Bantuan untuk masyarakat pesisir rencananya akan dirupakan perahu, jaring, atau peralatan budi daya tambak serta benih rumput laut dan bibit ikan. Dari hasil pendataan tersebut tampaknya penerima bantuan dilakukan secara acak sehingga banyak temuan yang tidak tepat sasaran. Misalnya di Pulau Bawean Kabupaten Gresik yang memiliki dua Kecamatan, Sangkapura dan Tambak.
Penerima bantuan ditetapkan hanya di Kecamatan Sangkapura karena memiliki 2 pelabuhan. Tentu saja kondisi sosial ekonominya jauh lebih mapan dari penduduk di Kecamatan Tambak yang belum memiliki pelabuhan laut. Kejanggalan pendataan yang dilakukan Pemprov Jatim berdasarakan PPLS 2008 dan Survey Soial Ekonomi Nasional (Susenas) 2009, umumnya kesalahan data pribadi, alamat, pekerjaan, kelayakan dan jenis bantuan.
Misalnya Afiah 72 tahun, tinggal di RT 02 RW 04, Dusun Laut Sungai, Desa Sawah Mulya diusulkan mendapat bantuan alat tangkap ikan berupa jaring. Padahal, yang bersangkutan untuk berjalan saja sudah sulit. Janda yang tinggal di rumah berlantai keramik, berdinding bukan papan itu tidak sesuai dengan 14 kriteria kemiskinan.
Banyaknya kesalahan data menimbulkan protes dari sejumlah Kepala Dusun di Kecamatan Sangkapura. Kepala Dusun Sungai Teluk misalnya, mencoret 12 KK calon penerima bantuan karena dianggap keluarga mampu. Ironisnya, warga yang namanya tercantum dalam data rumah tangga sasaran, mengaku tidak pernah didatangi petugas survey yang dibenarkan pula oleh kepala dusun Komalasa, Sungai Teluk, Kota Kusuma, dan Sawah Mulya serta meminta dilakukan pendataan ulang.
Demikian pula kesalahan pendataan terjadi antara lain di Kabupaten Sumenep, Tuban, Sampang, dan Malang. Sebagai ilustrasi, penduduk Kecamatan Kangean, Sapeken dan Peragaan, Sumenep diplot calon penerima bantuan RTSM. Akan tetapi di Kangean yang merupakan kecamatan baru hasil pemekaran dari Kecamatan Arjasa itu, menurut klarifikasi Dinas Perikanan dan Kelautan Jatim, tidak satu pun didatangi petugas survey.
Bantuan untuk RTSM sektor perikanan dan kelautan Jatim, dianggarkan Rp 7 miliar untuk pengadaan sekitar 1.381 perahu jukung ukuran 3 GT, mesin 22 PK serta jaring. Di sektor budidaya dari 236 orang calon penerima bantuan hasil survey Bappemas Jatim, setelah diklarifikasi hanya 134 RTSM yang layak menerima bantuan bibit ikan lele, rumput laut, dan pakan dalam satu paket senilai Rp 2,5 juta. Sementara bantuan untuk sektor pengolahan perikanan hanya 104 RTSM yang layak mendapat bantuan cool box, timbangan, dan pembelian ikan untuk diolah.
Tidak Relevan
Kejanggalan data kemiskinan di wilayah pesisir jika dicermati juga terjadi dalam penyusunan Nilai Tukar Nelayan (NTN) yang dikeluarkan BPS. Pasalnya, indikator yang mempertimbangkan seluruh penerimaan dan pengeluaran keluarga nelayan tersebut hanya pengamatan di enam wilayah pesisir yang tidak pernah berubah selama lima tahun (2005-2010) yaitu di Kabupaten Trenggalek dan Banyuwangi mewakili pantai selatan.
Sementara Situbondo, Tuban, Lamongan, dan Pamekasan mewakili wilayah perairan pantura yang overfishing. Demikian pula data jumlah penghasilan nelayan. Misalnya, hasil survei BPS tahun 2005 mencatat penghasilan nelayan sebesar Rp 3,7 juta, tahun 2006 Rp 3,9 juta, tahun 2007 Rp 4 juta. Atau rata-rata berpenghasilan kurang dari Rp 15.000 per hari.
Menurut standard Bank Dunia keluarga miskin adalah keluarga yang berpenghasilan kurang dari 2 Dolar AS per hari. Akan tetapi jika menyimak data BPS pada tahun 2008 dan 2009, nelayan Jatim yang berjumlah 455.041 orang itu bisa dikatakan bebas dari belenggu kemiskinan.
Penghasilan nelayan pada tahun 2008 mengalami peningkatan fenomenal sebesar Rp 2,9 juta dari tahun sebelumnya. Tahun 2008 penghasilan nelayan tercatat Rp 7 juta dan tahun 2009 Rp 7,1 juta. Jika diambil rata-rata selama satu bulan nelayan melaut 25 hari, maka penghasilan nelayan per bulan tahun 2008 sebesar Rp 548.008 atau Rp 23.360 per hari. Hal itu kontras dengan rata-rata pertumbuhan indikator kesejahteraan nelayan tahun 2008 yang minus 0,1 persen per bulan.
Nilai ini di bawah nilai nasional yang tumbuh 0,4 persen, bahkan di Pulau Jawa pertumbuhan NTN Jatim nomor dua terkecil setelah Provinsi Banten. Di lihat dari pertumbuhan NTN tahun ini yang rata-rata hanya 0,3 persen per bulan, kehidupan nelayan di Jatim dapat dipastikan masih miskin. Angka pertumbuhan tahun 2010 sangat kecil dibanding pertumbuhan tahun 2009 dalam periode yang sama yang sempat mencapai 31,3 persen. NTN Jatim bulan Juli 2010 tercatat sebesar 141,37 atau turun 0,98 persen dibanding NTN bulan Juni 2010.
Penurunan ini disebabkan indeks harga yang diterima nelayan naik sebesar 0,13 persen. Lebih rendah dibandingkan dengan kenaikan indeks harga yang dibayar nelayan sebesar 1,12 persen. Rendahnya pertumbuhan NTN menjadi ironi mengingat luas wilayah perairan Jatim lebih dari dua kali luas daratannya.
Sebagai ilustrasi tahun 2009 wilayah perairan selatan yang luasnya dua kali perairan utara baru berproduksi 93.479 ton, sedangkan potensi perikanan tangkap Jatim mencapai 1,6 juta ton per tahun. Dengan jumlah 61.551 armada penangkapan dan alat tangkap 219.320 unit, produksi ikan segar hasil penangkapan di laut mencapai 368.113 ton dengan nilai Rp 2,7 triliun.
Oki Lukito
Direktur Regional Economic Maritime Institute
Anggota Himpunan Ahli Pengelolaan Pesisir Indonesia (HAPPI)
(msh/msh)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini