Wajar saja karena masyarakat umum sangat akrab dengan bebagai brand asing yang tiap hari kita gunakan seperti Sony, BMW, Bayer, Toyota, Toshiba, dan lain-lain. Lalu layakkah kita menyalahkan "takdir" bahwa seumur hidup bangsa ini tidak mampu melahirkan ilmuwan yang mampu membuat barang-barang bermerek international.
Akan tetapi bila melihat prestasi ilmiah warga negara Indonesia di luar negeri kekhawatiran itu seharusnya tidak beralasan. Paling tidak bila menilik hadirnya banyak ilmuwan Indonesia berlevel international pada peresmian Ikatan Ilmuwan Indonesia International (I-4) oleh Mentri Pendidikan Nasional tanggal 24 Oktober lalu di Jakarta.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Inspirasi Sukses
Mengacu data Departemen Pendidikan Nasional saat ini ada sekitar 50 ribu mahasiswa Indonesia yang kuliah di luar negeri. Sementara di dalam negeri tercatat ada sekitar 4,5 juta mahasiswa. Jumlah ini ekuivalen dengan aset sumber daya manusia (SDM) unggul bangsa Indonesia masa depan.
Perlu diungkapkan di sini bahwa kesuksesan mahasiswa dan ilmuwan Indonesia di luar negeri bukan semata karena berbagai kenikmatan dan fasilitas yang mereka miliki di luar negeri lebih baik dari mahasiswa Indonesia di tanah air. Kenyataannya tidak sedikit mahasiswa Indonesia di luar negeri melewati masa-masa sulit sebelum lulus kuliah.
Sebagai contoh kesulitan karena sakit. Sulitnya menjadi ibu rumah tangga dengan banyak anak. Atau bahkan banyak yang terpaksa bekerja sebagai pemulung botol, pedagang koran, tukang sapu, pelayan restoran, dan buruh pabrik karena ketidakadaan bea siswa formal selama studi.
Selanjutnya dengan bebagai kesulitan dan mentalitas baja "tukang sapu" inilah justru setelah lulus potensi SDM unggul Indonesia ini menjadi berkah industri, universitas, dan lembaga riset luar negeri. Termasuk Jerman.
Misalkan industri-industri besar Jerman seperti BASF, Siemens, Bayer, universitas, dan lembaga riset swasta dan nasional terkemuka Jerman seperti Max Planck Institut, Fraunhofer Institut, dan beberapa Bundesanstalt (lembaga riset nasional) menampung hoch qualifiziert/Β high skilled SDM unggul Indonesia yang telah lulus dari universitas di Jerman.
Sementara perusahaan pesawat Air Bus dan Boeing menggali keuntungan dari ratusan SDM Indonesia bidang dirgantara. Menyusul kebangkrutan IPTN sehingga eks karyawan IPTN dan para siswa yang pernah dikirim IPTN untuk studi di Jerman tidak ada instansi tempat berkarya di tanah air.
Hingga saat ini kita menemukan sebuah kenyataan bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa besar dengan karunia para ilmuwan berpresetasi di luar negeri. Sebagai contoh ada ilmuwan Indonesia yang meraih 4 gelar doktor bidang eksakta di bidang yang berbeda. Kini menjadi Profesor di Jepang. Ada yang berusia muda ketika doktor dan menjadi profesor pada usia 24 tahun. Ada mahasiswa Indonesia yang meraih tiga besar terbaik dalam bidang sains se-Amerika, dan sebagainya.
Dengan kehidupan yang nyaris fokus pada prestasi ilmiah para ilmuwan Indonesia di luar negeri ini sebenarnya sedikit dari generasi bangsa yang tidak tersentuh politik praktis. Bahkan, boleh jadi berita tentang KPK vs Polri yang sedang hangat saat ini sama sekali tidak menarik untuk menjadi bacaan mereka.
Tuntutan Masa Depan
Mengacu pada modernisaztion hypothesis (Lipset, 1959) semakin besar perhatian sebuah negara pada pendidikan rakyatnya maka pelaksanaan demokrasi negara tersebut akan lebih baik. Efek berikutnya adalah meningkatnya kemakmuran rakyat. Pertanyaannya adalah seberapa jauh yang telah dicapai oleh bangsa Indonesia dalam membangun SDM bangsanya melalui pendidikan.
Sangat menggembirakan ketika mengetahui Departemen Pendidikan Nasional merespon pentingnya membangun SDM unggul dengan anggaran riset yang tinggi dan bea siswa bagi dosen ke universitas di luar negeri mulai tahun 2008. Targetnya adalah peningkatan daya saing perguruan tinggi di Indonesia. Dari perguruan tinggi berkualitas diharapkan dilahirkanlah mahasiswa dan ilmuwan berkualitas pula.
Lalu, sudah memadaikah jumlah ilmuwan minimal saat ini untuk mengelola sumber daya alam Indonesia. Keberadaan ilmuwan dengan kepakaran yang cukup dalam berbagai bidang teknologi ini diharapkan mengkonversi kekayaan sumber daya alam Indonesia menjadi kemakmuran rakyat.
Secara umum Profesor Yohanes Surya memperkirakan agar Indonesia sejajar dengan negara maju lainnya perlu sepuluh ribu ilmuwan sains dan teknologi begelar doktor. Pada bidang khusus tertentu, sebagai contoh, mengacu Dr rer nat Makky Sandra Jaya, pakar geothermal (energi panas bumi) Frei Univesitaet Berlin, untuk mencapai target energi nasional Indonesia yang di-supply dari panas bumi, perlu ahli geothermal bergelar doktor tidak kurang dari 50 orang.
Demikian pula dengan bidang-bidang strategis lainnya seperti kelautan, pertambangan, pertanian, bioteknologi, energi terbaharukan, dan teknologi pertahanan militer niscaya menjadi titik tolak kebangkitan Indonesia masa depan bila diisi oleh SDM unggul bangsa kita.
Sebagai kepedulian sekaligus pemacu kita bersama kunjungan pegiat I-4 ke kantor Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) 28 Oktober 2009 lalu memperoleh gambaran bahwa institusi riset nasional sebesar LIPI ternyata "hanya" memiliki peneliti bergelar doktor berjumlah 8% pegawai total. Jauh dari perbandingan ideal instansi riset negara maju yang berjumlah lebih dari 50%.
Maka diharapkan momentum pemerintahan baru Kabinet Indonesia Bersatu II dapat memulai sejarah baru kemajuan sains dan teknologi di Indonesia. Sudah selayaknya kita bersyukur dengan terwujudnya jejaring ilmuwan Indonesia di luar negeri semacam I4.
Memang sedih menyaksikan hingga kini banyak saudara sebangsa ditimpa musibah akibat bencana alam. Sementara pada saat yang sama para elit politik tak pernah berhenti menyita perhatian dan kebingungan publik. Tetapi, hari esok yang cemerlang bagi bangsa Indonesia harus tetap ditatap oleh generasi muda bangsa ini dengan kepala tegak.
Dr Ing Suhendra
Pritzwalkerstrasse 12 Berlin Jerman
suhendra1711@yahoo.com
+49-176 238 86862
Penulis adalah peneliti di lembaga nasional Jerman di Berlin dan pegiat Ikatan Ilmuwan Indonesia International (I-4).
(msh/msh)