Pemerintah berencana akan mengimplementasikan konsep Food Estate ini khususnya di daerah luar jawa. Pemerintah telah menjadikan program Food Estate menjadi program 100 hari untuk menyelesaikan peraturan perundangan dalam mengatur tentang Food Estate. Hal yang akan diatur dalam regulasi food estate antara lain soal luas maksimum lahan, jangka waktu usaha, penggunaan subsidi bagi pelaku usaha, ketentuan fasilitas kredit, saham maksimum yang bisa dimiliki asing, dan lainya.
Wakil Menteri Pertanian Bayu Krisnamurti menyatakan bahwa daerah untuk Food Estate diutamakan berada di luar Jawa karena lahan masih tersedia cukup luas. Diarahkan supaya tidak ada konflik di antara para pelaku usaha, dan dengan lainnya terutama para petani, karena nanti kalau petani yang cuma punya lahan 0,5 hektar berhadapan dengan pengusaha yang punya 10 ribu hektar kan tidak fair, sehingga petani harus dilindungi.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Saat ini setidaknya ada enam swasta nasional yang sudah siap menanamkan modalnya mengembangkan agribisnis di MIFE. Investor tersebut adalah Bangun Tjipta, Medco Grup, Comexindo Internasional, Digul Agro Lestari, Buana Agro Tama, dan Wolo Agro Makmur. Bahkan, investor asal Arab Saudi, dari kelompok usaha Binladen sempat menengok tanah Merauke.
Keuntungan dari Implikasi Food Estate:
1. Pemerintah bisa membuka lahan tanaman pangan baru dengan lebih cepat dan meningkatkan produksi tanaman pangan. Menurut Menteri Pertanian, Suswono, selama ini dilaporkan lahan pertanaman di Indonesia seluas 7 juta hektar. Padahal, di satu sisi terjadi alih fungsi lahan pertanian mencapai 100 ribu hektare per tahun.
2. Pemerintah bisa menarik minat investor (pemodal) untuk menggerakkan kegiatan ekonomi khususnya di daerah luar jawa.
3. Bisa menambah pendapatan pemerintah dan ikut meningkatkan pendapatan petani di kawasan Food Estate.
4. Meningkatkan ketahanan pangan di Indonesia (jika pemerintah benar-benar bisa mengkontrol distribusi hasil pertanian).
Kerugian dari Implikasi Food Estate:
1. Potensi lahan yang dimiliki oleh rakyat Indonesia tidak bisa maksimal dimiliki dan dikelola secar penuh oleh petani Indonesia. Apalagi jika mengacu kepada Undang-undang No 25/2007 tentang Penanaman Modal (UUPM) dengan berbagai turunannya yang memberikan peluang bagi investor untuk semakin menguasai sumber-sumber agraria, Peraturan Presiden No 77/2007 tentang daftar bidang usaha tertutup dan terbuka disebutkan bahwa asing boleh memiliki modal maksimal 95 persen dalam budi daya padi.
Peraturan ini jelas akan sangat merugikan 13 juta petani padi yang selama ini menjadi produsen pangan utama. Apalagi 77 persen dari jumlah petani padi yang ada tersebut masih merupakan petani gurem.
2. Jika perpres atau peraturan lain yang dihasilkan pemerintah tentang Food Estate ini lebih berpihak kepada pemodal daripada petani maka kemungkinan konflik seperti konflik di perkebunan besar yang ada selama ini akan terjadi juga di Food Estate.
Bisa jadi akan muncul "tuan takur" baru yang menguasai lahan begitu luas dan menjadi penguasa setempat.
3. Jika peraturan yang lahir nanti memberikan kemudahan dan keluasan bagi perusahaan atau personal pemilik modal untuk mengelola Food Estate maka karakter pertanian dan pangan Indonesia makin bergeser dari peasant based and family based agriculture menjadi corporate based food dan agriculture production. Kondisi ini justru melemahkan kedaulatan pangan Indonesia.
4. Jika pemerintah tidak mampu mengontrol distribusi produksi hasi dari Food Estate maka para pemodal akan menjadi penentu harga pasar karena penentu dijual di dalamn negeri atau ekspor adalah harga yang menguntungkan bagi pemodal.
Terlepas dari masalah Food Estate yang digulirkan oleh pemerintah semestinya kita mengerti bahwa akar permasalahan selama ini di bidang pertanian salah satunya adalah masalah kepemilikan dan distribusi lahan pertanian. Ada 9,55 juta KK petani di Indonesia yang hanya mempunyai lahan dibawah 0,3 hektar. Belum lagi petani yang sewa tanah untuk bertani juga sangat banyak jumlahnya.
Membaca dari konsep fiqh Islam mengenai pertanahan dan pertanian ada beberapa aturan jika ini diterapkan saya yakin bisa memberikan solusi kongkrit. Aturan tersebut antar lain:
1. Dilarangnya menyewa lahan pertanian. Setiap pemilik tanah pertanian harus mengelola lahannya dan tidak boleh disewakan. Jika tidak mampu maka pinjamkan atau berikan kepada saudaranya.
2. Dibolehkannya bagi setiap warga negara untuk menghidupakan tanah mati untuk dikelola. Yang disebut tanah mati adalah tanah yang belum ada pemiliknya dan tidak ada tanda-tanda kepemilikan orang sebelumnya.
3. Barang siapa yang mempunyai lahan dan dibiarkan tidur (tidak diolah) berturut-turut selama 3 tahun, maka negara akan mengambil lahan tersebut dan akan diberikan kepada siapa saja yang mau dan mampu mengolahnya menjadi produktif kembali.
Inilah alternatif solusi yang harus diterapkan dan meninggalkan sitem kapitalis liberal yang hanya menguntungkan kaum pemodal.
Tri Wahyu Cahyono
Jl Gotong Royong II Jakarta Selatan
salas_1n@yahoo.com
085649885503
(msh/msh)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini