Direktorat Jenderal Pengelolaan Utang mencatat total utang luar negeri Indonesia hingga meret 2010 sebesar 65,06 miliar dollar AS. Itu pun belum seberapa jika ditambah dengan utang dalam negeri dan surat berharga Negara. Republik ini menopang utang sebesar Rp 1.600 triliun. Sebuah angka yang fantastis?
Semenjak pemerintahan Orde Baru hingga pemerintahan Indonesia bersatu sekarang salah satu kebijakan ekonomi yang tidak pernah berubah adalah penggunaan utang sebagai sumber dana pembangunan --yang senantiasa tercantum dalam struktur Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN). Tidak mengherankan kalau akumulasi penumpukan utang pemerintah semakin membengkak saja dari tahun ke tahun.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Ironisnya untuk membayar utang yang meliputi cicilan pokok utang dan bunga pemerintah harus mengusahakan utang baru. Jumlahnya tidak pernah mencukupi untuk melunasi kewajiban utang pada setiap tahun. Contohnya pada 2008. Jumlah pembayaran cicilan pokok utang dan bunga sebesar 8,8 miliar dolar AS. Namun, penambahan utang baru hanya sebesar 3,9 miliar dolar AS sehingga terdapat selisih sebesar -4,9 miliar dolar AS.
Berdasarkan data tersebut Indonesia dapat dikatakan sudah masuk ke dalam jebakan hutang (debt trap) yang memaksa pemerintah melakukan "gali utang bayar utang" setiap tahunnya. Memang rasio utang terhadap produk domestik bruto (PDB) yang mengindikasikan peningkatan kemampuan Indonesia dalam membayar utang cenderung menurun pada setiap tahunnya.
Pada 2003 rasio utang terhadap PDB masih sebesar 61,0 persen turun menjadi 33,0 persen pada 2008, dan pada maret 2010 menjadi 27,0 persen. Tetapi, peningkatan jumlah utang pemerintah yang mengarah pada jebakan utang tentunya memberikan beberapa dampak negatif yang akan menimpa bangsa Indonesia.
Pertama, rakyat pembayar pajak yang saat ini sedang gencar-gencarnya digalakkan oleh Ditjen Pajak harus merelakan sebagian pajak yang dibayarkannya dipergunakan oleh pemerintah untuk membayar cicilan pokok utang dan bunga. Semua harga naik. Harga mobil dan motor lebih mahal dari harga di luar negeri disebabkan oleh pajaknya yang tinggi.
Ditambah kasus yang akhir-akhir ini marak diperbincangkan tentang makelar kasus pajak. Alih-alih rakyat sudah rela bayar pajak ke pemerintah eh, malah uang rakyat itu tidak dipergunakan sebagaimana mestinya.
Selain itu rakyat juga harus menerima dan ikhlas membiarkan pemerintah memotong jatah dana pembangunan dari APBN yang semestinya bisa untuk membiayai program peningkatan kesejahteraan rakyat terpaksa harus digunakan untuk membayar cicilan pokok utang dan bunga. Utang luar negeri Indonesia sudah menjadi beban kronis dari APBN sehingga anggaran negara tersebut tidak memiliki kebebasan lagi.
Anggaran pengeluaran habis terkikis oleh pengeluaran untuk utang luar negeri. Dengan demikian APBN Indonesia sudah menjadi instrumen yang sulit bergerak dan bahkan mengganggu ekonomi nasional secara keseluruhan. Pada sisi lain APBN merupakan instrumen kebijakan pemerintah yang sangat penting. Tetapi, sekarang instrumen tersebut tidak bisa dipakai secara leluasa untuk kepentingan ekonomi masyarakat luas. Termasuk kepentingan ekonomi rakyat.
Kedua, utang akan menyuburkan lahan korupsi bagi aparat birokrasi terkait di negara penerima. Ini berkaitan dengan makelar kasus pajak di Indonesia yang sudah dibahas sedikit di atas. Beberapa studi membuktikan bahwa semakin besar utang suatu negara semakin besar pula potensi korupsi dan penyalahgunaan dana utang tersebut.
Bank Dunia dan IMF semestinya tahu dan dapat melakukan tindakan pencegahan terhadap utang yang disalurkan ke Indonesia selama ini telah mengalami kebocoran. Namun, kedua lembaga itu tidak berbuat sesuatu dan terkesan membiarkan saja. Sikap apatis Bank Dunia dan IMF ini memunculkan tuduhan bahwa selama ini tujuan memberikan utang kepada Indonesia semata-mata untuk meraup pendapatan bunga sebesar-besarnya. Tanpa ambil pusing dana yang diutangkan itu mengalami kebocoran.
Ketiga, rendahnya nilai tambah utang sebagai sumber dana pembangunan. Dalam setiap pemberian utang kepada Indonesia negara-negara kreditor selalu memaksakan persyaratan yang memberatkan dan kadang merugikan bangsa Indonesia.
Pada setiap pemberian utang negara-negara kreditor selalu mewajibkan Indonesia untuk membeli barang-barang dan penggunaan konsultan dari negara-negara kreditor yang tarifnya relatif tinggi. Dampaknya terjadilah arus pembalikan dana yang cukup besar dari Indonesia kembali ke negara-negara kreditor tanpa memberikan nilai tambah yang signifikan bagi program pembangunan di Indonesia.
Keempat, dampak yang teramat serius adalah ancaman terampasnya kedaulatan dalam pengelolaan ekonomi Indonesia. Negara-negara kreditor, melalui Bank Dunia dan IMF, juga biasanya mendesak agar dalam perumusan setiap kebijakan ekonomi Indonesia yang sesuai dengan keinginan mereka, yang tentunya kebijakan tersebut disesuaikan dengan kepentingan negara-negara kreditor.
Rumusan kebijakan ekonomi yang seolah-olah "dipaksakan" oleh Bank Dunia dan IMF selama ini dapat berdampak terhadap berkurangnya kemandirian ekonomi Indonesia yang dapat bermuara pada proses penyengsaraan terhadap rakyat kebanyakan. "Pemaksaan" kehendak IMF untuk lebih menekankan pada pemberlakuan ekonomi pasar bebas dalam perumusan kebijakan penghapusan subsidi secara total dan privatisasi BUMN sering dianggap sebagai pengikisan kemandirian ekonomi bangsa.
Kita sebagai rakyat bangsa Indonesia seharusnya sadar akan hal-hal di atas. Kita tidak bisa selamanya seperti ini yang bergantung terhadap utang. Kita dapat melakukan upaya-upaya untuk keluar dari keterperosokan jebakan utang yang tampaknya semakin dalam saja.
Selama ini utang selalu dipersepsikan sebagai sumber dana pembangunan potensial seharusnya diubah paradigmanya menjadi beban pembangunan. Sehingga, harus dikeluarkan dari struktur APBN. Selain itu mengadakan restrukturisasi utang untuk memotong mata rantai jebakan "gali utang bayar utang".
Program restrukturisasi itu diupayakan untuk penyelesaian beban pembayaran cicilan pokok utang dan bunga hingga tidak ada lagi di dalam APBN. Baik lewat perjanjian maupun penjadwalan ulang dan penghapusan utang tanpa harus menambah utang baru.
Dengan tidak mengharapkan lagi tambahan utang baru dari negara-negara kreditor bargaining power Indonesia mestinya semakin kuat untuk bisa merundingkan penyelesaian utang yang lebih menguntungkan bagi Indonesia. Indonesia tidak dapat seterusnya bergantung pada sumber utang karena eskalasi utang yang mengarah pada jebakan utang justru menjadi beban bagi perekonomian Indonesia.
Oleh karena itu kebutuhan pembiayaan pembangunan harus lebih diutamakan dari sumber-sumber dana domestik non-utang. Karena, bagaimana pun juga beban utang akan membuat anggaran fiskal semakin tidak sehat. Dengan mengoptimalkan sumber-sumber dana dalam negeri non-utang diharapkan Indonesia dapat segera keluar dari jebakan utang --yang tampaknya sudah semakin berlarut membebani perekonomian Indonesia.
Adityo Iman Prakoso
adt_tyo@msn.com
Referensi:
http://www.dmo.or.id/content.php?section=46
http://www.bni.co.id/Portals/0/Document/Ulasan%20Ekonomi/beban%20utang
http://www.ekonomirakyat.org/edisi_3/artikel_1.htm
http://bisniskeuangan.kompas.com/read/2010/04/16/16380717/Utang.Luar.Negeri.Indonesia.Dekati.Rp.2.000.Triliun
http://bisniskeuangan.kompas.com/read/2010/04/30/18034174/Total.Utang.LN.180.7.Miliar.Dollar.AS
(msh/msh)











































