Pertama, yakni change and continuity (perubahan dan kesinambungan). Arahan tersebut dapat diartikan bahwa perubahan menuju hal yang lebih baik dengan disertai kesinambungan atas hal positif yang sudah dicapai merupakan komitmen bersama.
Selanjutnya, adalah de-bottleneck, accelaration and enhancement (penguraian hambatan, percepatan dan peningkatan) kinerja yang berorientasi pada tujuan. Dalam akhir arahannya Presiden menegaskan melalui unity, together we can (bersatu, bersama kita bisa) keberhasilan KIB II dapat tercapai.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Kepentingan vs Komitmen
Periode pemerintahan Presiden SBY seakan sangat identik dengan dinamika pemberantasan korupsi. Namun, acap kali proses pelaksanaannya menuai berbagai kotroversi.
Seolah-olah tanggung jawab dan komitmen pemerintah kepada rakyat hanya sebatas pemberantasan korupsi. Berbagai kasus korupsi, mulai dari penangkapan Jaksa Urip Tri Gunawan dan Ayin, kasus pembunuhan Nasrudin Zulkarnaen yang diduga melibatkan mantan Ketua KPK Antasari Azhar, kriminalisasi KPK, kasus Bibit-Chandra Hamzah, kasus Anggodo, pemberhentian Susno Duadji dan yang sangat menyita perhatian kita, kasus Bank Century.
Dalam perkembangannya, penuntasan kasus Bank Century oleh Pansus Hak Angket DPR RI semakin menuai kontroversi. Dengan munculnya perbedaan penafsiran antara Jusuf Kalla, Boediono, dan Sri Mulyani terkait legitimasi pengucuran dana talangan kepada Bank Century.
Hal yang menarik perhatian bukan hanya datang dari kontroversi perbedaan penafsiran tersebut. Namun, dari perilaku, manuver, dan wacana yang dilontarkan para anggota Pansus beserta pendukungnya. Realitas ini semakin menguatkan dugaan bahwa penuntasan kasus Bank Century sangatlah sarat kepentingan daripada komitmen terhadap penuntasan kasus itu sendiri.
Secara substantial publik sebenarnya sudah tercerahkan dengan temuan-temuan yang justru muncul di luar Pansus Hak Angket. Seperti pernyataan Budi Sampoerna bahwa kasus Bank Century merupakan buah intrik kejahatan dari pemilik Bank Century, Robert Tantular.
Pernyataan Budi Sampoerna tersebut diperkuat oleh pernyataan dari dua buronan Bank Century yang sekarang tinggal di Londonย Inggris, yaitu Hesham Al Warraq, mantan Komisaris Utama Bank Century, dan Rafat Ali yang merupakan salah satu pemilik Bank Century. Kedua orang tersebut bertanggung jawab atas penyimpanan aset-aset jaminan surat berharga Century di luar negeri.
Dalam pernyataanya, Hesham dan Rafat menyatakan siap menemui anggota Pansus Hak Angket di London. Dengan harapan agar rakyat Indonesia membuka mata lebar-lebar atas kejahatan Robert Tantular dan keluarganya. Menurut mereka, Robert Tantular adalah aktor kriminal yang sesungguhnya di balik penipuan, kebohongan, dan pemalsuan kasus Bank Century.
Atas temuan menarik itulah, masyarakat sebenarnya mengharapkan agar Pansus Hak Angket lebih memfokuskan diri pada aktor-aktor kriminal di Bank Century daripada memanfaatkan setiap temuan sebagai bargaining power untuk mencapai tujuan tujuan politik kekuasaan.
Ada indikasi bahwa setiap kemunculan wacana seolah dimanfaatkan untuk mendorong pemerintah mengikuti kemauan Pansus Hak Angket, dengan alasan untuk lebih memperjelas dan mempercepat penyelesaian Kasus Bank Century.
Sebagai contoh, munculnya wacana untuk menghadirkan Presiden SBY dan mantan Presiden Megawati Soekarnoputri untuk dimintai klarifikasi. Kemunculan wacana tersebut semakin mengaburkan realitas dan mengesampingkan harapan rakyat, karena hanya akan membuat penyelesaian kasus tersebut semakin meluas dan tidak terfokus.
Kinerja yang Terabaikan
Realitas politik yang berkembang akhir-akhir ini sangatlah dilematis. Di satu sisi masih banyak temuan Pansus yang belum diklarifikasi sudah muncul wacana lainnya yang sangat jelas muatan pragmatisnya. Salah satunya adalah wacana penggantian Menteri Keuangan Sri Mulyani karena dianggap dianggap lalai berkonsultasi kepada Presiden SBY terkait rencana bailout Bank Century.
Wacana penggantian ini seakan mengingatkan kita pada reshuffle-reshuffle yang terjadi pada Kabinet Indonesia Bersatu Jilid I. Saat itu penggantian posisi-posisi strategis di kabinet juga dilatarbelakangi gesekan-gesekan antar kepentingan. Namun, yang masih menjadi pertanyaan sampai saat ini apakah terjadinya reshuffle merupakan sebuah kondisi "alamiah" ataukah sesuatu yang terkondisikan.
Terlepas dari bersalah atau tidaknya seorang Sri Mulyani realitas politik saat ini memang berlaku demikian. Hukum supply dan demand sepertinya berlaku juga di dunia politik. Bedanya, supply terlebih dahulu ditentukan baru kemudian demand. Sedangkan dalam ekonomi supply sangat dipengaruhi oleh demand.
Sangat ironis memang jika wacana reshuffle justru muncul sebelum masa 100 hari pemerintahan SBY-Boediono benar-benar berakhir dan dipertanggungjawabkan. Kinerja 100 hari itu sendiri justru kurang terdengar. Tertelan masalah-masalah kontroversi pemberantasan korupsi yang telah menjadi fokus perhatian masyarakat selama ini.
Dengan kata lain akhirnya pemerintah seakan harus kembali tersandera dengan realitas-realitas politik yang diwacanakan. Pertanyaannya, apakah realitas seperti ini yang diharapkan rakyat? Apakah telah terjadi perubahan fundamental dalam kehidupan politik bangsa? Apakah perubahan ke arah yang lebih baik masih menjadi tujuan?
Seorang negarawan yang juga mantan Presiden AS JF Kennedy dalam sebuah pidato legendarisnya pernah mengatakan, "change is the law of life. And those who look only to the past or the present are certain to miss the future" (perubahan adalah hukum kehidupan, bagi siapa saja yang melihat hanya ke masa lalu dan saat ini, dipastikan akan kehilangan masa depan).
Salam,
Reza Budiman
Arcimides Insight Consulting
reza.budiman@gmail.com
(msh/msh)