Ya, sinema elektronik atau yang biasa dikenal dengan akronim sinetron adalah istilah untuk serial drama sandiwara bersambung yang disiarkan olehstasiun televisi. Menurut literatur yang ada, penayangan sinetron di Indonesia mengikuti program televisi Spanyol, yakni Telenovela.
Teguh Karya, seorang sutradara papan atas negeri ini, mengatakan bahwa istilah sinetron ini pertama kali dicetuskan oleh salah seorang pendiri dan mantan pengajar Institut Kesenian Jakarta, Soemardjono. Umumnya, sinetron menyajikan kisah kehidupan sehari-hari manusia dengan banyak dibumbui konflik yang tak berkesudahan.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Komersialisasi Plagiatisme Sinetron Indonesia
Pembuatan sinetron yang terdiri atas banyak episode memang atas dasar tujuan komersial semata. Hal ini menyebabkan tayangan sinetron di negeri ini tak berkualitas. Bahkan, amat sangat tidak mendidik. Semua yang disajikan dalam sinetron hanya seputar hiburan saja.
Hal ini banyak terjadi di Indonesia yang pada umumnya bercerita seputar kehidupan remaja dengan intrik-intrik cinta segi tiga, kehidupan keluarga yang penuh kekerasan, dan tema yang akhir-akhir ini sangat digemari yaitu tentang kehidupan alam gaib.
Ironisnya ternyata proses pembuatan sinetron itu sendiri terjadi dengan cara plagiat alias penjiplakan. Secara ekonomis menjiplak jelas lebih murah daripada memproduksi sendiri. Menjiplak tidak melibatkan unsur kreativitas, idealisme, risiko pasar, dan pengorbanan waktu serta tenaga yang begitu besar.
Dibanding film yang berkualitas membuat sinetron membutuhkan biaya tak lebih dari Rp 500 - Rp 700 juta. Dunia Tanpa Koma (DTK) yang termasuk bagus saja menelan tak kurang dari Rp 800 juta.
Buku Harian Nayla misalnya. Dialog pemainnya, adegannya, 90% lebih sama persis dengan 1 Litre of Tears --kecuali kualitas pemainnya yang (maaf) amatiran dan nyaris tanpa ekspresi. Film bagus yang "diadaptasi" jadi sampah. Contoh lain, sinetron Benci Jadi Cinta, juga sangat persis dengan My Girl.
Sinetron ini menceritakan cewek ABG yang centil dan pandai berakting. Suatu ketika cewek tersebut (Zouyulin) tinggal serumah dengan si cowok (Gongcan) untuk berpura-pura sebagai sepupunya yang lama menghilang. Tujuannya adalah untuk menyelamatkan kakek yang sedang sakit parah.
Tapi, lama kelamaan, timbul rasa cinta di antara keduanya --klise. Bedanya, di My Girl kedua tokoh perempuannya adalah pemain tenis. Sementara di Benci Jadi Cinta diganti sebagai pemain bulu tangkis. Sinetron Si Yoyo ternyata juga adaptasi (baca: jiplakan) dari film India yang berjudul Koi Mil Gaya.
Sinetron Menjajah Negeri
Masyarakat kita umumnya masih belum mampu melihat tayangan mana yang bernilai mutu bagus dengan tepat. Banyak tayangan luar negeri yang begitu laris di negeri asalnya tetapi tatkala tayangan tersebut disiarkan di negeri ini rating yang didapat amat rendah.
Begitu juga sebaliknya. Banyak masyarakat kita yang menonton televisi hanya untuk pleasure. Menghibur diri. Apalagi kaum pria, yang kebanyakan menonton hanya untuk menghibur mata --selain mencari informasi dan tayangan olah raga.
Penonton dari strata kelas menengah atas yang "sulit dibohongi" oleh sinetron-sinetron murahan mungkin lebih prefer untuk membaca, surfing internet, menonton DVD, bermain console game, atau hang out sebagai sarana hiburan. Kalau pun menonton televisi pasti menggunakan satelit atau TV kabel yang pilihannya jauh lebih beragam dan berkualitas. Ujung-ujungnya sinetron akan kian diminati. permintaan pasar terus bertumbuh, dan pembodohan masal terus bergulir. Lingkaran setan yang tiada berujung.
Menurut hemat saya mungkin orang-orang dari dunia persinetronan Indonesia memang berniat membuat karya yang bermutu. Tapi, lagi-lagi mereka terpaksa harus realistis dan mengikuti selera pasar.
Yang menjadi permasalahan ialah sinetron sebenarnya mengajarkan hedonisme dan mengajak kita untuk bermimpi tentang gaya hidup yang serba mewah. Ironisnya program seperti ini ditonton oleh mayoritas kalangan kurang terpelajar, ibu-ibu rumah tangga, atau pembantu yang butuh waktu lama untuk menyadari bahwa mereka sedang 'dikibulin' dengan impian kalangan atas.
Begitulah selera mereka yang gampang terbuai dengan kemewahan, berkhayal menjadi orang kaya, bermimpi dipersunting pangeran kaya dan tampan, membayangkan memperistri wanita cantik dan seksi, memiliki rumah mewah dan mobil belasan, dan sebagainya. Hasilnya, kebanyakan orang Indonesia lebih suka berkhayal.
Angga Febriyatko
Jalan Tubagus Ismail VIII No. 62A Bandung.
083825959411
meerzha.cho@gmail.com
Mahasiswa Sastra Indonesia Universitas Padjadjaran Bandung
Peserta PPSDMS Angkatan V Regional 2 Bandung.
(msh/msh)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini