Malaysia, Siapa Takut?

Malaysia, Siapa Takut?

- detikNews
Rabu, 01 Sep 2010 09:00 WIB
Jakarta - Hubungan Indonesia - Malaysia kembali membara. Khususnya pasca insiden Bintan yang melibatkan petugas Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), nelayan Malaysia, dan polisi Kerajaan Malaysia. Walaupun kejadiannya sudah berlangsung beberapa waktu lalu namun tensi ketegangan justru makin meningkat.

Reaksi keras muncul dari Indonesia seiring maraknya demontrasi di sejumlah kota. Bahkan, aksi massa di Jakarta sempat membuat Kuala Lumpur 'naik darah'. Utamanya setelah insiden pelemparan tinja di Kedubes Malaysia, Jakarta. Malaysia menuntut pemerintah Jakarta minta maaf. Namun, tak ada jawaban sama sekali dari Kementerian Luar Negeri (Kemlu). Di saat yang sama rakyat Indonesia justru menuduh Malaysia yang harus meminta maaf karena menangkap petugas KKP. Ketegangan tak juga mereda di bulan puasa ini.

Perang memang belum dimulai. Atau barangkali tidak akan terjadi. Namun, 'perang' di dunia maya sudah lama terjadi antar 'aktivis' cyber kedua negara. Yang terbaru, Indonesian Coder 'salah satu komunitas hacker Indonesia memproklamirkan' aksi mereka yang berhasil 'mematikan' sedikitnya 150 situs pemerintahan Malaysia dan situs-situs lain yang terkait dengan negara jiran tersebut.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Jiwa kami bersama nyalakan tanda bahaya", begitu pesan yang ditinggalkan di teras situs yang berhasil 'dibunuh'. Ada juga pesan lain yang sebelumnya sudah populer, seperti "Ganyang Malaysia" dan "Bubarkan Negara Boneka". Hingga artikel ini ditulis, situs-situs Malaysia tersebut masih dalam keadaan "sakit". Sementara, serangan serupa oleh hacker-hacker Malaysia tak terjadi.

Nasionalisme Anak Muda

Apa yang kita bisa terjemahkan dari fenomena tersebut? Bahwa nasionalisme Indonesia tidak pernah luntur dan mati. Reformasi politik dan demokratisasi yang berlangsung sejak 1998 awalnya sempat dikhawatirkan akan 'merusak' sendi-sendi kebangsaan kita. Nyatanya tidak sama sekali.

Pemuda-pemuda Indonesia di era digital sekarang ini juga tak kalah patriotik. Mereka menggelorakan nasionalisme menurut caranya. Kita boleh tidak sepakat dengan pilihan cara mereka. Namun, itu juga harus dilihat sebagai bagian dari reaksi spontan anak bangsa.

Hal tersebut juga membuktikan bahwa anak-anak muda Indonesia masih mencintai bangsanya. Mereka mungkin tak hafal semua lagu perjuangan, tidak lagi nonton film Janur Kuning atau Pemberontakan G 30 S PKI, yang di masa Orde Baru menjadi tontonan wajib. Tetapi, nasionalisme terus berproses bersama waktu dan menemukan bentuk barunya sesuai tantangan zaman.

Janur Kuning kini digantikan film Laskar Pelangi. Buku-buku sejarah dari berbagai versi menggantikan film sejarah tunggal versi pemerintah. Toh, dengan itu nasionalisme kita tidak luntur. Yang terjadi justru sebaliknya. Sebuah bentuk baru nasionalisme yang berkembang secara alami tanpa rekayasa.

Sikap SBY

Pemerintah Indonesia menyikapi insiden Bintan secara serius. Sebagaimana instruksi Presiden target utama misi Kemlu adalah membebaskan petugas KKP dengan selamat. Selanjutnya barulah melakukan negosiasi. Target tersebut tercapai walau dibarengi isu 'barter' dengan tujuh nelayan Malaysia. Ini cukup? Belum.

Masyarakat Indonesia yang sudah 'geregetan' dengan Malaysia sejak lama menginginkan tindakan lebih dari pemerintah. Publik menuntut permintaan maaf Malaysia atau bahkan konfrontasi. Tak ada rasa takut yang muncul di benak orang-orang Indonesia. Semua mendukung opsi apa pun, jika pemerintah menghendaki, termasuk opsi perang.

Presiden SBY dihadapkan pada pilihan yang tidak mudah dalam kasus ini. Fakta 2,2 juta TKI kita di Malaysia menjadi pertimbangan tersendiri. Prinsipnya sederhana. TKI tak boleh menjadi korban ketegangan hubungan Indonesia - Malaysia. Di sisi lain, sebagai big brother dan negara terbesar di ASEAN, reaksi berlebihan dari Indonesia bisa memicu ketegangan kawasan.

Seorang mantan Dubes menjelaskan kepada penulis bahwa posisi Indonesia di mata negara-negara Asia Tenggara sangatlah penting. Indonesia dianggap sebagai negara yang sudah matang dan dewasa dalam diplomasi sehingga sikapnya benar-benar ditunggu oleh kawasan.

Seperti pada 1980-an, saat Filipina berada di tengah kecamuk konflik dalam negeri, sebuah KTT ASEAN hampir dibatalkan di sana. Semua kepala negara menolak hadir. Namun, Indonesia bersikap lain. Kita tetap memutuskan hadir ke Manila, sebagai bentuk dukungan kepada Filipina. Apa yang terjadi? Semua kepala negara ASEAN akhirnya duduk bersama di meja KTT. Itulah ilustrasi, betapa sikap Indonesia akan membawa dampak bagi kawasan, termasuk dengan Malaysia.

Opsi konfrontasi dan perang bukanlah hal yang menakutkan bagi Presiden SBY. Pengalaman operasi militer di Timor Leste hingga Bosnia membuat karier militernya tak diragukan. Buktinya, SBY beberapa kali mengatakan 'siap perang' dalam pidato-pidatonya. SBY juga maju ke garis terdepan perbatasan, saat konflik Ambalat memanas.

"Kalau kita ingin damai, maka kita harus siap berperang", begitu kata SBY pada peresmian Monumen Trikora dan Dwikora tahun lalu. "Kalau memang pilihan bangsa ini perang (dengan Malaysia), ya perang. Saya akan berada di paling depan, bukan yang paling belakang," tambah SBY di depan Rapimnas Pemuda Panca Marga, Juni 2009.

Walau demikian, opsi perang harus menjadi pilihan terakhir, setelah semua upaya soft power gagal menemui hasil. Sebagai bangsa yang kenyang perjuangan dalam sejarah, tak ada yang luar biasa dari insiden Bintan dan ketegangan hubungan dengan Malaysia. Opsi apa pun kita siap, termasuk perang dengan Malaysia.

Malaysia, siapa takut?

Zaenal A Budiyono, Senior Research Fellow / Political Strategist di The Ary
Suta Center (ASC), Jakarta.



(msh/msh)



Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Hide Ads