Melalui perjanjian (CAFTA) ini maka ASEAN mulai melakukan pasar bebas di kawasan China-ASEAN. Khusus negara ASEAN-6 (Indonesia, Singapura, Thailand, Malaysia, Filipina, dan Brunai) telah mulai menerapkan bea masuk 0% per Januari 2004 untuk beberapa produk berkategori tertentu. Sementara pada Januari 2010 pemberlakuan ASEAN - China Free Trade Area sebanyak 1.017 pos tarif China - Indonesia akan dihapuskan. Dari jumlah itu 828 pos tarif telah diturunkan
pada periode 2004-2009 dan 200 pos tarif akan menyusul dihapuskan.
Komunitas dagang China menyambut baik keberhasilan diplomasi pemerintah China meyakinkan negara-negara ASEAN tentang perlunya perjanjian perdagangan bebas ini. Hampir semua media di China menyambutnya dengan suka cita. Perjanjian ini dibaca sebagai pasang naik perdagangan yang menggembirakan sebagai alternatif baru bagi pasar produk-produk China yang melimpah. Menggantikan pasar Amerika Serikat dan Uni Eropah yang semakin kedodoran.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sementara dalam negeri program 100 hari pemerintahan SBY - Boediono dinilai gagal mengantisipasi berlakunya perjanjian perdangan bebas ASEAN - China (ACFTA) 2010 dan tidak dapat memberikan solusi atas kecemasan masyarakat dalam menghadapi ACFTA tersebut. Implementasi ACFTA memang menjadi pilihan sulit bagi Pemerintah RI. Di satu sisi ACFTA sudah telanjur ditandatangani. Di sisi lain terlalu besar pertaruhannya bagi bangsa ini untuk menerapkan ACFTA secara tergesa-gesa.
Dampak dari penerapan ACFTA yang tergesa-gesa adalah ketergantungan ekonomi Indonesia semakin tinggi termasuk produk-produk sensitif. Seperti pangan dan tekstil. Selain itu pemulihan ekonomi tahun 2010 ke depan sangat rentan. Ini mengakibatkan melemahnya daya serap tenaga kerja dan melambatnya pertumbuhan investasi.
CAFTA dengan sendirinya menjadi dilema. Bagaimana pun kita membutuhkan kebijakan-kebijakan yang bersifat terobosan sedemikian sehingga pertumbuhan ekonomi nasional Indonesia bisa terus meningkat. Membuat perjanjian kerja sama dagang dengan China diyakini akan merupakan terobosan ke arah itu. Namun, serta merta dengan itu CAFTA juga berpotensi memukul Usaha Mikro Kecil dan Menengah kita yang masih bergelut dengan berbagai masalah. Masalah utama ialah lemahnya daya saing produk industri mebel atau tekstil kita dibandingkan dengan produk China.
Demikian juga soal tarif yang telah mendorong bergairahnya perdagangan antara ASEAN dan China. Pada awal tahun ini 6 negara ASEAN yang kaya akan menghapuskan hambatan tarif atas 90 persen produk peserta CAFTA. Indonesia termasuk di dalamnya. Namun, empat negara ASEAN lainnya (Vietnam, Kamboja, Laos, dan Myanmar) disetujui tidak perlu memangkas tarif pada tingkat yang sama dengan 6 negara ASEAN lainnya hingga 2015.
Di antara sepuluh negara-negara ASEAN peserta CAFTA Indonesia diyakini yang paling rentan. Banyak pihak yang meragukan kemampuan Indonesia bersaing bebas dengan China. Defisit perdagangan kita dengan China selama ini menjadi fakta yang tidak bisa dipungkiri. Tetapi, hampir semua pakar ekonomi memandang CAFTA akan memberikan harapan baru. Terutama bagi negara sebesar Indonesia sepanjang kita mampu mengelola dilema yang kita hadapi.
Dilema itu ialah menyetujui CAFTA akan menggairahkan pertumbuhan ekonomi tetapi berpotensi menghancurkan tatanan UMKM. Sebaliknya, mengabaikan CAFTA sama dengan kita mengingkari prinsip pasar bebas yang selama ini kita anut. Dan, hakikatnya tanpa CAFTA pun pasar kita telah sejak lama tidak bisa kita kelola dengan lebih baik. Produk-produk China membanjiri pasar-pasar moderen dan tradisionl kita. Pantai kita merupakan salah satu yang terpanjang di dunia sehingga menjadi pintu masuk atau keluar yang leluasa bagi importir dan eksportir.
Hubungan Dagang Antara China dan Indonesia
Selama lima tahun terakhir Indonesia mengalami kerugian (neraca) dalam hubungan kerja sama dagang Indoensia - China. Dalam kurun 2003-2009 Indonesia mengalami defisit (kerugian) perdagangan non-migas dengan China sebesar 12.6 miliar Dolar AS. Atau hampir Rp 120 triliun. Indonesia hanya mengalami surplus perdagangan dengan China pada 2003 sebesar 535 juta Dolar AS. Tepatnya 1 tahun sebelum pelaksanaan Free Trade Area.
Dan, sejak 2004 hingga November 2009 Indonesia 'konsisten' mengalami defisit perdagangan dengan China dan mencapai defisit terbesar pada 2008 yakni USD -7.2 miliar atau setara Rp 70 triliun. Ini berarti penerapan CAFTA khususnya antara Indonesia-China telah memberi keuntungan yang sangat besar bagi Republik Rakyat China.
Jumlah rata-rata penjualan produk China di Indonesia meningkat hingga 400% dalam kurun 5 tahun terakhir. Maka tidaklah heran bilamana berbagai produk yang kita gunakan/temui sehari-hari bertuliskan "MADE IN CHINA". Mulai dari barang elektronik berteknologi tinggi seperti ponsel, kamera, mp3/ mp4/ mp5 player, setrika, televisi, motor, mesin-mesin, hingga produk-produk berteknologi rendah seperti pakaian (tekstil), mainan anak-anak, makanan, kertas, jam, pensil, perabot rumah tangga, paku, dan lain-lain.
Meningkatnya produk China yang masuk ke Indonesia tidak lepas dari faktor kompetitf harga. Barang-barang impor dari China relatif lebih murah dibanding produk dari industri lokal. Ditambah dengan pola konsumsi masyarakat Indonesia yang lebih mencari barang murah (kurang memperhatikan asal/ nasionalisme dan komparasi kualitas). Maka secara perlahan pasar produk lokal disaingi oleh produk China.
Penyebab terbesar ketimpangan neraca perdagangan non-migas antara China dan Indonesia adalah tingkat kompetitif bisnis-ekonomi Indonesia yang rendah dibanding China. China unggul dalam berbagai faktor produksi barang dan jasa dibanding Indonesia. Dengan upah tenaga kerja yang hampir sama buruh China bekerja lebih efisien, ulet, dan telaten serta keahlian yang lebih memadai.
Berdasarkan laporan The Global Competitiveness Report 2009-2010 efisiensi tenaga kerja China menduduki peringkat 32 dari 133 negara. Sementara Indonesia berada diperingkat 75 jauh di bawah China.
Efisiensi tenaga kerja hanya satu dari sekian banyak faktor yang mempengaruhi ekonomi produksi berbiaya rendah. Dari Global Competitive Index 2009-2010 (GCI) Indonesia menduduki peringkat 54 dari 134 negara. Peringkat GCI Indonesia jauh di bawah China #29, Jepang #8, Taiwan #12, Korea Selatan #19 di Asia Timur.
Di kawasan Asia Tenggara, GCI Indonesia jauh di bawah Singapura #3, Malaysia #24, Brunai DS #32, dan Thailand #36. Dan, untungnya Indonesia masih di atas Vietnam # 75, Filipina, #87, dan Kamboja #110. Catatan: Laos dan Myanmar tidak masuk dalam 133 negara yang disurvei GCR.
Perdagangan Bebas
Dengan disparitas kompetitif ekonomi Indonesia terhadap China maka pelaksanaan pasar bebas yang lebih luas pada Januari 2010 ini akan semakin memukul pengusaha kecil Indonesia. Terutama pengusaha yang berada di daerah-daerah dengan kualitas infrastruktur yang buruk disertai korupsi dan birokrasi yang tidak efisien. Persaingan pasar bebas ini menjadi tidak fair dan dapat merugikan kepentingan masyarakat luas.
Perdagangan bebas akan akan mampu meningkatkan standar hidup melalui keuntungan komparatif dan ekonomi skala besar apabila pihak-pihak yang bersaing memiliki dan mendapat kualitas faktor-faktor ekonomi yang selevel/ berimbang. Apabila faktor-faktor biaya ekonomi mengalami ketimpangan yang tinggi maka perdagangan bebas hanya hanya merusak industri lokal di negara yang tidak kompetitif.
Dalam hal ini, Prof Joseph Stiglitz, peraih nobel ekonomi 2001, mengkritik konsep pasar bebas yang tidak adil danย berimbang. Perdagangan bebas yang tidak berimbang dan adil akan menghancurkan perekonomian suatu bangsa. Perekonomian masyarakat akan hancur apabila produk-produk yang masuk (impor) adalah produk yang lebih murah. Sementara produk yang serupa adalah produk yang dihasilkan oleh ratusan ribu masyarakat. Sebagian pekerja ini sangat mungkin mengalami PHK bila seandainya biaya produksi produk-produk tersebut masih jauh dibawah harga jual produk impor.
Dari perjanjian CAFTA Indonesia mengalami kerugian yang sangat besar. Kita hanya mampu melihat negara kita dijajah secara ekonomi dan mental oleh China. Sangat ironi. Negara kita memiliki kekayaan alam yang sangat besar mulai dari Sabang sampai Marauke. Di laut dan di darat. Namun, pemerintah tidak mampu memanfaatkan untuk kesejahteraan rakyat. Malah lebih banyak dimanfaatkan negara lain. Bila kran perdagangan bebas China - Indonesia sangat menguntungkan pemerintah China mengapa Indonesia tidak mampu memanfaatkannya secara maksimum?
Safri Haliding
Mahalla Uthman IIUM Kuala Lumpur
safrihaliding@yahoo.com
+60102671903
Mahasiswa S2 International Islamic University Malaysia
Ketua Persatuan Pelajar Sulsel Malaysia
(msh/msh)