Globalisasi juga telah memberi warna dan erat hubungannya dengan ilmu-ilmu sosial. Seperti masyarakat, golongan, dan budaya. Produk yang ditawarkan adalah konsep global masyarakat Barat kepada dunia Timur. Khususnya negara-negara berkembang.
Fenomena tersebut tidak hanya berkutat dalam urusan politik, ekonomi, agama, atau teknologi. Namun, juga mencakup ranah kehidupan masyarakat yang lebih luas, yaitu sosial dan budaya.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Globalisasi dan Perubahan Sosial Budaya
Dengan tumbangnya Uni Soviet dan Komunisme oleh "kekuatan baru" Kapitalisme maka Uni Soviet terbagi menjadi beberapa bagian negara-negara baru. Sedangkan negara-negara lain di belahan Timur baru saja berangsur bangkit dari jerat kolonialisme sehingga mereka masih mengejar keterbelakangan dalam membangun sistem sosial, perekonomian, dan politiknya. Dari sinilah globalisasi mulai diperkenalkan.
Ia juga berperan penting dalam mengusung paham Kapitalisme ke negara-negara berkembang yang masih mencari jati dirinya. Fenomena tersebut merupakan indikasi atas upaya Barat dalam mengokohkan tancapan hegemoninya terhadap bangsa timur.
Ada pun maksud sesungguhnya adalah supremasi Amerika atas dunia. Hal serupa juga diungkapkan oleh Roger Gharoudy, Orientalis Prancis, yang kemudian memeluk Islam dan dikenal sebagai filosof Muslim Perancis.
Dilihat dari sudut pandang etimologi, 'globalisasi' merupakan sebuah sistem organisasi atau bisnis yang beroperasi dalam skala global. Istilah tersebut telah diperkenalkan untuk pertama kalinya pada era 60-an yang sebagian besar digunakan dalam konteks Ekonomi.
Pada bidang Ekonomi dan Manajemen Sastra, adalah Levitt (1983) yang mengenalkan istilah globalisasi yang tertuang dalam bukunya, Globalization of Markets. Di bidang Sosiologi, ada Roland Robertson yang mengenalkan istilah ini pada tahun 80-an, dan pada studi Media dan Budaya, Marshall McLuhan telah memakai istilah 'global village' dalam bukunya Understanding Media di tahun 60-an.
Kemudian beranjak ke tahun 1990-an. Penggunaan istilah tersebut sangat pesat dan telah menjelma menjadi kosa kata harian. Tidak hanya diucapkan oleh para akademis dan pebisnis. Namun, juga telah menyapa media serta sudut kehidupan masyarakat luas.
Secara terminologi 'globalisasi' merupakan proses interaksi yang intensif antara individu dan proses integrasi pasar global, yang hasilnya bukanlah suatu kebetulan, tapi telah dikemudikan oleh perubahan-perubahan Politik, Ekonomi, dan Teknologi tertentu yang menghapus adanya batas-batas antar negara.
Menurut Sakiko Fukuda-Parr dalam artikelnya yang berjudul New Threats to human security in the era of globalization, proses globalisasi tidaklah baru, tapi telah muncul sejak tahun 1990-an sebagai hasil dari eksistensi tiga kekuatan baru yang menjadi motif dan stimulusnya, yaitu: Liberalisasi Ekonomi, Liberalisasi Politik, Teknologi Informasi, dan Komunikasi.
Definisi lain yang ditulis oleh Dr Khalid Abdul Halim As-Suyuti dalam artikelnya 'Al-Hiwaar Baina al Diyanaat al-Tsalas fi 'Asri al- 'Aulamah', bahwa globalisasi merupakan kebebasan dalam menuangkan komoditas, kapitalisme, dan berfikir liberal dalam segala aspek kehidupan universal tanpa adanya batas dan ikatan.
Akan tetapi banyaknya kontroversi di dalamnya telah memperkuat bahwa globalisasi tidak lebih dari suatu bentuk 'hegemoni'. Sebuah sistem melakukan pemaksaan terhadap yang lain melalui cara yang halus --yaitu suatu proses bagaimana kesadaran manusia dikuasai.
Dengan kata lain, dapat disimpulkan --dari beberapa definisi di atas, bahwa 'globalisasi' adalah sebuah proses tatanan masyarakat universal yang tidak mengenal batas wilayah. Suatu tatanan tertentu muncul kemudian ditawarkan kepada masyarakat dari negara-negara lain 'yang disadari atau tidak' telah menjadi panutan dan kiblat bagi bangsa-bangsa di penjuru dunia.
Banyaknya definisi 'globalisasi' menandakan kesimpangsiuran pengertian dan proses yang rumit sehingga belum ada barometer yang baku dalam memaknai istilah tersebut. Di samping banyaknya isme-isme yang memiliki kesamaan maksud dengan globalisasi, seperti Westernisasi, Modernisasi, Liberalisasi, Internasionalisasi, dan lain-lain. Akan tetapi secara garis besar dapat disimpulkan bahwa paham-paham tersebut merupakan bagian dari proses globalisasi. Karena, semua paham di atas saling berkaitan satu dengan lainnya.
Kehadiran globalisasi telah membawa beberapa pengaruh. Baik positif maupun negatif dalam setiap aspek kehidupan manusia. Seperti Politik, Ekonomi, Ideologi, dan Sosial Budaya. Adanya pengaruh-pengaruh yang terjadi pada Politik dan Ekonomi berimbas pula terhadap Sosial Budaya negara-negara pengusung globalisasi.
Proses tersebut biasa dikenal dengan 'global pop culture' yaitu budaya tren dalam suatu wilayah atau region yang kemudian dipopulerkan hingga ke taraf dunia atau ruang lingkup global.
'Budaya' dalam bahasa Inggris disebut Culture, yang artinya adalah: "setiap seni dan manifestasi-manifestasi atas kemampuan intelektual manusia secara kolektif. Termasuk didalamnya adat istiadat, ideologi, dan tindak-tanduk sosial dari sekelompok masyarakat tertentu".
Sedikit berbeda dengan definisi yang ditulis oleh TS Eliot di pendahuluan bukunya 'Notes towards the Definition of Culture', mengenai keterkaitan budaya dan agama, ia mengatakan bahwa Budaya akan muncul sebagai produk dari Agama atau Agama adalah produk dari suatu budaya.
Menurutnya, syarat-syarat munculnya Budaya adalah sebagai berikut: yang pertama yaitu 'organik' (tidak direncanakan tetapi tumbuh secara berkesinambungan) dan kemudian melahirkan sebuah tatanan yang dikenal dengan 'Strata Sosial'.
Kedua, yaitu sangat penting bagi suatu budaya untuk dapat diselidiki atau dipelajari, memiliki letak geografis tertentu dan memungkinkan terbagi ke dalam budaya-budaya lokal. Masalah yang akan muncul kemudian adalah problem 'Regionalisme'.
Ketiga, yaitu keseimbangan kesatuan dan perbedaan dalam Agama. Hal tersebut merupakan universalitas doktrin dengan ritual dan kebaktian keagamaan tertentu. Sedangkan Budaya dalam Bahasa Indonesia berasal dari Bahasa Sansekerta yaitu Buddhayah, bentuk plural dari kata Buddhi (budi atau akal) yang maksudnya adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan budi dan akal manusia.
Menurut Selo Soemardjan dan Soelaiman Soemardi kebudayan merupakan sarana hasil karya, rasa, dan cipta suatu masyarakat. Dapat kita simpulkan bahwa budaya itu bersifat abstrak karena ia adalah sistem pengetahuan yang di dalamnya terdapat ide dan gagasan-gagasan pikiran manusia.
Akan tetapi bentuk perwujudannya adalah berupa "benda-benda" yang diciptakan oleh manusia sebagai makhluk berbudaya. Seperti etika masyarakat dan hasil karya (artefak) yang berbentuk materi dan nyata.
Perihal perubahan dan perkembangan sosial budaya hal itu sangat mungkin terjadi apabila kebudayaan dalam masyarakat tertentu melakukan kontak dengan kebudayaan asing. Seperti halnya yang terjadi pada sejarah peradaban manusia semenjak peradaban Mesir kuno yang diakui sebagai peradaban tertua di muka bumi ini. Bahwa ia mempunyai pengaruh kuat terhadap peradaban-peradaban belahan lain di dunia seperti Babilonia, Persia, India, Cina, dan Yunani (Barat).
Pengaruh itu terjadi karena adanya gesekan-gesekan peradaban dan budaya antara masyarakat yang berbeda sehingga secara berangsur-angsur akan menghasilkan perubahan dan perkembangan pada komunitas tersebut. Sedangkan perubahan sosial merupaka sebuah gejala berubahnya struktur sosial dalam masyarakat yang terjadi sesuai dengan hakikat dan sifat manusia itu sendiri yang ingin selalu berubah. Menurut Hirschman, kebosanan manusia sebenarnya merupakan penyebab dari perubahan itu sendiri.
Ilmuwan modern juga berbeda pendapat tentang isu-isu perubahan sosial. ada kelompok yang mengacu kepada informasi perubahan sosial dengan memadukan aspek penting terhadap kehidupan sosial. Bahwa setiap masyarakat dan budaya akan melakukan perubahan secara terus menerus, cepat, atau lambat.
Kelompok ini dipimpin oleh Welbert Mure, yang mengatakan persamaan fenomena perubahan, universalitas, dan komunisme. Kelompok lainnya adalah kelompok yang menitikberatkan pada interpretasi perubahan sosial, dimana muncul ilmuwan-ilmuwan sosial yang "diskriminatif" dalam melihat perubahan sosial dan perubahan peradaban atau kebudayaan, mereka mengatakan bahwa perubahan sosial merupakan hal yang utama karena ia merupakan perubahan yang membangun masyarakat bersosial.
Ada pun faktor-faktor yang mempengaruhi perubahan sosial adalah: tekanan kerja dalam masyarakat, efektifitas komunikasi, dan perubahan lingkungan (alam). Begitu juga perubahan budaya dapat timbul dengan adanya perubahan lingkung an masyarakat, penemuan baru, dan interaksi dengan kebudayaan lain.
Namun, faktor-faktor tersebut tampak sedikit 'memaksa' dan sempit, dikarenakan banyaknya faktor lain yang memungkinkan terjadinya perubahan sosial dan budaya, seperti ideologi, kepentingan Agama, individu, politik, dan lain-lain.
Pengaruh Globalisasi Terhadap Sosial Budaya
Arus globalisasi begitu cepat masuk ke masyarakat luas. Tepatnya pada negara-negara berkembang. Karena beberapa faktor yang mempermudah jalannya proses tersebut. Di antaranya adalah teknologi dan media informasi yang berkembang pesat hampir di seluruh lapisan masyarakat sehingga segala informasi dengan berbagai bentuk dan kepentingan dapat tersebar luas. Ruang makin dipersempit dan waktu makin dipersingkat dalam interaksi dan komunikasi skala dunia.
Bentuk yang ditawarkan dan disuguhkan oleh globalisasipun bermacam-macam. Mulai dari Ideologi, segala kepentingan yang berhubungan dengan Politik, Ekonomi (ekspor-impor, penyebaran produk-produk global, dan lain-lain), hiburan (film, musik), seks bebas, nilai-nilai, gaya hidup dan seterusnya.
Sebagai contoh yang diungkapkan George Ritzer dalam bukunya The McDonaldization of Society, bahwa McDonald atau jenis fast-food lainnya yang diusung oleh Amerika telah menjadi fenomena global (global phenomenon); karena bukan hanya berpengaruh terhadap bisnis restoran, tapi juga melebar kepada unsur-unsur pendidikan, kerja, travel, aktivitas luang, politik, keluarga dan beberapa sektor lainnya. Begitu juga dengan produk-produk semisal seperti Pizza Hut, KFC, B&B, dan lain-lain yang menyebar luas ke penjuru dunia, yang bisa dengan mudah ditemukan hampir di setiap negara.
Bagaimana pun masyarakat yang ada sekarang lebih cinta untuk memilih budaya dan suguhan hidangan global dibanding menerima dan menghidupkan tradisi serta budaya warisan nenek moyang mereka. Akhirnya globalisasi telah meminimalisir perlindungan terhadap budaya lokal melalui proses liberalisasi pasar dan perdagangan luas di banyak negara berkembang. Suatu hal yang sulit dihindari karena merebaknya media-media dan prasarana lainnya berupa film, sastra, siaran satelit, internet, koran, majalah yang telah mencemari budaya lokal.
Penyebarluasan globalisasi budaya Barat merupakan suatu produk homogen yang mempunyai karakter 'materialistik', yang berdampak kepada pergolakan dan konflik sosial di masyarakat non-Barat. Mereka memiliki warisan budaya dan kehidupan relijius yang jelas berbeda dengan masyarakat Barat sebagai pengusung globalisasi dan kapitalisme.
Karena, globalisasi-kapitalisme mengisyaratkan sebuah perubahan atau dengan kata lain merupakan rekonstruksi bentuk-bentuk masyarakat yang berlaku berupa tatanan etika dan selebihnya, merupakan perubahan tersebut acap kali membangkitkan konflik sosial yang hebat. Biasanya perubahan ini terjadi pada wilayah perkotaan (urbanized area). Proses modifikasi baru saja ditembus. Seperti yang banyak terjadi di negara-negara ketiga.
Ada pun pengaruh globalisasi terhadap sosial budaya meliputi dua sisi, yaitu pengaruh positif dan pengaruh negatif. Salah satu yang menjadi pelajaran positif untuk kehidupan sosial adalah masyarakat suatu bangsa dapat meniru pola berfikir yang baik seperti etos kerja yang tinggi, disiplin, dan ilmu pengetahuan dari bangsa lain yang sudah maju untuk meningkatkan kemajuan masyarakat setempat sehingga bisa menegakkan agama dan membangun bangsanya untuk lebih maju.
Sedangkan dampak negatif globalisasi terhadap masyarakat --khususnya anak muda, banyak dari mereka yang melupakan identitas diri sebagai anak bangsa, karena gaya hidup mereka cenderung imitatif terhadap budaya Barat. Mulai dari pakaian, potongan dan warna rambut, pilihan hiburan, dan seterusnya.
Pengaruh negatif kedua yaitu adanya kesenjangan sosial yang tajam antara warga kelas atas dan bawah, kaya-miskin, disebabkan adanya persaingan bebas dalam globalisasi ekonomi. Yang ketiga adalah munculnya sikap individualisme yang menimbulkan ketidakpedulian antar individu dalam masyarakat. Dengan demikian masyarakat tidak akan peduli atas bangsa dan budayanya.
Ekonomi mempunyai pengaruh kuat terhadap masyarakat. Seperti yang pernah dikatakan oleh Karl Marx, bahwa ternyata aspek ekonomi seseorang mampu menentukan kesadaran sosial masyarakat; seperti cara seseorang bersikap, berperilaku, hingga keberagamaan suatu masyarakat. Dengan demikian dapat kita simpulkan bahwa dengan merebaknya globalisasi ekonomi pada suatu bangsa maka kehidupan sosial juga akan berubah sesuai dengan potensi yang disebarluaskan oleh globalisasi tersebut.
Penutup
Global pop culture atau globalisasi budaya bukanlah tren baru. Ia muncul bersama dengan lahirnya globalisasi itu sendiri. Baik dalam politik, ekonomi, dan lain-lain. Karena aspek-aspek tersebut mempunyai pengaruh besar terhadap perubahan tatanan masyarakat dan budaya suatu negara. Singkat kata dapat kita simpulkan beberapa hal yang menjadi karakteristik globalisasi sosial dan globalisasi budaya, yaitu:
(i) secara sosial; konsep berpakaian, tata bicara, sistem kekerabatan da stratifikasi sosial juga berubah dan bergeser ke arah yang lebih modern dibanding generasi sebelumnya. Konsep sosial yang ada dalam masyarakat juga berubah, terutama masalah tranportasi, komunikasi, dan arus informasi.
(ii) Dalam arena budaya, proses globalisasi mencerminkan diri pada struktur sosial yang berkaitan dengan kepercayaan, nilai, simbol, dan fakta. Meninggalkan dogma-dogma kuno seperti mitos dan lain-lain, yang digantikan dengan sebuah doktrin baru yang bersifat majemuk (plural) yaitu mencari kebenaran dengan metode analisis-kritis.
Dengan kata lain, dalam globalisasi sosial budaya orang lebih suka untuk menjadi orang lain dengan cara menutupi identitasnya. Hal ini dikarenakan adanya bentuk neo-liberal globalisasi dalam perwujudan universalisasi terhadap style bentuk budaya tertentu, yang cenderung untuk memperoleh hirarki sosial dan homogenisasi budaya yang sangat besar dalam skala dunia.
Oleh sebab itu, budaya dan adat istiadat merupakan ciri dan faktor penting yang dimiliki oleh suatu bangsa. Jadi negaralah yang memiliki peran penting untuk melindungi nilai-nilai asli milik masyarakatnya berupa warisan nenek moyang; norma, etika, budi pekerti masyarakat yang harus selalu dijunjung tinggi.
Hal tersebut sudah menjadi tanggung jawab pemerintah, seperti memilah dan memilih situs-situs apa saja yang layak untuk disuguhkan kepada anak bangsanya, mengalokasikan dana besar untuk mengadakan festival-festival budaya guna memasyarakatkan kekayaan budaya bangsa dan mempromosikan industri wisata mereka, dan lain-lain.
Secara garis besar dapat kita fahami bahwa globalisasi yang menghadirkan budaya Barat kepada negara-negara non-Barat semata-mata hanyalah bentuk baru kolonialisme atau imperialisme Barat terhadap negara "jajahannya". Bedanya kalau zaman dulu penjajahan adalah ekspansi kekuasaan dengan kekuatan tangan, tapi sekarang penjajahan tersebut menggunakan soft power.
Seakan memberikan obat mujarab kepada negara-negara yang baru saja berkembang berupa opium, maka pasien akan merasakan kenikmatan dalam tiap tegukan. Tapi, apa yang terjadi tidaklah seperti dirasa dan diharapkan. Pasien pun akan mati 'cepat atau lambat' tergantung pada seberapa banyak dan besar pengaruh opium tersebut.
Perlu diingat bahwa tidak semua dokter jahat dan tidak semua obat beracun. Tergantung pada ikhtiar pasien dalam menentukan kemana dan bagaimana ia harus berobat.
Dalam menghadapi fenomena globalisasi, sebagai warga negara yang 'berbudaya' dan 'memiliki budaya' ada dua hal yang seyogyanya dimiliki oleh masyarakat, yaitu: mengokohkan identitas diri dan reaksi timbal balik, maksudnya adalah suatu negara tetap membentengi diri dari segala pengaruh globalisasi dengan tidak menutup semua pintu tapi menyaring dan memfilter, sehingga akan muncul timbal-balik yang fair dan equitable.
Globalisasi merupakan sarana terbaik untuk memperkenalkan budaya bangsa kita. Kita bukan hanya menjadi masyarakat yang sekedar menjadi konsumen budaya-budaya seberang. Tapi, juga mampu menghadirkan dan menjunjung tinggi budaya dan nilai-nilai luhur kita kepada bangsa lain. Wallahu wa rasuluhu a'lam.
Alfina Hidayah
IIUI Departement of Comparative Religion Islamabad
alfin_green@yahoo.com
+923335344025
Penulis adalah Mahasiswi Pasca Sarjana IIU Islamabad Pakistan Departemen of Comparative Religion.
(msh/msh)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini