Wacana ini muncul karena adanya fakta bahwa BBM bersubsidi selama ini justru tidak tepat sasaran. Yang banyak menikmati justru kendaraan pribadi termasuk kendaraan mewah. Padahal, sasarannya terutama adalah kendaraan angkutan umum atau sering juga disebut angkutan massal dan golongan masyarakat yang kurang mampu. Termasuk sepeda motor. Lonjakan tingkat pengguna kendaraan pribadi yang tinggi dikhawatirkan akan makin menyedot subsidi BBM sehingga makin memberatkan keuangan negara.
Logika ini dapat dipahami dari segi kebijakan publik. Jangan sampai BBM bersubsidi justru hanya dinikmati orang kaya saja sementara kendaraan angkutan umum dan masyarakat kecil saling bersaing memperebutkan jatah BBM yang semestinya diperuntukkan bagi mereka. Esensi kebijakan publik adalah menjamin terpenuhinya kebutuhan masyarakat atas segala macam kebutuhan publik melalui distribusi sumber daya publik secara optimal. Sehingga, tepat kiranya jika kebijakan ini diberlakukan.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Harus diakui bahwa di negara mana pun peran angkutan umum sangat vital. Survei yang dilakukan UI tahun 2008 menunjukkan bahwa 90% masyarakat Jakarta adalah pengguna angkutan umum dan sisanya kendaraan pribadi. Dominasi pengguna angkutan umum dibandingkan pengguna kendaraan pribadi ini tentunya juga terjadi di kota-kota lain. Namun, selama ini pula kita selalu saja melihat, mendengar, atau bahkan mengalami sendiri betapa buruknya kualitas pelayanan dari angkutan umum kita.
Bukan suatu hal yang mengherankan jika kita melihat angkutan umum yang ngebut, penumpang yang berjejalan di dalam armada, perlengkapan armada seperti lampu, kaca, maupun kursi penumpang yang tidak terawat sehingga aspek kenyamanan penumpang diabaikan jamak kita jumpai. Belum lagi jika kita bicara masalah kelengkapan surat-surat kendaraan bisa jadi hanya pada saat menjelang hari raya saja. Mayoritas sopir membawa dengan lengkap karena menjelang hari raya rutin diadakan razia kendaraan angkutan umum oleh aparat Dinas Perhubungan dan Kepolisian.
Atau bicara masalah keamanan, pengalaman kecopetan di angkutan umum, bagi para kaum hawa mungkin juga banyak yang menjadi korban "kesempatan dalam kesempitan" dari ulah kru angkutan atau penumpang yang nakal. Masyarakat tidak memiliki banyak pilihan karena hanya itulah yang ada dan merasa sanggup melayani jasa transportasi masyarakat walaupun dengan kualitas layanan yang buruk.
Kondisi ini terjadi sistem angkutan umum kita berbasiskan setoran dalam arti setiap hari ada target pendapatan dalam jumlah tertentu yang dibebankan kepada sopir dari para pemilik angkutan umum. Segala macam risiko di jalan pun menjadi tanggungan kru angkutan. Adanya tekanan kerja ini mendorong para sopir untuk meraih pendapatan setinggi-tingginya.
Dengan harapan mereka mampu membawa penghasilan lebih bagi keluarganya setelah dipotong kewajiban setor kepada pemilik angkutan umum dan biaya operasional lainnya. Masyarakat pengguna angkutan umum dipandang tidak lebih dari ceceran uang yang berada di jalan dan harus diangkut sebanyak mungkin untuk kemudian ditarik ongkosnya.
Paradigma ini telah berjalan sekian lama dan menjadi tradisi sehingga jangan heran jika kita akan merasa langka menemukan angkutan umum yang mampu menjamin rasa aman, membuat penumpang merasa nyaman, dan merasakan kepuasan dalam menggunakan jasa angkutan umum.
Adanya UU Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan setidaknya menjadi angin segar bagi para pengguna angkutan umum. Pasal 138 ayat 2 UU Nomor 22 mengamanatkan bahwa Pemerintah bertanggung jawab atas penyelenggaraan angkutan umum dan pasal 141 ayat 1 menyebutkan Perusahaan Angkutan Umum wajib memenuhi standar pelayanan minimal yang meliputi: keamanan, keselamatan, kenyamanan, keterjangkauan, kesetaraan dan keteraturan. Meskipun peraturan pelaksanaan teknis UU ini belum disusun namun secara prinsip ada kewajiban bagi pemerintah untuk tidak sekedar berdiri sebagai lembaga stempel perizinan angkutan umum sebagaimana yang lalu dan adanya standar pelayanan minimal yang wajib dipenuhi oleh para pengusaha angkutan.
Hanya saja yang patut diperhatikan adalah setelah setahun lebih UU ini disahkan kelihatannya belum banyak yang berubah dari pelayanan angkutan umum kita. Masih begitu-begitu saja. Padahal, bukan hal yang mudah untuk membina angkutan umum. Bukan hanya para pemilik angkutan dan sopir yang menjadi pemain. Mulai dari para timer, calo angkutan, sopir tembak, preman pinggir jalan, hingga oknum aparat yang mengeruk keuntungan dari para sopir angkutan telah menjadi pemain yang mewarnai dunia angkutan umum di Indonesia sejak lama.
Pasal 213 ayat 2 huruf c UU Nomor 22 menyebutkan jelas bahwa Pemerintah wajib melakukan pengawasan dan pembinaan terhadap Perusahaan Angkutan Umum, pemilik, dan/ atau pengemudi kendaraan bermotor yang beroperasi di jalan. Berkaca dari UU ini maka sudah waktunya bagi pemerintah untuk mulai mengkondisikan sistem layanan angkutan umum yang ada secara bertahap. Tujuannya adalah menciptakan sistem layanan angkutan umum yang ideal bagi masyarakat.
Penertiban perizinan usaha angkutan umum, penertiban calo dan sopir tembak, ketersediaan angkutan umum di semua rute potensial hingga pengawasan standar pelayanan minimal adalah langkah besar yang harus dilakukan oleh pemerintah. Alternatif kebijakan lainnya adalah formula subsidi bagi angkutan umum atau menerapkan kebijakan pembelian layanan (buy the service) sebagai pengganti sistem setoran.
Kebijakan pembelian pelayanan berarti pemerintah membayar operator angkutan umum berdasarkan jumlah kilometer tempuh dan meniadakan setoran dengan konsekuensi harus ada dukungan anggaran publik yang sangat besar dari pemerintah. Kebijakan pembelian layanan ini telah diterapkan pada model layanan BRT (Bus Rapid Transyt) di Indonesia yaitu di Jakarta dengan transjakarta dan di DI Yogyakarta dengan Trans Jogja.
Melihat kondisi saat ini reformasi angkutan umum masih menjadi pekerjaan rumah yang besar yang harus dituntaskan oleh pemerintah. Karena, begitu pentingnya sektor ini dalam menunjang mobilitas masyarakat. Kita tentu ingin kondisi angkutan umum kita seperti di negara lain yang telah baik sistem transportasinya seperti di Singapura, Malaysia, Eropa atau Kolombia dengan Trans Millenio yang kemudian diadopsi oleh transjakarta.
Di negara-negara tersebut angkutan umum tertata dengan baik. Pelayanan diberikan optimal sehingga penumpang merasa aman dan nyaman.
Point pentingnya adalah masyarakat secara sukarela bersedia alih moda dari kendaraan pribadi ke angkutan umum sehingga mengurangi kepadatan lalu lintas, mengurangi kemacetan, mengurangi polusi, dan mengefisiensikan konsumsi pemakaian BBM. Inilah yang harus dicontoh karena mampu menjadi faktor penghubung/ korelasi antara pembatasan BBM bersubsidi dengan reformasi angkutan umum.
Sediakan dulu angkutan umum yang baik barulah pemerintah layak membatasi konsumsi BBM sehingga masyarakat memiliki alternatif yang bagus dan tidak menggerutu karena merasa dipaksa membeli BBM non-subsidi yang harganya jelas lebih mahal. Sementara mereka tidak memiliki alternatif moda transportrasi yang cukup layak. Upaya reformasi sistem angkutan umum harus diawali dengan komitmen politik yang jelas dan tegas dari pemerintah untuk membenahi dan menertibkan sistem angkutan yang ada.
Jika kondisi angkutan umum sudah baik dengan sendirinya akan mendorong masyarakat ramai-ramai menggunakan angkutan umum dan pada gilirannya mampu menghemat subsidi BBM. Jangan sampai timbul kesan bahwa pemerintah lebih berani memaksa masyarakat mengurangi konsumsi BBM bersubsidi daripada membenahi sektor angkutan umum. Padahal, kaitannya erat sekali sebagaimana paparan di atas.
Yorri Kusuma N
Pleret RT 07 Yogyakarta
blackcobra1@walla.com
08158710257
Penulis adalah Alumnus Fisipol UGM program Administrasi Publik.
(msh/msh)