan impor dan subsidi dapat dijadikan solusi sementara, namun bukan "pembatasan" konsumsi cabai. Selain itu.
(2) bekerjasama dengan lembaga keuangan untuk memberikan pembiayaan kredit lunak kepada para petani cabai dengan focus utama stabilisasi harga cabai untuk jangka panjang. Dalam implementasinya, kebijakan ini perlu dikerjasamakan dengan BULOG untuk kemudian menerapkan harga dasar pembelian yang wajar untuk meminimal isasi jatuhnya harga ketika musim panen.
Β
Pendeknya, usaha normalisasi angka inflasi, terutama Volatile inflation bergantung pada usaha pemerintah. Sejauh pengamatan, pihak BI sudah melakukan tugasnya secara tepat dalam konteks aksi stabilisasi sehingga pelaku pasar dan masyarakat Indonesia masih menunggu aksi-aksi konkret pemerintah dalam penurunan tingkat inflasi domestik, terutama pada komponen cabai.
Kesimpulan
Inflasi yang terus mengancam perekonomian Indonesia berasal dari ketidakmampuan pemerintah dalam mengantisipasi fenomena alam sehingga menekan inflasi inti. Pentingnya besaran inflasi inti dalam pengukuran kesehatan ekonomi berdampak pada tingginya tekana inflasi dan risiko sustainabilitas masa depan ekonomi Indonesia. Hal ini pada gilirannya mendorong Bank Indonesia menaikkan Bi rate untuk meredam dampak tingginya inflasi. Dengan demikian, pihak pemerintahlah yang dinilai paling bertanggung jawab dalam memicu instabilitas perekonomian akhir-akhir ini di Indonesia.
Dimas Bagus Wiranata Kusuma
Candidate Master of Economics, International Islamic University Malaysia,
Executive Director of Institute of Economic and Political Studies for New Indonesia Development (INSTEAD) Kuala Lumpur
dimas_economist@yahoo.com
+60102906105, +60169026445
(wwn/wwn)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini