Pengiriman TKI keluar negeri merupakan kebijakan nasional pemerintah dalam mengurangi pengangguran dan kemiskinan secara instan. Bank Dunia dalam data yang dikeluarkannya pada bulan Oktober 2010 mencapai US$ 7,1 miliar. Angka ini merupakan angka yang sangat signifikan dan merupakan pendapatan kedua terbesar negara setelah Minyak dan Gas (Migas). Saat ini sekitar 3 juta TKI bekerja di luar negeri. Mereka tersebar di 41 negara. Para TKI itu berasal dari 33 provinsi dan yang tersebar di 361 Kabupaten dan Kota di Indonesia (BNP2TKI, 2009)
Menurut data International Labour Organization (ILO) tahun 2008 di seluruh dunia didapati 191 juta migrasi internasional. 25 juta di antaranya berada di Asia dan Timur Tengah. 13.5 juta berada di kawasan Asia Tenggara (ASEAN) dan 35% dari mereka berada di Malaysia (ILO, 2008).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Pada tahun 2009 pemerintah Indonesia melalui Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan TKI (BNP2TKI) mengeluarkan data bahwa pada tahun 2008 terdapat 45.626 kasus TKI yang bekerja di luar negara. Peringkat pertama negara yang paling banyak kasus ialah Arab Saudi 22.035 kasus, Taiwan 4.497 kasus, Uni Emirat Arab (UEA) 3.866 kasus, Singapura 2.937 kasus, dan Malaysia 2.476 kasus.
Kasus yang paling banyak adalah adanya pemberhentian pekerja secara sepihak yang jumlahnya mencapai 19.429 kasus. Sakit bawaan sebanyak 9.378 kasus, sakit akibat bekerja 5.510 kasus, sedangkan kasus gaji tidak dibayar mencapai 3.550 kasus, dan kekerasan mencapai 2.952 kasus.
Cara Pemerintah Membenahi
Pada tahun 2004 Pemerintah Indonesia mengeluarkan Undang-undang No 39 tahun 2004 tentang penempatan dan perlindungan TKI. Undang-undang yang lahir pada era Presiden Megawati tersebut mengamanatkan terbentuknya sebuah badan khusus yang bertanggung jawab kepada Presiden. Badan tersebut dinamakan Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan TKI (BNP2TKI) dengan harapan pelayanan kepada TKI dapat dilakukan dengan sistem satu atap dan lintas instansi.
Sebelumnya pada tahun 2006, karena maraknya kasus kekerasan dan desakan berbagai pihak, Presiden SBY mengeluarkan Instruksi Presiden (Inpres) No 6 tahun 2006 tentang Reformasi Penempatan dan Perlindungan TKI. Inpres dipimpin pejabat esalon I di Kementrian Menko Perekonomian.
Sebagai anggota adalah beberapa pejabat esalon I di beberapa kementerian tersebut menginstruksikan kepada 14 stock holder yaitu : mulai dari Menkopohukam, Menkokesra, Menkoperekonomian, Menteri Luar Negeri, Menteri Dalam Negeri, Menteri Keuangan, Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi, Menteri Perhubungan, Menteri Hukum dan HAM, Menteri Kesehatan, Menteri Negara Badan Usaha Milik Negara (BUMN), Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/ Kepala Bappenas, Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia, para Gubernur, dan terakhir adalah para Walikota dan Bupati.
Dalam Inpres tersebut Presiden menginstruksikan kepada para bawahannya sebagaimana tersebut di atas agar mengambil Iangkah-langkah yang diperlukan sesuai dengan tugas, fungsi, dan kewenangan masing-masing dalam rangka pelaksanaan Kebijakan Reformasi Sistem Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia. Namun, sangat disayangkan seiring berjalannya waktu Inpres tersebut sampai saat ini tidak kelihatan hasilnya. Permasalahan TKI masih saja carut marut.
Pada tahun 2007 Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI) baru bisa wujudkan yang dipimpin oleh Jumhur Hidayat. Namun, setelah satu tahun berjalan sangat disayangkan selama dua tahun belakangan ini 'dimandulkan' perannya oleh Depnakertrans dalam hal kewenangan penempatan TKI keluar negeri karena perebutan wewenang yang seolah-olah memperebutkan 'kue' dalam kewenangan penempatan TKI ke luar negeri. Semenjak kasus kekerasan yang dialami Winfaidah di Malaysia Menakertrans mengeluarkan peraturan Menteri yang mengembalikan kewenangan BNP2TKI dalam mengelola penempatan dan perlindungan TKI.
Kasus ini tentunya sangat merugikan TKI dan PPTKIS yang selama ini menjadi penerima layanan proses penempatan TKI. Padahal kalau mau jujur tindakan ini bisa diselesaikan oleh presiden saat awal konflik terbuka terjadi antara Menakertrans dan BNP2TKI karena kedua lembaga tersebut merupakan lembaga yang langsung di bawah presiden.
Demikian juga dengan masalah Asuransi TKI, dengan dalih perlindungan, pemerintah menetapkan setiap TKI yang akan diberangkatkan keluar negeri diwajibkan membayar asuransi sebesar Rp 400.000 per TKI. Pada tahun 2007 Menakertrans yang waktu itu dipimpin oleh Erman Suparno mengeluarkan Permenakertrans No 23/MEN/XII/2008 yang menunjuk 8 konsorsium asuransi yang beroperasi mengelola dana asuransi TKI setelah terjadi polemik bertahun-tahun tentang banyaknya perusahaan asuransi yang 'nakal' dan susah dalam mencairkan klaim asuransi TKI, Menakertrans menerbitkan Permenakertrans No 7/MEN/VI/2010 dengan hanya menunjuk satu konsorsium saja yang terdiri dari 10 perusahaan asuransi.
Tindakan ini juga menuai protes dari berbagai pihak yang merasa di rugikan. Padahal selama ini terbukti peran asuransi dalam melindungi TKI sangat kecil justru mengeksploitasi TKI dari aspek ekonomi karena di negara penempatan majikan juga telah mengasuransikan mereka dengan premi yang lebih baik sehingga terjadi asuransi ganda yang sudah tentu merugikan TKI karena semua biaya tersebut akhirnya di bebankan kepada TKI.
Solusi dan Saran
Dari gambaran cara pemerintah membenahi TKI terlihat bahwa program-program yang dijalankan masih bersifat reaktif dan seperti 'pemadam kebakaran'. Pemerintah akan bergerak kalau ada kasus besar yang dimuat di media massa. Pemerintah terlihat memiliki niat yang baik dalam membenahi TKI. Namun, tidak tahu dari mana harus memulainya.
Selama ini perlindungan TKI di luar negeri masih mengandalkan diplomat kita di luar negeri. Sementara itu mereka memiliki keterbatasan dan jarak geografis yang kadang-kadang berjauhan. Bahkan, TKI dalam hal perlindungan masih dianggap sebagai objek penderita dan bukan sebagai subjek untuk mampu melindungi dirinya sendiri.
Sudah saatnya konsep perlindungan TKI tidak lagi mengkerdilkan peran TKI. Mereka sebenarnya memiliki potensi untuk mandiri. Tidak bergantung sepenuhnya kepada pemerintah yang memiliki segala keterbatasan. Salah satu cara yang tepat adalah memberikan jaminan dan kesempatan TKI kebebasan untuk berserikat dan berorganisasi. Seperti yang dilakukan TKI kita di Hongkong. Mereka bisa berdikari, bernegosiasi dengan pemerintah setempat untuk menaikan gaji. Memperjuangkan hak mereka seperti meminta hari libur pada hari raya dan kontrak kerja mandiri.
Sudah saatnya membenahi masalah TKI dilakukan dengan riset yang mendalam dan tidak berdasarkan asumsi. Indonesia selaku salah satu negera pengirim pekerja keluar negeri terbesar di dunia memiliki pusat studi migrasi khususnya TKI sehingga kebijakan yang diambil dapat dipertanggungjawabkan secara akademik dan berkesibnambungan. Wallahualam.
Muhammad Iqbal
Jln Tenaga 11 Taman Tenaga Kajang Selangor
unimig@gmail.com
081363052119
Presiden Union Migrant (UNIMIG) Indonesia
Recipient of Asian Graduate Students Fellowship. Asia Research Institute NUS Singapore 2010Β
Kandidat Doktor Studi Psikologi TKI di Universiti Kebangsaan Malaysia
(msh/msh)











































