Kebesaran Indonesia juga dapat dilihat dari fisik geografisnya. Wilayahnya yang membentang panjang dari Sabang Sampai Merauke memiliki 17.504 pulau [sampai 2004]. Tetapi, belum seluruhnya diverifikasi dan diberi nama berdasarkan definisi pulau. Hutan terluas di dunia [121 juta hektar] dan terkaya ketiga setelah Brasil dan Konggo dalam mega biodiversity.
Luas perairan Nusantara + 28 juta km. Luas laut teritorial + 03 juta km. Luas perairan ZEE + 27 km. Serta memiliki SDA terlengkap di dunia. Jumlah penghuninya mencapai 220 jutaan yang menurut perhitungan nanti pada tahun 2015 diperkirakan mencapai 250 juta jiwa dan 2050 bisa mencapai 290 juta.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Tengok saja faktanya bahwa tidak semua warga negara-bangsa Indonesia bisa mengakses sumber daya alam secara mudah dan murah. Munculnya kelangkaan serta tiadanya jaminan ketersediaan pasokan minyak dan gas di negeri sendiri merupakan kenyataan paradoks dari sebuah negeri yang kaya akan sumber daya alam.
Di tengah kelangkaan energi di dalam negeri pemerintah justru mengekplorasi sumber-sumber energi dan mengeksploitasinya serta menjual hasil SDA secara murah demi memenuhi kepentingan pihak-pihak asing. Ini jelas sangat merugikan secara ekonomis yang pada gilirannya berdampak pada menurunnya tingkat kesejahteraan rakyat dan kemandirian ekonomi bangsa.
Di sisi lain Indonesia juga masih mengalami persoalan mendasar, yakni merosotnya nilai-nilai kebangsaan, nasionalisme, dan semangat pluralitas sebagai bangsa yang multikultural. Masih saja ada upaya pengingkaran terhadap pluralitas bangsa Indonesia yang setiap saat dapat saja muncul ke permukaan.
Sebagai bangsa yang multi etnis, ras, suku, budaya, bahasa, dan agama secara jujur kita masih belum bisa menghilangkan atau paling tidak meminimalkan apa yang disebut dengan barrier of psikology [batas psikologis/prasangka] terhadap sesama anak bangsa. Itulah yang kerap memunculkan konflik bernuansa SARA di negeri ini. Baik secara vertikal maupun horizontal.
Sebagai sebuah bangsa besar yang majemuk dan telah berdiri lebih dari 60 tahun lalu kita seperti kehilangan nalar publik untuk hidup bersama atas dasar semangat kesatuan dan persatuan nasional. Bangsa ini seperti telah mengingkari semangat cita-cita bersama didirikannya "Indonesia Merdeka".Β
Pancasila sebagai nalar publik dianggap oleh sebagian kalangan sudah tidak relevan lagi terhadap semangat zaman. Bagi para penganut ekonomi fundamentalisme pasar
[orang sering menyebutnya ekonomi neoliberal], Pancasila, UUD 45, dan cita-cita proklamasi, justru dianggap sebagai penghambat laju ekonomi yang bersandar pada kapitalisme. Oleh karenanya perlu disingkirkan dan digantikan dengan paham ekonomi yang mendasarkan dan menyandarkan diri pada semangat pasar bebas tanpa intervensi negara.
Padahal ekonomi yang mendasarkan pada konsep fundamentalisme pasar terbukti telah menyengsarakan rakyat dan sedikit sekali memberikan kontribusi terhadap pertumbuhan ekonomi nasional secara keseluruhan. Baik makro maupun mikro.
Menjadi pertanyaan adalah mengapa Pancasila dianggap sudah tidak relevan lagi dengan semangat zaman.Β Jawabnya mungkin bisa dijawab dengan kalimat negatif. Yaitu, karena makna Pancasila yang paling mendasar dan sangat penting sebagai nalar publik sudah semakin sulit dikenali.
Orang melihat banyak ajaran yang baik dan luhur dari Pancasila. Tetapi, semua itu seolah tidak ada hubungannya dengan realitas kehidupan sehari-hari. Di masa Orde Baru, yang berkuasa selama 32 tahun, telah dilakukan usaha untuk menempa identitas ideologis yang secara historis otentik sekaligus berbeda dengan identitas ideologis regim Soekarno. Yaitu, dengan cara mengklaim kembali dan membentuk ulang Pancasila. Negara [Orde Baru] menjadi maha tahu apa yang baik dan apa yang buruk buat masyarakat.
Semua warga negara-bangsa Indonesia mengalami indoktrinasi melalui penerapan P4 [Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila], yakni "pemasyarakatan Pancasila" demi menjaga dan mengamalkan Pancasila secara murni dan konsekuen. Atas perlakuan semacam itu, Pancasila mau tidak mau senantiasa berbenturan dengan nilai-nila, norma, adat-istiadat, aliran kepercayaan, agama, maupun ideologi yang hidup di tengah masyarakat. Benturan tersebut tidak hanya terjadi di level ide. Bahkan, melebar menjadi gesekan sosial politik yang tak jarang berujung pada pertumpahan darah.
Namun, pasca runtuhnya Orde Baru, muncul pobia terhadap Pancasila. Dasar negara itu seolah ikut tumbang dan sirna tanpa bekas. Membincangkan Pancasila menjadi sesuatu yang menjemukan dan memuakkan, karena hampir selalu identik dengan regim Orde Baru. Trauma itu sampai sekarang belum lenyap. Ketika reformasi bergulir, diskursus ideologi merosot cukup dalam. Masalah itu seolah tidak relevan untuk dibicarakan.
Masalahnya boleh jadi karena kita "capek" dengan ideologisasi Pancasila semasa Orde Baru yang praktis dimonopoli negara. Lantas, buat apa memperbincangkan Pancasila jika yang ada saat ini hanya satu kekuatan, yakni "ideologi Barat", neoliberalisme dan neokapitalisme. Buat apa membicarakan bangsa dan negara jika tidak pernah memberikan dan mewujudkan kemakmuran rakyat?
Namun, diskursus tentang Pancasila, bangsa, negara, maupun nasionalisme tidak dapat diabaikan begitu saja. Ketika bangsa ini tertatih-tatih dalam proses demokratisasi, konflik, dan kekerasan yang muncul sewaktu-waktu, restorasi Indonesia dari krisis yang tak kunjung menemui titik cerah, sulit [limbo] merumuskan masa depan dan setumpuk masalah lainnya.
Kita harus menengok kembali pentingnya semangat Pancasila sebagai nalar publik, paham kebangsaan yang kuat, dan semangat nasionalisme yang kokoh dan rasa keindonesiaan yang mendalam. Sebagai bangsa besar, jangan sampai Indonesia tidak memiliki mimpi [imajinasi] dan jalan untuk mencapainya. Memang dalam Pancasila dan UUD 45 sudah termaktub cita-cita besar tersebut.
Tetapi, dalam konteks yang lebih mudah dipahami serta bagaimana cara mencapainya, belum secara jelas dituliskan. Oleh karena itu, perlu upaya-upaya menajamkan kembali cita-cita proklamasi, Pancasila, dan UUD 45 menjadi riil dengan jalan yang lebih taktis dan strategis.
Atas beberapa alasan di atas itulah pentingnya upaya mendialogkan kembali diskursus tentang paham nasionalisme, Pancasila, kebangsaan, dan keindonesiaan. Sudah selayaknya bangsa yang besar ini melakukan refleksi nasional sebagai wujud syukur atas anugerah yang diberikan Tuhan yang maha esa, dan sebagai langkah koreksi untuk melangkah "ke depan gerbang kemerdekaan sejati".
Dengan menguatkan nilai-nilai kerakyatan secara luas agar partisipasi dan kemanusiaan dapat dirayakan dengan sedikit harapan. Agar semangat keindonesiaan kita tetap terjaga. Agar tidak paria di negara merdeka tetapi juga tidak phobia terhadap negara dan kapitalisme. Ayo, inilah saatnya.
Abdul Ghopur
Jl Keramat Raya 164 Jakarta Pusat
ghopur_fksp@yahoo.com
081314214341
Penulis adalah Ilmuwan Muda NU dan Aktivis GMPI [Gerakan Mahasiswa Pemuda Indonesia] Jakarta.
(msh/msh)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini