Kemelut Dampak Sistemik Globalisasi Pada Indonesia

Kemelut Dampak Sistemik Globalisasi Pada Indonesia

- detikNews
Jumat, 22 Jan 2010 09:26 WIB
Jakarta - Hernando de Soto seorang pemikir ekonomi dunia asal Peru pernah menegaskan bahwa sejak proses globalisasi mulai berlangsung kondisi kehidupan di hampir semua negara terkesan meningkat. Apalagi jika diukur dengan indikator-indikator lebih luas.

Namun, sering kali pula peningkatan itu hanya ada dalam hitung-hitungan di atas kertas. Negara-negara maju dan kuat memang bisa meraih keuntungan. Tapi, tidak negara-negara berkembang dan miskin.

Pengalaman sudah membuktikan sejak proses globalisasi bergulir muncul pula isu-isu seperti perdagangan global yang tidak fair. Juga sistem keuangan global yang labil yang menelorkan krisis.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Dalam kondisi tersebut negara-negara berkembang dan miskin berulang kali terjebak jeratan utang yang justru jadi beban. Belum lagi bermunculan rezim hak properti intelektual yang malah menghabisi akses masyarakat miskin untuk mendapat obat-obatan dengan harga terjangkau.

Dalam proses globalisasi seharusnya uang mengalir dari negara kaya ke negara miskin. Tapi, dalam beberapa tahun terakhir yang terjadi justru sebaliknya. Sementara negara-negara kaya memiliki kemampuan untuk menahan risiko fluktuasi kurs dan suku bunga negara-negara berkembang dan miskin menanggung beban fluktuasi tadi.

Mari berkaca pada isu perjanjian AFTA yang kini menjadi dampak sistemik globalisasi pada sektor ekonomi Indonesia. Sebenarnya AFTA merupakan peluang bagi negara ASEAN untuk berkompetisi secara fair memasarkan produk hasil negerinya. Namun, dengan kehadiran Cina yang turut meramaikan perjanjian ini menjadikan semua negara di ASEAN menjadi was-was. Termasuk negara Indonesia.

Dengan kemampuan Cina menghasilkan produk yang sangat murah ekonom Indonesia benar-benar khawatir kalau produk dalam negeri tidak mampu bersaing dengan negara itu. Hal ini diperkuat lagi dengan adanya fakta banyak industri pengrajin Indonesia yang bangkrut akibat tidak mampu bersaing dengan produk Cina. Padahal itu terjadi jauh sebelum AFTA diberlakukan.

Mari beralih pada sektor kehidupan yang lain. Jika tadi Hernando lebih berfokus dampak sistemik globalisasi sektor fiskal maka Marshall Mc Luhan seorang penulis buku Understanding Media lebih berfokus pada dampak sistemik globalisasi pada sektor budaya. Dia mengatakan bahwa kini semakin nyata saja imbas teknologi komunikasi pada berbagai sektor kehidupan.

Media massa global seperti CNN, MTV, CNBC, HBO, BBC, ESPN, dan lain-lain telah menjangkau dan menembus yuridiksi berbagai negara. Setidaknya informasi itu sering dimaknai di dalamnya mengandung kebudayaan. Maka terjadilah penyebaran budaya global. Media massa berperan sebagai kekuatan trend setter untuk isu-isu global. Baik persoalan politik seperti HAM, lingkungan hidup, maupun terorisme internasional, hingga ke persoalan budaya dan gaya hidup.

Dampak sistemik ini telah kini telah sampai di Indonesia. Ada dampak positif dan ada dampak negatif. Dampak positifnya adalah semakin mudahnya kita mengakses berita internasional dalam real-time saat informasi itu baru didapatkan. Namun, di sisi lain, dampak negatif pun tak dapat dielakkan juga.

Tampaknya telah terjadi pergeseran nilai-nilai norma kesopanan yang dahulu kita pegang teguh sebagai identitas negara kita. Saat ini banyak beredar film Indonesia berkedok komedi atau horor. Namun, sebenarnya lebih banyak menonjolkan adegan vulgar yang mengikuti budaya hidup orang barat. Sebenarnya masih banyak lagi dampak sistemik globalisasi yang mempengaruhi sendi-sendi kehidupan bernegara kita.

Namun, yang terpenting adalah bukanlah mendaftar efek sistemik apa saja yang telah didapatkan Indonesia. Terpenting adalah kini sudah saatnya rakyat dan pemerintah Indonesia sadar bahwa saat ini bukanlah lagi waktu untuk bersantai-santai dan memperlambat gerak pembangunan. Kalau ini terus dibiarkan maka negara kita akan tergilas oleh dampak sistemik itu.

Dengan adanya arus globalisasi dunia ini Indonesia dihadapkan pada hanya dua pilihan saja: memilih hal ini sebagai sebuah peluang atau sebagai sebuah hambatan. Peluang berarti setiap orang mempunyai kesempatan yang sama untuk memanfaatkan situasi ini dalam menghidupi kehidupannya dengan baik. Sedangkan tantangan berarti setiap orang diberi kesempatan untuk berkompetisi dan menunjukkan kemampuannya.

Sudah saatnya Indonesia melakukan akselerasi pembangunan di segala sektor menghadapi tantangan era globalisasi yang sudah hadir di depan mata. Proses globalisasi ini membuat dunia menjadi kian sempit. Persis seperti yang dikatakan Thomas L Friedman di dalam bukunya yang berjudul The World is Flat. Jadi janganlah heran. Jika kita dapat menemukan dengan mudah berbagai produk luar negeri yang beredar di seantero negeri kita.

Di samping itu globalisasi pun telah membuat seakan negara satu dan lainnya kehilangan batas-batas jelas teritorialnya serta berujung pada hilangnya status "negara–bangsa" yang sama persis seperti ramalan Profesor Kenichi Ohmae di dalam bukunya yang berjudul The End of Nation State.

Profesor Kenichi Ohmae telah mewanti-wanti sejak lama kepada semua negara yang ada di dunia bahwa ada empat "I" yang akan membawa dampak sistemik globalisasi ini. Keempat "I" tersebut adalah Industri, Investasi, Individualisme, dan Informasi. Jadi sudah seharusnya Indonesia mulai berancang-ancang terhadap empat "I" ini.

Sudahkan industri kreatif Indonesia dikembangkan secara optimal? Sudahkah penanaman investasi di berbagai sektor Indonesia telah dimaksimalkan? Sudahkah ada penanggulangan efek individualisme sebagai efek kesenjangan si kaya dan si miskin di Indonesia dilakukan? Dan, sudahkah sektor informasi dimaksimalkan hingga sampai di pelosok desa terpencil Indonesia?

Pertanyaan-pertanyaan ini bukan milik pemerintah saja. Tapi, milik semua bangsa Indonesia. Mari kita saling bahu-membahu untuk menciptakan sebuah peluang di era globalisasi ini.

Ryan Alfian Noor
Penulis adalah Mahasiswa Teknik Perminyakan Institut Teknologi Bandung
http://ryanalfiannoor.wordpress.com




(msh/msh)



Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Hide Ads