Krisis Global dan Bailout Bank Century

Krisis Global dan Bailout Bank Century

- detikNews
Selasa, 01 Des 2009 09:21 WIB
Jakarta - Menarik mencermati isu bailout Bank Century yang dilakukan oleh Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) saat ini. Banyak pengamat ekonomi yang menilai bahwa bailout yang dilakukan terhadap Bank Century tidak sah. Terlebih pada penetapan Bank Century sebagai Bank gagal berdampak sistemik.

Mereka berpendapat bahwa vonis gagal berdampak sistemik tidak sesuai kriteria. Menurut mereka tidak akan menjadi persoalan jika bank tersebut dibiarkan collapse karena size (ukuran) bank tergolong kecil dengan market share yang juga kecil. Di lain pihak Bank Indonesia (BI) dan pemerintah yang diwakili oleh ketua KSSK mengatakan bahwa informasi yang dipakai KSSK sudah cukup lengkap dan telah memadai sebagai dasar penetapan Bank Century sebagai 'Bank Gagal Berdampak Sistemik'.Β 

Kasus serupa Bank Century sebenarnya bukan merupakan cerita lama. Mekanisme pemberian dana talangan (bailout) sudah pernah dilakukan oleh BI ketika menghadapi krisis perbankan tahun 1997/1998 silam. Bailout dalam bentuk Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) dikucurkan ke sejumlah bank untuk memenuhi kebutuhan likuiditas dan penyehatan perbankan agar kestabilan sistem perbankan tetap terjaga.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Proses penyelamatan dalam skema bailout dipilih sebagai alternatif oleh BI untuk mempertahankan kepercayaan nasabah terhadap sistem perbankan demi menghindari terjadinya rush atau bank run. Jadi, jangan heran jika KSSK sekali lagi melakukan hal serupa.

Kita tidak dapat mengingkari fakta bahwa situasi global saat diambilnya keputusan bailout terhadap Bank Century sangat tidak menentu. Periode Oktober-Desember 2008 adalah masa-masa paling kritis bagi Indonesia karena dampak krisis global sudah demikian dekat di depan mata.

Meski pemerintah menyatakan fundamental ekonomi kita cukup tangguh untuk menahan goncangan krisis, beberapa indikator di sektor keuangan menunjukkan tanda-tanda mengkhawatirkan. Ini terlihat dari peningkatan signifikan angka Indeks Stabilitas Keuangan atau Financial Stability Index (FSI) yang melampaui batas indikatif maksimum sebesar 2 menjadi 2,43 pada November 2008.

Ekses likuiditas mencapai titik terendah akibat pencairan secondary reserves oleh perbankan untuk mendanai kredit. Ini jelas terlihat pada penurunan simpanan perbankan dalam bentuk SBI (Sertifikat Bank Indonesia). Secondary reserves terpaksa dijadikan pendanaan alternatif bagi kredit perbankan oleh sebab bank kesulitan menghimpun Dana Pihak Ketiga (DPK) sebagai imbas krisis finansial global.

Rasio alat likuid terhadap Non Core Deposits (NCD) mengalami tekanan serupa hingga mencapai angka terendah 84,9% (di bawah 100%) yang berarti ketahanan likuiditas perbankan diragukan. Selain itu pertumbuhan DPK yang lebih rendah dari pertumbuhan kredit mendorong peningkatan Loan to Deposits Ratio (LDR) hingga 77,2% pada Desember 2008.

Untuk mengetahui dampak merambat (contagion effect) kegagalan suatu bank terhadap bank lainnya telah dilakukan interbank stress test oleh BI terhadap sejumlah bank. Hasilnya menunjukkan bahwa jika 11 bank pemicu gagal (single failure) terdapat 14 bank yang berpotensi permodalannya tertekan. Sementara dampak lanjutannya (second round effects) berpotensi membuat 24 bank lainnya (multiple failure) juga menghadapi tekanan permodalan.

Potensi krisis juga terlihat pada penurunan yang sangat signifikan volume perdagangan saham di Bursa Efek Indonesia hingga lebih dari 50%. Kondisi ini menandakan kepanikan para investor portofolio asing yang menarik dananya dalam skala besar untuk mencukupi kebutuhan likuiditas di negaranya.

Pasar Surat Utang Negara (SUN) tidak luput dari terjangan krisis. Harga SUN mengalami koreksi yang diikuti kenaikan yield SUN rata-rata 10%. Padahal kenaikan 1% saja dari yield SUN akan membebani APBN sebesar 1,4 triliun. Rupiah mengalami depresiasi hingga 30%, melewati batas psikologisnya di angka Rp 12,000. Penarikan dana oleh asing yang diikuti penurunan nilai tukar rupiah terhadap dollar menguras cadangan devisa Indonesia hingga US 7,81 miliar.

Situasi dan kondisi di atas tentunya membuat pemerintah dan BI ekstra hati-hati dalam membuat keputusan. Ibarat nakhoda kapal yang berjuang menjaga keseimbangan kapal agar tidak oleng di tengah terpaan badai pemerintah dan BI harus tetap dalam kondisi terjaga dan secara kontinu melakukan evaluasi terhadap data, fakta, dan informasi sebelum memutuskan apakah kapal akan berbelok ke kiri, ke kanan, atau tetap lurus ke depan.

Hal tersebut bukan perkara yang mudah. Tiap kebijakan yang diambil akan direspon oleh pasar. Ketepatan keputusan pemerintah dan BI akan diukur dari seberapa tangguh kebijakan mereka dapat meredam kepanikan yang bersumber dari gejolak-gejolak eksternal.

Aspek psikologi pasar inilah yang menjadi salah satu pertimbangan utama untuk melakukan bailout terhadap Bank Century. Di tengah situasi paling kritis adalah hal yang sangat wajar jika pemerintah dan BI merasa harus berbuat sesuatu terhadap Bank Century.

Krisis finansial global telah menjalar ke hampir semua sektor keuangan. Hampir tidak ada satu negara pun yang tidak terimbas dampak gelombang krisis. Masing-masing negara berlomba-lomba mengumumkan penjaminan penuh (full guarantee) terhadap simpanan nasabah di bank-bank. Lehman Brothers, AIG, dan raksasa-raksasa finansial dunia lainnya berjatuhan.

Musim gugur bank-bank terjadi di hampir semua negara maju. Likuiditas global mengering. Kejatuhan pasar saham tak terbendung. Dana talangan yang jumlahnya miliaran dolar pada akhirnya digelontorkan oleh banyak pemerintahan negara-negara untuk meng-counter dampak yang ditimbulkan oleh krisis.

Di tengah situasi global yang serba tidak pasti pemerintah dan BI dikejutkan oleh laporan yang menyatakan bahwa salah satu bank swasta (Bank Century) memiliki rasio kecukupan modal (CAR) minus. Kemudian disusul informasi yang beredar bahwa bankt ersebut mengalami gagal kliring.Β 

KSSK yang terdiri dari unsur pemerintah (Depkeu), BI, dan LPS langsung merespon dengan menggelar rapat tertutup pada hari Jumat, 21 November 2008. Rapat yang membahas persoalan bank tersebut dilaksanakan selama hampir 5 jam pada tengah malam dari pukul 00.11 hingga pukul 05.00 pagi. Dalam rapat inilah penetapan Bank Century sebagai 'Bank Gagal Berdampak Sistemik' diputuskan.

Keputusan ini disampaikan langsung oleh Menteri Keuangan selaku ketua KSSK. Di dalam notulen rapat penyelamatan Century yang bocor ke publik diterangkan penilaian dari masing-masing anggota rapat. Hampir sebagian besar anggota rapat mengkhawatirkan dampak psikologis pasar terhadap kegagalan Bank Century. Situasi yang dihadapi pada kenyataannya sangat khusus. Disebutkan juga dalam notulen tersebut bahwa dalam keadaan normal Bank Century tidak sistemik.

Reputasi dan kredibilitas pemilik Bank Century yang yang buruk menyulitkan KSSK menjelaskan ke publik latar belakang dilakukannya bailout. KSSK mencoba memaparkan bahwa bailout dilakukan semata-mata untuk menyelamatkan sistem keuangan (perbankan) dari risiko terjadinya rush. Bukan untuk mengganti kerugian yang disebabkan oleh tindakan kriminal pemilik bank. Oleh sebab itu perlu dibedakan antara penanganan kasus kecurangan dan upaya penyelamatan sistem.

Upaya menyelamatkan sistem keuangan tidak melihat latar belakang manajemen suatu bank. Apakah ia baik atau buruk. Jika suatu bank collapse di tengah situasi genting (krisis) di mana irasionalitas proses pengambilan keputusan mendominasi pasar, potensi market panic menjadi jauh lebih besar.

Kepercayaan nasabah dapat menguap dan ini akan diikuti pemindahan dana secara besar-besaran (flight to quality). Bank menjadi kehilangan sumber pendanaan. Bahkan, dapat menyebabkan kebangkrutan massal. Proses intermediasi perbankan menjadi tidak berjalan. Kinerja sektor riil terganggu yang kemudian diikuti perlambatan pertumbuhan ekonomi yang bisa berujung pada resesi ekonomi.

Di sinilah letak persoalannya. Sebagai masyarakat awam kita mungkin tidak paham dan tidak mengerti. Tetapi, peristiwa ini merupakan fakta sejarah yang pernah dan mungkin dapat terjadi kembali. Pengalaman dari banyak negara menunjukkan hal serupa.

Psikologi dan kecenderungan pasar sangat tidak mudah ditebak. Dalam situasi tertentu mereka dapat menjadi sangat reaktif dan irasional. Di sisi lain mereka dapat menjadi sangat bersahabat. Di sinilah peran para pengambil kebijakan menjadi penting. Keberhasilan mereka akan terlihat dari sejauh mana mereka mampu menjaga dan memelihara sistem dari guncangan-guncangan yang dapat mengganggu dan mengancam stabilitasnya.

Arif Setiadi
Rawasari Jakarta
khalid.frederick@gmail.com
085223569426



(msh/msh)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini
Selengkapnya



Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Ajang penghargaan persembahan detikcom bersama Polri kepada sosok polisi teladan. Baca beragam kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini.
Hide Ads