Kenapa penyakit lupa bisa menjadi sangat berbahaya. Karena, jika penyakit medis seperti pusing, typus, TBC, hingga kanker biasanya hanya berkaitan dengan satu orang penderita yang dampaknya dan akibatnya juga hanya dirasakan oleh si penderita tersebut.
Beda dengan penyakit lupa. Andai ada satu orang lupa maka yang akan terkena dampak dari lupa tersebut, bisa dua orang, bisa satu keluarga, satu kampung, satu kecamatan, satu kabupaten, bahkan satu negara.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sering kita dengar dalam satu berita kriminal, misalnya, telah terjadi kecelakaan yang menewaskan satu keluarga yang disebabkan oleh rem mobil yang blong. Atau telah terjadi kebakaran di pemukiman padat penduduk yang disebabkan satu warga yang lupa mematikan kompor sehingga mengakibatkan kebakaran satu Rukun Warga (RW).
Kita sadar bahwa kedua bencana tersebut tidak akan mungkin terjadi jika orang-orang yang bersangkutan tidak lupa mengecek rem mobil sebelum berkendara atau mengecek kompor sebelum meninggalkan rumahnya. Hal itu pun, penyakit lupa tersebut, hanya diderita oleh satu orang.
Namun, yang paling berbahaya adalah ketika penyakit lupa tersebut diderita masyarakat Indonesia secara kolektif. Banyak bukti yang menunjukkan bahwa hancurnya bangsa ini karena penyakit lupa yang bersifat kolektif.
Contohnya banjir bandang yang melanda Situbondo pada hari Jumat, 8 Februari 2008 dikarenakan masyarakat lupa bahwa pada tahun 2002 telah terjadi bencana yang sama yang penyebabnya adalah terjadinya pengundulan wilayah hutan di pegunungan Raung, Ijen, dan Agropuro.
Bencana banjir bandang tersebut terjadi mungkin hanya disebabkan oleh ratusan orang yang merambah hutan. Namun, karena dilakukan kolektif maka yang terkena dampak jumlahnya ribuan orang yaitu satu kabupaten Situbondo.
Begitu pula yang terjadi di Jakarta. Banjir yang terjadi dengan intensitas yang jauh lebih besar beberapa pekan terakhir sebetulnya penyebabnya adalah semata-mata karena lupa yang diderita masyarakat. Jika banjir yang terjadi tiap tahun masalahnya adalah sama, jika bukan karena sampah, maka karena semakin habisnya wilayah resapan air.
Hal yang paling memilukan adalah ketika Tol Sediyatmo yang menghubungkan Jakarta dengan Bandara Soekarno Hatta terkepung banjir, yang dampaknya dirasakan tidak hanya oleh masyarakat pengguna di bandara Soekarno Hatta melainkan di Bandara seluruh Indonesia yang kerugiannya tidak hanya materi yang nilainya entah berapa miliar, melainkan juga rasa malu karena bandara Soekarno Hatta sebagai ikon akses internasional bangsa ini di mata dunia yang sulit ditebus.
Lain pula penyakit lupa di bidang olah raga sepak bola. Oleh karena rusuh antara suporter Persipura dan Persija maka yang menjadi korban sebetulnya adalah seluruh lapisan masyarakat pencinta sepak bola seluruh Indonesia yang kehilangan kebanggaan terhadap kualitas sepak bola kita.
Karena, macam mana final Liga Jarum yang dibanggakan tidak boleh dihadiri oleh penonton, yang penyebabnya hanyalah oleh sekian orang suporter yang lupa jika rusuh yang dirugikan tidak hanya mereka melainkan masyarakat luas. Juga kepercayaan pemodal yang mungkin ke depan akan semakin ragu mensponsori acara-acara olah raga di negeri ini.
Penyakit lupa mungkin sudah lumrah dan amat dianggap biasa oleh masyarakat kita. Ada orang yang lupa jika mengkorupsi beras raskin yang rugi adalah warga satu desa. Ada yang lupa dengan mengkorupsi dana BLBI yang terkena beban membayarnya adalah warga satu Negara Indonesia.
Ada masyarakat yang lupa ketika pilkada, karena diberi uang dan beras, pada akhirnya memilih pemimpin yang bejat dan korup, yang ternyata dampaknya kezalimannya dirasakan oleh satu daerah. Tidak hanya sehari atau dua hari. Melainkan hingga satu periode kepemimpinan.
Belum lagi jika si pemimpin tersebut dipenjara maka daerah tersebut dijamin akan mengalami kelumpuhan. Dan, banyak penyakit lupa lain yang silih berganti terjadi di negeri ini. Tanpa disadari yang terkena dampak kerugian tidak hanya pada orang yang lupa secara pribadi melainkan kolektif menderitakan satu negeri ini.
Sudahlah. Saatnya kita melawan penyakit lupa ini. Walaupun sangat sulit kita yakin bangsa ini bisa untuk tidak lupa karena sebegitu besar kerugiannya. Kerugian yang tidak hanya ditanggung hari ini dan generasi ini melainkan akan diderita bertahun-tahun bahkan puluhan tahun dan mungkin tidak akan tuntas hingga tujuh generasi.
Karena bagaimana pun juga kita tidak rela ketika lahir anak cucu kita harus menanggung hutang akibat korupsi, harus menanggung aneka penyakit karena polusi, harus terus menerus mengungsi karena banjir, dan yang tidak terperi adalah ketika kita dan cucu kita harus menanggung malu karena bangsanya tidak dipandang oleh bangsa lain. Mari bangkit, minimal dengan melawan penyakit lupa.
Rahmatullah Elmusri
Periset di Banten Institute bidang CSR
www.pekerja-sosial.blogspot.com
(msh/msh)