Studi Banding Kemenpan ke Selandia Baru: Cermin Inefisiensi Birokrasi

Studi Banding Kemenpan ke Selandia Baru: Cermin Inefisiensi Birokrasi

- detikNews
Senin, 22 Nov 2010 08:52 WIB
Jakarta - Di tengah maraknya hujatan terhadap studi banding yang dilakukan anggota DPR pejabat pemerintahan di lingkungan kementerian perlu juga mendapat perhatian. Terutama masa-masa menjelangan ahir tahun. Periode saat pemerintah biasanya berusaha untuk menghabiskan anggaran tahunan.

Kementerian Pemberdayaan Aparatur Negara (Kemenpan) baru-baru ini memberi contoh penggunaan uang rakyat untuk kegiatan yang bisa dibilang tidak penting. Kemenpan mengutus enam orang ke Wellington Selandia baru, termasuk seorang deputi  menteri, yang katanya untuk dua agenda: studi banding tentang reformasi birokrasi dan sosialisasi Peraturan Pemerintah (PP) nomor 53tentang disiplin pegawai negeri.

Pilihan Selandia Baru untuk tujuan studi banding ini perlu dipertanyakan. Sistem pemerintahan Selandia Baru tidak mengenal model kementerian pemberdayaan aparatur negara seperti di Indonesia. Kontrol atas performace birokrasi diserahkan kepada pejabat tertinggi di masing-masing institusi negara sesuai dengan reformasi sektor publik yang mereka jalankan.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Oleh karena itu Selandia Baru juga tidak mengenal sistem kepegawaian seperti PNS di Indonesia. Setiap pegawai bekerja pada institusi pemerintah sebagaimana layaknya mereka bekerja pada institusi di sektor swasta. Berdasarkan kontrak kerja dan selama mereka dibutuhkan.

Bahkan, pejabat tertinggi di departemen setingkat Eselon I di Selandia Baru (disebut chief executive officer) direkrut sebagaimana layaknya merekrut direktur utama suatu perusahaan untuk masa
kerja 5 tahun. Tentu saja aneh rasanya bila para pejabat Kemenpan datang ke Selandia Baru untuk studi banding pengawasan birokrasi di suatu negara yang sistem kepegawaiannya berbeda sama sekali dengan sistem kepegawaian di negara kita.

Selandia Baru adalah negara kecil yang tidak menanggung beban birokrasi yang besar seperti Indonesia. Negara ini tidak memerlukan banyak orang untuk birokrasi karena layanan publik banyak yang dijalankan lewat skema patnership antara pemerintah dan swasta.

Intinya sangat kecil kemungkinan sistem birokrasi di Selandia Baru bisa diterapkan di Indonesia. Kecuali Indonesia mau merombak total sistem kepegawaian PNS dengan memangkas sebagian besar jumlah pegawai negara untuk membuat birokrasi
seramping mungkin.

Tapi, ini tidak mungkin dengan negara besar seperti Indonesia dan tentunya akan terbentur oleh realitas gemuknya birokrasi yang ada. Jadi, studi banding Kemenpan ke Selandia Baru ini jelas dilakukan tanpa pengetahuan awal kondisi
di negara tujuan. Alih-alih menyiapkan konsep perbandingan yang menunjukkan relevansi studi banding.

Ketidakjelasan manfaat studi banding ini tercermin jelas dari pidato deputi menteri Kemenpan di KBRI Wellington yang sama sekali tidak menyebutkan secara spesifik apa yang dipelajari dari sistem pemerintahan Selandia Baru. Meski hal inilah seharunya yang menjadi tujuan utama kunjungan ini.

Tujuan kedua perjalanan rombongan Kemenpan adalah sosialisasi PP 53 tentang disiplin pegawai negara. Tujuan ini tidak kalah aneh. PP ini menyangkut kebijakan Kemenpan untuk memperberat sanksi bagi PNS yang tidak disiplin, misalnya, dalam bentuk mbolos kerja yang berulang atau menyalahgunakan fasilitas atau posisi PNS untuk kepentingan politik.

Sosialisasi peraturan seperti ini lebih tepat ditujukan kepada PNS yang sedang aktif di Indonesia sebagaimana diakui oleh salah satu anggota rombongan Kemenpan yang mempresentasikan PP 53 ini. Anehnya, Kemenpan mengirim orang jauh-jauh
ke Wellington untuk sosialisasi peraturan ini padahal di kota ini jumlah PNS sangat sedikit.

Umumya mereka tidak aktif karena sedang kuliah. Saya, meski bukan PNS, mendapat kesempatan untuk menghadiri acara sosialisasi yang dilakukan di KBRI Wellington. PNS yang hadir di acara ini hanya sekitar 15 orang ditambah staff KBRI.
Hampir semua dari PNS yang hadir di acara ini adalah rombongan dosen dari Sulawesi Selatan yang baru datang di Wellington sekitar satu bulan yang lalu.

Andai rombongan dari Makassar ini tidak hadir bisa jadi acara sosialisasi ini tidak mempunyai pendengar selain staf KBRI. Fakta ini menunjukkan bahwa agenda sosialisasi yang diklaim rombongan Kemenpan ini tidak didasari oleh pengetahuan tentang keberadaaan PNS di Wellington. Selain itu para PNS bukanlah orang-orang tidak terdidik.

Sosialisasi sebuah peraturan bisa saja cukup dilakukan dengan menditribusikan fotokopi PP 53. Kalau pun diperlukan cara untuk menyerap masukan toh peraturan ini sudah disahkan. Kalau ada keberatan dari PNS bisa dibuka layanan kritik secara online atau lewat evaluasi dalam kurun waktu tertentu setelah penerapan peraturan ini. Singkatnya sangat mungkin sosialisasi adalah tujuan yang mengada-ada.

Kunjungan Kemenpan ke Wellington memberi contoh kecenderungan inefisiensi birokrasi di Indonesia yang masih terus berlangsung. Ironisnya 'pemborosan' seperti ini dilakukan oleh institusi Kemenpan yang mempunyai tugas untuk mendorong reformasi birokrasi (supaya efektif dan efisien).

Beban APBN Indonesia untuk membiayai birokrasi sudah sangat tinggi. Sangat disayangkan ketika cita-cita untuk menciptakan birokrasi yang efektif dan efisien terbentur oleh rendahanya gaji PNS sehingga inefisiensi masih terus dipertontonkan. Andai pejabat di lingkungan pemerintahan bisa memangkas pengeluaran-pengeluaran tidak penting seperti kunjungan ke Wellington ini mungkin bisa menyisihkan dana yang cukup untuk meningkatkan gaji PNS dan dengan demikian
turut meningkatkan kinerja birokrasi.

PP 53 nampaknya menjadi strategi utama Kemenpan untuk meningkatkan kinerja PNS. Lewat PP ini Kemenpan memberikan ancaman lebih besar kepada pegawai yang kerap tidak hadir. Perubahan ini perlu diapresiasi. Bisa jadi ini menujukan tekad Kemenpan untuk memulai perubahan. Tapi, perlu diingat. Sanksi demikian sifatnya adalah pengawasan internal.

Mekanisme kontrol, evaluasi, dan penerapan sanksi dilaksanakan oleh pejabat di internal departemen terkait. Proses internal demikian biasanya berjalan secara tidak transparan dan bisa dimainkan untuk kepentingan internal demi membela reputasi institusi.

Andai Kemenpan benar-benar bertekad mendorong reformasi birokrasi harusnya juga berani malakukan pengawasan secara terbuka atau transparan yang melibatkan publik. Hal ini bisa dilakukan misalnya dengan melakukan survei tentang performence atau integritas PNS di berbagai departemen. Termasuk survei kepuasan publik.

Kalau survei demikian dilakukan secara berkala dan disampaikan ke publik saya yakin Kemenpan bisa jadi 'pahlawan' reformasi birokrasi di Indonesia. Dan, untuk melakukan tugas seperti ini harusnya Kemenpan tidak perlu jauh-jauh belajar ke Selandia Baru.

Saya tidak bermaksud menuduh tujuan studi banding dan sosialisasi yang dikemukakan rombongan Kemenpan ini hanyal klise dari tujuan sebenarnya untuk berlibur meski hal ini bukan tidak mungkin. Yang pasti kunjungan ini adalah cermin perilaku inefisien pejabat Indonesia yang patut disayangkan.

Perilaku ini sangat tidak bertanggung jawab mengingat rakyat saat ini 'dipaksa' untuk menanggung beban penghemantan negara malalui kebijakan mengurangi subsidi BBM. Studi banding atau apa pun namanya jika dilakukan tanpa pengetahuan yang cukup tentang tempat tujuan dan tanpa konsep perbandingan yang menunjukkan relevansinya bagi Indonesia  tidak akan bermanfaat dan hanya memboroskan uang negara. Lebih memprihatinkan pejabat negeri ini tidak berhenti melakukanya meski negeri ini sedang dilanda musibah.

Moammad Iqbal Ahnaf
Wellington Selandia Baru
Lower Hutt
ahnafe7@yahoo.com
64-21-0684903

Mahasiswa Indonesia di Wellington Selandia Baru.



(msh/msh)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini
Selengkapnya



Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Ajang penghargaan persembahan detikcom bersama Polri kepada sosok polisi teladan. Baca beragam kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini.
Hide Ads