Our Life is not for Sale

Mencermati Arah Energi Terbaharukan Dunia

Our Life is not for Sale

- detikNews
Sabtu, 01 Mei 2010 17:03 WIB
Jakarta - Tanggal 20-21 April di Hannover Jerman diselenggarakan World Energy Dialogue dengan mengangkat tema: Where Future meets Solutions. Forum tersebut membahas isu teknis-politis-ekonomis dari pengembangan terkini teknologi energi ramah lingkungan dunia. Pada forum ini pula Cina dan beberapa negara Afrika menjadi wakil dari negera berkembang dijadikan sebagai master plan aplikasi teknologi energi terbaharukan dunia saat ini.

Patut diapresiasi bahwa negara maju sepertinya memiliki keseriusan dalam pengembangan teknologi energi ramah lingkungan dalam rangka mengatasi perubahan iklim global. Sesuai Climate Accord hasil pertemuan iklim Kopenhagen negara maju berkewajiban membantu negara berkembang secara finansial untuk beradaptasi terhadap perubahan iklim yang jumlahnya sebesar 10 miliar US Dollar per tahun hingga 2012 dan 100 miliar US Dollar per tahun mulai tahun 2020. Sementara negara maju akan mendapat bantuan dari riset dan pengembangan teknologi efisiensi energi, energi terbaharukan, dan pengolahan air bersih.

Lalu adakah pengaruh uang yang didonasikan dari Kopenhagen terhadap perkembangan energi terbaharukan dunia mulai tahun 2010?

Peluang

Bila ditinjau dari alternatif teknologi energi terbaharukan yang ada maka biomassa dan biofuel semakin memposisikan fungsinya lebih kuat sebagai pengganti bahan bakar konvensional. Faktor penentu penerapan biomassa secara masal adalah perkembangan harga bahan bakar fosil serta potensinya yang dibatasi oleh area pertanian yang digunakan.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Wind energy (energi angin) telah mencapai kematangan teknologi hasil riset 15-20
tahun sehingga harganya akan semakin murah dan menjadi pilihan negara-negara Eropa di masa depan. Bahkan, dengan perkembangan riset yang begitu pesat Jerman dan Swedia berkeyakinan bahwa wind energi akan semakin menjadi pilihan masa depan meski tanpa subsidi dengan berkompetisi langsung dengan batu bara atau bahkan dengan gas atau energi nuklir. Perkembangan terbaru di Jerman adalah aplikasi wind energy di lepas pantai.

Peluang berikutnya adalah berasal dari energi surya (solar cell/ photovoltaic). Indonesia yang terletak di katulistiwa akan menjadi "solar valley" dengan sinar matahari yang berlimpah ruah. Sebagai kompetitor adalah negara-negara Arab yang memiliki infrastrukutur energi yang mapan untuk pengembangan energi surya bersakala jauh lebih besar. Bahkan, berpotensi memproduksi energi surya untuk skala ekspor seperti yang dilakukan oleh Tunisia. Riset terbaru telah beralih dari produk sel surya berbahan silikon menjadi sel surya dengan thin film (lapisan tipis).

Potensi energi terbaharukan di Indonesia yang merupakan terbesar di dunia adalah potensi yang berasal dari geothermal (panas bumi). Dengan potensi yang ada akan ada peluang bagi Indonesia guna menjadi pusat penelitian dunia dalam bentuk kolaborasi riset atau pendirian program studi international yang dananya berasal dari negara maju seperti Jerman.

Sudah selayaknya World Geothermal Congress (Kongres International Panas Bumi) di Bali 25-30 April 2010 adalah momentum yang tepat untuk membangkitkan gairah putra-putri terbaik Indonesia untuk mengunggulkan bidang teknologi energi terbaharukan lainnya yang juga dimiliki oleh Indonesia. Seperti energi microhydro dan energi gelombang.

Bila kesadaran untuk memimpin teknologi sudah timbul maka rakyat tinggal menunggu langkah akomodatif dari pemerintah agar membuat kebijakan yang kondusif bagi aplikasi pengembangan teknologi energi terbarukan. Sejarah panjang kemajuan pengembangan energi terbaharukan di negara maju tidak terlepas dari sumber pendanaan yang kuat dan perangkat peraturan pemerintah yang mendukung.

Sebagai contoh kemajuan riset dan penerapan skala nyata dan industri di Jerman didukung oleh EEG (Erneubare-Energie-Gesetz/ peraturan perundangan energi terbaharukan) yang mengatur pembelian dan kompensasi energi yang berasal dari sumber daya alam terbaharukan. Tanpa EEG tak akan pernah ada pengembangan multimegawatt energi dari offshore wind energy di Jerman hingga kini.

Waspadai Eksibionis
Disadari atau tidak pengembangan teknologi dan perubahan iklim memiliki relevansi penting bagi negara maju. Hal ini tidak terlepas dari "berkah" Kopenhagen. Karena, negara maju akan mendapat aliran dana riset dan pengembangan energi terbarukan agar mencegah dampak negatif pemanasan global.

Tetapi, yang patut dicermati berikutnya adalah adanya nuclear renaissance (bangkitnya kembali energi nuklir/ PLTN) yang dimulai tahun 2008 di Swedia dengan persetujuan parlemen negara tersebut. Swedia mencanangkan tahun 2020 semua kebutuhan listrik rumah tangga dan industri mereka diperoleh dari nuklir dan energi angin.

Spirit Swedia kemudian diikuti hampir semua negara Eropa yang mempertimbangkan memfungsikan kembali PLTN mereka yang telah lama tidak beroperasi. Hanya Belgia yang masih belum bereaksi karena masih tingginya pertentangan gerakan anti-nuklir negara tersebut.

Negara-negara Eropa Timur juga berencana mengoptimalkan kembali PLTN mereka guna secepat mungkin lepas dari ketergantungan minyak dan gas dari Rusia. Bahkan, Cina dan Amerika juga siap membangun puluhan PLTN mereka (Spiegel, 7/9/2009).

Mengacu James Kanter (Herald Tribun, 5/2/2009), kebangkitan energi nuklir ini didasari dua alasan. Pertama, global warming adalah isu mendesak sehingga target terbebas dari pembangkit listrik berbahan bakar batubara yang menghasilkan emisi
karbon sangat tinggi harus menjadi prioritas. Bila dibandingkan, total emisi seluruh siklus pembangkit energi nuklir sebanyak 30 gr CO2/kWH listrik (emisi reaktor nuklir
sendiri adalah nol) sangat jauh lebih kecil dibanding total emisi pembangkit energi batu bara sebesar 1150 gr CO2/kWh listrik.

Kedua, mengacu pada realita, energi nuklir adalah teknologi yang sudah matang dibandingkan teknologi energi terbaharukan lain sehingga lebih diminati karena harganya jauh lebih murah dengan hasil dan keuntungan yang sangat berlimpah. Sebagai perbandingan selain problem supply dan kematangan teknologi energi berbasis biodiesel dan bioenergy belaka tidaklah cukup memenuhi kebutuhan energi negara maju seiring peningkatan produksi industri-industri mereka. Sementara harga teknologi ramah lingkungan yang lebih mahal berpotensi meningkatkan biaya dan menjadikan produk lebih mahal dan tidak kompetitif.

Bila akhirnya energi nuklir bangkit sementara dampak keselamatan dan masalah limbah nuklir masih belum terpecahkan maka akan timbul kecurigaan negara berkembang bahwa negara maju sedang memainkan karakter eksibionis.

Penganut eksibisionis adalah mereka yang mendahulukan "efek show" ketimbang target mulia penyelamatan iklim bumi. Maknanya, pengembangan teknologi di negara maju seperti mobil listrik, energi angin, sel surya, dan hidrogen adalah patut dicurigai karena motif show dan pertimbangan citra ekonomis-politis ketimbang menyelamatkan bumi kita.

Pada akhirnya menarik untuk direnungkan pernyataan Ian Fry wakil dari negara Tuvalu, salah satu negara kepulauan yang terancam tenggelam karena kenaikan permukaan laut, di Kopenhagen Desember 2009. Peryataan Ian Fry hakikatnya mengkritisi "rayuan" negara maju berupa bantuan keuangan bagi Tuvalu untuk adaptasi perubahan iklim hingga 2012. Ian Fry mengatakan singkat: "our life is not for sale".

Dr Ing Suhendra,
Pritzwalkerstrasse 12 Berlin
suhendra1711@yahoo.com
+4917623886862

Penulis adalah peneliti di lembaga nasional Jerman di Berlin dan Koordinator Cluster Energy Ikatan Ilmuwan Indonesia International (I-4). Tulisan adalah pendapat pribadi.




(msh/msh)



Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Hide Ads