Dalam tahapan-tahapan adat Perkawinan Gelu Kawate atau menukarkan kain tenun antara pihak laki-laki dan perempuan memiliki makna pertautan tali persaudaraan yang begitu mengesankan. Bagi pihak laki-laki dan perempuan (calon pengantin) yang telah saling menukar kain tenun melambangkan bahwa meski tadinya mereka tidak saling kenal tapi dengan Gelu Kawate secara alamiah mereka telah terikat dalam tali persaudaraan. Pola pengikat hubungan kekerabatan inilah yang mengkonstruksikan masyarakat Baranusa dalam ikatan persudaraan yang sedemikian kokoh selama berabad-abad.
Kain tenun juga memiliki dimensi penghormatan yang luar biasa terhadap sesama. Hal ini biasanya terlihat pada tradisi masyarakat Baranusa menyambut tamu. Terutama pejabat daerah atau pusat.
Biasanya para tetamu itu dipakaikan kain tenun yang telah dimodifikasi menjadi selendang. Bagi masyarakat adat Baranusa hal ini merupakan bentuk penghormatan dan cara memuliakan orang. Yang biasa memakaikan kain tenun adalah tokoh masyarakat atau Pejabat Kecamatan yang telah direstui Kepala Adat.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Motif
Selain pesan nilai dibalik keseluruhan kain tenun motif atau penambahan aksesori pada kain tenun juga memiliki makna filosofis yang mendalam terkait hubungan antarsesama. Terlebih motif-motif itu selalu bertolak dari pesan nilai persaudaraan.
Misalnya pada kain tenun yang menggunakan gambar Moko. Alat musik tradisional yang terbuat dari perunggu ini memiliki pesan nilai dan substansi yang sama. Baik antara masyarakat pedalaman (Kristen) dan masyarakat pesisir (Islam). Gambar Moko pada kain tenun menukilkan isyarat bahwa antara orang pedalaman dan pesisir berada dalam derajat sosial dan budaya yang sama.
Orang pedalaman dan orang pesisir sama-sama menggunakan Moko sebagai mahar perkawinan. Dan, ketika Moko dipampangkan dikain tenun maka hal tersebut menggambarkan bahwa kesetaraan Orang Baranusa terdeskripsikan lewat gambar aksesori kain tenun.
Moko juga merupakan alat musik yang biasa digunakan untuk tarian lego-lego. Bagi masyarakat Baranusa rasanya belum lengkap bila Tarian Lego-lego tanpa Moko. Sakralitas Tarian Lego-legi akan semakin menggetarkan ketika syair-syair adat menyatu dan beriringan dengan dengungan suara Moko. Dalam Lego-lego biasanya para muda-mudi diwajibkan menggunakan kain tenun.
Anomali
Anomali peradaban global kini menggeser manusia dari orisinalitasnya. Kita dibuat seolah terus-menerus mencari alas pijak eksistensi tanpa akhir. Dalam pada ini kita juga selalu cenderung berubah wujud bahkan kamuflatif. Demikian juga sering terjadi pemalsuan diri dan eksistensi.
Euforia peradaban Barat yang positifistik itu melunturkan normalitas manusia untuk hidup dalam kondisi yang serba ragu-ragu dan nekat. Padahal, semestinya tidak demikian.
Berpuluh-puluh abad leluhur kita telah melandaskan hidupnya pada alam dan siklus nilai yang terilhami oleh kehidupan etik adat istiadat (kearifan lokal). Meski dalam keprimitifan peradabannya mereka mampu membangun suatu kehidupan otentik yang sarat nilai beserta seluruh medianya penyokongnya. Termasuk kain tenun yang merupakan "sarana pengikat" kehidupan masyarakat yang ragam kala itu.
Saat ini kita tak perlu repot merumuskan teori sosial kontemporer yang "njlimet". Karena, untuk menyatukan masyarakat Indonesia yang ragam cukuplah kita temukan ramuannya dalam kearifan lokal yang telah ada sekian abad dalam ranah sosial masyarakat. Karena, untuk mengakarkan suatu nilai tidak perlu mengimpornya dari luar sana. Tapi, cukup digali dari rahim budaya sendiri. Itu lebih baik.
Munir Sara
Jln Kayu Manis Baru 2 Matraman Jakarta Timur DKI Jakarta
abdulmunir_sara@yahoo.co.id
081318004078
Lingkar Studi Pemuda Mahasiswa Tapal Batas Republik Indonesia - Timor Timur.
(msh/msh)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini