KTT tersebut menghasilkan Deklarasi Milenium yang kemudian dikenal dengan Tujuan Pembangunan Milenium atau Millennium Development Goals (MDGs). MDGs dirumuskan dengan tujuan pemenuhan hak-hak setiap umat manusia dengan pendekatan yang bersifat inklusif. Oleh karena itu MDGs dapat diterima oleh negara-negara anggota PBB dan bertanggung jawab untuk memenuhi setiap tujuan tersebut.
MDGs memiliki delapan tujuan dan masing-masing tujuan terdiri dari target-target yang memiliki batas pencapaian minimum yang harus dicapai Indonesia pada 2015. Hal ini bertujuan untuk mempermudah proses evaluasi masing-masing target oleh setiap negara.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
MDGs menjadi acuan pembangunan negara-negara anggota PBB termasuk Indonesia. MDGs dijadikan referensi dalam pembangunan Indonesia mulai dari tahap perencanaan sampai tahap pelaksanaan. Dari delapan tujuan MDGs tersebut tanpa melemahkan arti tujuan yang lain tujuan kedua pemerataan pendidikan dasar merupakan hal yang sangat penting. Karena, tercapainya tujuan kedua tentang pemerataan pendidikan dasar tersebut akan mengakselerasi pencapaian tujuh tujuan lainnya.
Pendidikan akan membentuk pola pikir masyarakat menjadi lebih baik, meningkatkan pengetahuan wanita tentang pentingnya kesehatan ibu hamil, meningkatkan pengetahuan manusia tentang HIV/AIDS, meningkatkan pengetahuan tentang pentingnya arti lingkungan yang sehat dan membuat kaum perempuan menjadi terpelajar dan berkeinginan untuk ikut berperan serta dalam tatanan kehidupan.
Di samping itu pendidikan akan membuat manusia sadar membutuhkan kerja sama dengan manusia (negara) lain. Pendidikan juga akan meningkatkan harkat dan martabat manusia sehingga terlepas dari kemiskinan dan kelaparan.
Tujuan kedua MDGS tentang pemerataan pendidikan dasar menargetkan pada tahun 2015 semua anak Indonesia, baik laki-laki maupun prempuan, akan dapat menyelesaikan pendidikan dasar, tidak ada lagi yang putus sekolah. Untuk mencapai tujuan tersebut pemerintah harus bekerja sama dengan seluruh masyarakat Indonesia berusaha agar tahun 2015 tidak ada lagi anak-anak Indonesia yang tidak mendapatkan pendidikan dasar.
Pemerintah Indonesia sebenarnya sudah lama mencanangkan program pemerataan pendidikan. Program Wajib Belajar (Wajar) 9 tahun adalah salah satu bentuk usaha pemerintah Indonesia dalam mewujudkan pemerataan pendidikan bagi seluruh warga negara sebagaimana yang diamanatkan oleh UUD 1945.
Program wajib belajar 9 tahun pada awalnya merupakan lanjutan dari program wajib belajar pendidikan dasar 6 tahun (SD) pada tahun 1984. Kemudian pada tahun 1994 direvisi lagi menjadi program wajib belajar pendidikan dasar 9 tahun (SD dan SLTP). Hal ini berarti anak-anak usia 7 sampai 15 tahun diwajibkan untuk mengikuti dan mendapatkan pendidikan dasar SD dan SLTP.
Program Wajar 9 Tahun tersebut menjadi kekuatan bangsa Indonesia untuk mewujudkan tujuan MDGs. Namun, angka anak putus sekolah setiap tahun mengalami peningkatan cukup signifikan. Berdasarkan data BKKBN dari 1,7 juta jiwa pada 1996 menjadi 11,7 juta jiwa pada 2009 lalu. Angka tersebut didominasi anak-anak usia 7-15 tahun yang rata-rata tidak dapat memenuhi kewajibannya melanjutkan pendidikan dasar sembilan tahun.
Data tersebut menunjukkan terdapat jalan terjal untuk memenuhi target MDGs tentang pemerataan pendidikan dasar. Dengan sisa waktu 5 tahun lagi (saat ini tahun 2010) pekerjaan ini akan menjadi berat jika tidak disikapi oleh segenap stake holder yang berkaitan dengan pencapaian program ini.
Untuk itu perlu disusun upaya-upaya yang dapat dilakukan agar target pencapaian tersebut dapat terlaksana tepat waktu. Upaya-upaya tersebut dapat diurai dari apa saja penyebab yang membuat angka anak putus sekolah semakin tinggi. Salah satu penyebab tingginya angka putus sekolah adalah tempat tinggal yang jauh dari fasilitas pendidikan.
Anak-anak miskin dari pedesaan umumnya memiliki kesulitan untuk mendapat pendidikan dasar terutama anak-anak yang berusia 13-15 tahun. Setelah menamatkan Sekolah Dasar (SD) mereka dihadapkan pada pilihan berhenti sekolah karena jarak yang jauh atau membantu orang tua mencari nafkah.
Menurut data yang dikeluarkan oleh Kementerian Pendidikan Nasional pada tahun 2009 sedikitnya terdapat 483 ribu anak usia SD tidak lagi meneruskan pendidikan. Di antara angka tersebut ada yang berhenti sebelum kelas 6 dan tidak melanjutkan ke tingkat SMP.
Salah satu cara untuk meredam tingginya angka putus sekolah dari tahun ke tahun adalah dengan pembangunan SLTP satu atap. Sebuah sekolah di mana SD dan SLTP memakai satu gedung sekolah.
Cara ini akan menghemat biaya operasional dan dapat menjangkau daerah-daerah terpencil. Sekolah seperti ini sudah berjalan beberapa tahun terakhir. Namun, perlu ditingkatkan jumlah dan kualitas SDM pengelolanya.
Anak-anak yang sudah terlanjur putus sekolah harus segera diatasi dengan program paket A. Hanya saja jumlah anak yang bisa ditampung pada program paket A hanya 200 ribu orang anak. Dari 200 ribu daya tampung tersebut hanya mampu diisi oleh 100 ribu orang anak saja.
Hal ini disebabkan oleh banyak faktor. Di antaranya adalah medan yang ditempuh oleh guru pendamping atau Tutor Paket A cukup berat. Pekerjaan menyisir anak-anak putus sekolah sampai ke pedalaman merupakan pekerjaan yang tidak mudah. Belum lagi membujuk mereka agar mau mengikuti program penyetaraan pendidikan tersebut.
Untuk itu perlu kerja sama pemerintah daerah agar pencapaian pemerataan pendidikan ini dapat terlaksana dengan baik. Pemerintah daerah harus menyisir sampai ke daerah pelosok, mendata, dan mengajak anak-anak putus sekolah untuk kembali mengenyam pendidikan melalui program penyetaraan.
Demikian juga dengan program penyetaraan pendidikan untuk tingkat SLTP, Paket B. Pemanfaatan kearifan lokal juga sangat diperlukan untuk membantu pencapaian target ini. Perlu dirangsang kembali semangat gotong royong masyarakat untuk membangun pendidikan, khususnya gedung sekolah dan sarana pendukung lainnya.
Di samping itu laju pertumbuhan penduduk yang sangat cepat harus disikapi dengan pembangunan infrastruktur pendidikan yang seimbang. Seluruh elemen bangsa harus ikut membantu pekerjaan berat tersebut termasuk pihak swasta. Di antaranya meningkatkan peran serta swasta untuk membantu pembangunan pendidikan terutama di daerah terpencil.
Setiap perusahaan diwajibkan menyisihkan laba usahanya dalam bentuk Corporate Social Responsibility (CSR). Salah satu bentuk program yang dapat dilakukan adalah membantu terselenggaranya pendidikan terutama di daerah terpencil.
Misalnya dengan memberikan insentif tambahan untuk guru-guru yang mengajar di daerah terpencil. Di samping itu pemberian bea siswa untuk anak-anak kurang mampu juga akan sangat membantu pencapaian target MDGs tentang pemerataan pendidikan dasar.
Jika pekerjaan ini sudah dipikul bersama oleh semua anak bangsa program pencapaian pemerataan pendidikan yang menjadi target MDGs pada tahun 2015 akan terasa lebih ringan. Dengan harapan rasa tanggung jawab bersama ini akan mempercepat pemenuhan target tersebut untuk Indonesia yang lebih baik.
Berry Devanda
Jl Raya Padang Painan Depan Kantor Koramil Tarusan
Pesisir Selatan Sumatera Barat
berrydevanda@gmail.com
081374273672
Penulis adalah Guru SMAN 1 Koto XI Tarusan Pesisir Selatan Sumatera Barat.
(msh/msh)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini