Meteor (Sebesar) Duren di Duren Sawit

Meteor (Sebesar) Duren di Duren Sawit

Ma'rufin Sudibyo - detikNews
Sabtu, 08 Mei 2010 17:10 WIB
Jakarta - Kediaman Bapak Soedarmodjo seluas 6 x 13 meter persegi di Jl Delima Gang 2 No 31 Kelurahan Malakasari Jakarta Timur dan memiliki koordinat '16Β  LS '35 BT itu mendadak ngetop pasca 30 April 2010 pukul 16:00 WIB. Kala itu sebuah ledakan keras menggelegar merusak rumah tersebut dan dua rumah lainnya di sebelahnya yang segera membikin gempar Duren Sawit.

Polisi yang segera datang tak menemukan residu bahan peledak ataupun jejak-jejak ledakan gas yang belakangan menghantui Jakarta. LAPAN dan BMKG yang segera datang ke lokasi menduga ledakan kemungkinan ditimbulkan oleh tumbukan benda langit yakni meteorit ke rumah tersebut yang jejaknya antara lain ditemukan sebagai bulatan hangus di dinding belakang yang nyaris runtuh dan adanya serbuk hitam mirip pasir.

Sebenarnya cukup sulit mengonstruksi ulang lintasan meteorit yang memiliki titik tumbuk (impact point) di sebuah bangunan. Mengingat kejadian ini amat sangat jarang terjadi dan jejak-jejak tumbukannya umumnya ikut hancur bersamaan dengan hancurnya bangunan. Terlebih jika kualitas bangunannya tergolong buruk.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Sebagai gambaran selama 18 tahun terakhir hanya ada 1 kejadian di mana meteorit jatuh dan menimpa rumah (beserta mobil di dalamnya) di Peekskill New York (AS) di antara 600 laporan keterlihatan meteor besar (fireball) yang berpotensi memproduksi meteorit per tahunnya (rata-rata) yang dicatat American Meteor Society hanya di benua Amerika bagian utara. Jauh lebih mudah melacak dan merekonstruksi meteorit yang jatuh di lahan terbuka. Karena, lubang/ kawah yang terbentuk memiliki kedalaman dan diameter yang sebanding dengan massa meteorit tersebut.

Alhamdulillah ternyata pada kejadian Duren Sawit jejak meteorit masih bisa dilacak. Meski bangunan relatif rusak parah. Selain dalam bentuk bulatan hangus di dinding dan pasir hitam di lantai tepat di bawah dinding juga terdapat bekas-bekas panas
(kertas mengkerut, plastik menggelombang, dan lain-lain) dan ada lubang di atap rumah Bapak Agus (di belakang rumah Bapak Soedarmodjo) yang kemungkinan dibentuk ketika meteorit memantul setelah menghantam dinding dan adanya pasir hitam bertekstur bulat di lantai persis di bawah atap yang bolong. Sehingga, Prof Thomas Djamaluddin, astrofisikawan LAPAN, menyimpulkan (untuk sementara) bahwa kejadian Duren Sawit memang disebabkan oleh hantaman meteorit.

Prof Thomas Djamaluddin mengistilahkan meteorit Duren Sawit sebagai "sebesar kelapa". Untuk maksud yang sama kita juga bisa menyebutnya sebagai meteorit (sebesar) duren. Apa pun istilahnya hal tersebut hanya untuk menggambarkan bahwa meteorit Duren Sawit memiliki diameter 30 - 40 cm. Yang datang dari arah barat daya atau dari sekitar azimuth 225.

Kuantitas ini penting artinya ketika kita berusaha merekonstruksi dinamika dan asal mula meteorit Duren Sawit. Sebagai catatan rekonstruksi ini adalah rekonstruksi jarak jauh. Hanya berdasarkan laporan-laporan yang disajikan berbagai media massa ditopang pengetahuan terkini tentang dinamika meteor.

Pada dasarnya ada dua jenis meteor. Yakni yang berasal dari sisa komet (cometary) dan dari pecahan asteroid (asteroidal). Meski kuantitas cometary jauh lebih banyak
(mencapai 80% dari seluruh meteor yang teramati), namun hanya asteroidal yang berpotensi menyisakan diri sebagai meteorit setelah menembus atmosfer sehingga bisa menumbuk permukaan Bumi. Maka tak ada keraguan bahwa meteorit Duren Sawit merupakan asteroidal.

Meteorit Duren Sawit pecah dan hancur setelah menumbuk dinding yang mengesankannya tidak lebih keras dibanding dinding. Seperti umumnya bangunan di Indonesia dinding rumah tersebut juga terbuat dari tumpukan batu bata yang disemen sehingga densitas meteorit kemungkinan tidak berbeda dengan densitas dinding tembok. Meteorit hancur menjadi butir-butir pasir bertekstur bundar yang mengesankan sebagai kondrul (chondrule) atau butiran.

Dari dua faktor tersebut meteorit Duren Sawit terkesan sebagai meteorit kondritik. Yakni jenis meteor paling primitif (purba) karena diduga terbentuk pada awal mula tata surya ketika awan gas yang sedang berpilin mulai mengalami kondensasi membentuk nodul-nodul.

Bila Matahari dan planet merupakan gumpalan nodul-nodul yang terus saling bergabung dengan sesamanya dan tumbuh membesar hingga akhirnya mulai mengalami reaksi fusi nuklir maupun diferensiasi kimiawi di intinya. Evolusi semacam itu tidak dialami gumpalan nodul yang berukuran kecil dan kebetulan tidak bergabung dalam proses pembentukan Matahari/ planet. Sehingga, mereka ibarat "fosil" masa purba tata surya.

Itulah meteorit kondritik yang diklasifikasikan dalam dua kelompok: karbon kondritik dan ordiner kondritik. Meteorit karbon kondritik memiliki densitas hanya 2 gram/cc. Terlalu kecil dibandingkan densitas dinding tembok sehingga meteorit Duren Sawit lebih mendekati jenis meteorit ordiner kondritik yang tersusun oleh mineral olivin-bronzit atau olivin-hipersten yang juga merupakan mineral penyusun batuan beku. Meteorit ordiner kondritik memiliki densitas 4 g/cc sehingga dengan diameter 40 cm, massanya adalah 134 kg.

Dengan demikian meteorit Duren Sawit tergolong meteorit ringan menurut klasifikasi
American Meteor Society, karena massa-nya 7 ton. Meteorit ringan memiliki sifat khas seperti kecepatan tumbuk relatif kecil (dalam rentang 90 - 180 m/detik). Dinamikanya sangat dipengaruhi atmosfer Bumi dan kecepatan tumbuknya sepenuhnya dikontrol oleh gravitasi Bumi tanpa ada kontribusi kecepatan awalnya di angkasa.

Ini berbeda dibandingkan sifat meteorit berat (massa 900 ton) yang sulit dihambat
atmosfer Bumi sehingga kecepatan tumbuknya masih 70% dari kecepatan awalnya di angkasa. Menggunakan hubungan dari Alan Hildebrand (Hildebrand, 1997) kecepatan
tumbuk meteorit Duren Sawit diperhitungkan mencapai 102 m/detik atau 367 km/jam. Sama cepatnya dengan kecepatan jelajah pesawat terbang berbaling-baling.

Dengan demikian bisa diperhitungkan energi kinetik akibat tumbukan meteorit Duren Sawit mencapai 0,7 MegaJoule. Atau setara dengan ledakan 200 gram bahan peledak TNT (trinitrotoluena) atau dinamit. Inilah yang membentuk panas dan menaikkan suhu ruang setempat yang kini tersisa jejaknya di plastik dan kertas. Namun, tidak terbakarnya kertas menunjukkan pemanasan akibat tumbukan meteorit tidak melebihi 170 Celcius.

Panas yang ditimbulkan dalam kejadian Duren Sawit sepenuhnya diproduksi dari proses tumbukan itu sendiri. Bukan berasal dari panas sisa pemanasan atmosfer Bumi terhadap meteorit yang bersangkutan. Seperti layaknya meteorit asteroidal meteorit Duren Sawit kemungkinan besar memiliki kecepatan awal 20 km/ detik.

Namun, ketika memasuki atmosfer lapisan-lapisan udara yang kian memadat seiring dengan menurunnya ketinggian membuat kecepatan meteorit terus menurun akibat kian besarnya gaya gesek dengan molekul-molekul udara sehingga terjadilah proses ablasi yang membuat permukaan meteorit berpijar karena panas hasil gesekan. Namun, proses ablasi juga merupakan menghilangkan panas hasil gesekan secara sangat efektif. Sehingga, ketika meteorit mencapai titik tumbuk suhunya hanya sedikit di atas suhu rata-rata permukaan Bumi.

Pola kerusakan di kediaman Bapak Soedarmodjo mengindikasikan meteorit Duren Sawit jatuh menumbuk dengan altitude rendah sehingga menghasilkan kerusakan yang luas. Seandainya meteorit jatuh dari altitude yang tinggi di mana rata-rata meteorit jatuh dari altitude 45 maka kerusakan yang terjadi relatif lebih sempit. Apalagi jika jatuh secara tegak lurus (misalnya dari altitude 90 seperti dalam kejadian Wonotirto Temanggung, Maret 2001) di mana kerusakannya hanya terjadi di sekitar titik tumbuk saja.

Menggunakan hubungan dari Collins dkk (Collins dkk, 2005), meteorit Duren Sawit diindikasikan berasal dari altitude 15. Ini hampir sama dengan altitude meteorit dalam kejadian di al - Hadida, Wabar (Saudi Arabia) pada tahun 1704 sehingga kejadian Duren Sawit diklasifikasikan sebagai tumbukan miring (oblique impact). Dengan azimuth 135 dan diasumsikan proses ablasi dimulai pada ketinggian 50 km dan berhenti pada ketinggian 20 km, maka meteorit Duren Sawit akan nampak sebagai meteor besar (fireball) dengan magnitude (tingkat terang) visual hingga -6 atau seterang Bulan sabit sejak di atas Samudra Hindia di dekat mulut Teluk Pelabuhan Ratu sejauh 187 km dari titik tumbuk. Meteor besar ini selanjutnya melintas di atas daratan dan menghilang saat tiba di propinsi Banten bagian selatan, sejauh 75 km dari titik tumbuk, di mana ia mulai menjalani lintasan gelap (darkflight) selepas ablasi.

Lintasan yang panjang ini sebenarnya tidak aneh. Dalam kejadian Peekskill (1992) misalnya, dengan altitude 3,4, meteorit menempuh lintasan sejauh 700 km menyeberangi langit Amerika Serikat bagian timur sebelum mencapai titik tumbuknya di New York.

Dengan magnitude visual -6, meteor besar ini sebenarnya berpotensi terlihat di siang
hari. Namun, karena trayektorinya menuju ke timur laut atau berdekatan dengan Matahari saat itu, maka magnitude meteor besar Duren Sawit terkalahkan oleh langit,
sehingga penduduk yang berdiam di Banten Selatan dan Depok memiliki kemungkinan yang sangat kecil untuk bisa melihat meteor besar ini. Altitude yang rendah membuat meteor besar tersebut tidak diiringi dengan dentuman sonik (sonic boom) yang menggelegar di atas langit Banten meskipun meteorit melintas dengan kecepatan supersonik.

Altitude yang rendah juga membuat proses ablasi berlangsung sangat efektif sehingga jika pada awal mulanya meteorit Duren Sawit diperhitungkan berdiameter minimal 1,5 meter dengan massa minimal 6,7 ton. Maka ketika menumbuk tinggal berdiameter 40 cm dengan massa 134 kg. Sehingga, paling tidak 98% massa meteorit terlepas di atmosfer Bumi dan terserak di sepanjang lintasannya sebagai debu mikroskopis ketika ablasi terjadi.

Hal ini merupakan kekhasan yang dialami pula oleh meteorit-meteorit kecil pada umumnya. Altitude yang rendah juga membuat meteorit Duren Sawit tidak mengalami fragmentasi (pemecahbelahan) nun jauh di ketinggian atmosfer. Berbeda dengan meteorit-meteorit yang berasal dari altitude lebih tinggi seperti halnya meteorit Bone (Oktober 2009).

Sungguh sayang dalam kejadian Duren Sawit meteor besarnya tidak terlihat manusia sehingga tidak ada saksi mata yang mampu merekamnya saat melintas di langit Jawa Barat. Rekaman video meteor besar sangat membantu dalam menganalisis dinamika dan asal usul meteorit. Namun, dengan berpegang pada data altitude dan azimuth meteorit saja serta koordinat titik tumbuknya sebenarnya kita bisa mengestimasi asal usul meteorit yang bersangkutan, meski secara kasar.

Dengan menggunakan spreadsheet buah karya Marco Langbroek (astronom amatir Belanda) dan dibantu software Planetary Ephemerides buah karya Chapront dan Francou (Observatorium Paris & Institut Mekanika Langit Paris, 1998) untuk altitude, azimuth dan titik tumbuk meteorit Duren Sawit dengan perkiraan kecepatan awal 20 km/detik, maka diketahui bahwa meteorit Duren Sawit semula mengorbit Matahari dalam sebuah orbit ellips dengan eksentrisitas orbit 0,332 dan kemiringan orbit (inklinasi) 52,09 terhadap ekliptika.

Orbit tersebut memiliki perihelion (titik terdekat dengan Matahari) sebesar 0,507 SA atau setara dengan jarak Matahari - Merkurius. Sementara aphelionnya (titik terjauh dengan Matahari) sebesar 1,01 SA atau berada di lingkungan orbit Bumi. Profil orbit demikian jelas menunjukkan bahwa meteorit Duren Sawit berasal dari asteroid dekat Bumi (Near Earth Asteroids).

Meteorit Duren Sawit mengedari Matahari secara prograde dengan periode 0,66 tahun. Orbit meteorit bersinggungan dengan orbit Bumi tepat pada titik menurunnya
(descending point), dan tepat pada 30 April 2010 pukul 16:15 WIB baik Bumi maupun meteorit ini sama-sama berada di titik tersebut sehingga meteorit pun jatuh ke Bumi.

Meteorit memasuki atmosfer Bumi dengan energi awal 0,3 kiloton TNT atau 1,5% dari
energi bom Hiroshima, terhitung kecil dalam astrofisika. Statistik yang dihimpun tim Near Earth Object Science Definition (NEOSD) memperlihatkan meteorit dengan energi awal 0,3 kiloton TNT tersebut jatuh ke Bumi setiap 75 hari sekali. Jumlah meteorit tersebut yang masih bergentayangan di angkasa diperkirakan mencapai 5 milyar buah.

Ma'rufin Sudibyo
Jl Nanas C-4 Jadimulya Gunungjati Cirebon
marufins@yahoo.com
0817727823



(msh/msh)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini
Selengkapnya



Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Ajang penghargaan persembahan detikcom bersama Polri kepada sosok polisi teladan. Baca beragam kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini.
Hide Ads