Secara khusus, kebangkitan kaum Islamisme pasca rezim Suharto yang mengusung implementasi syariat Islam telah membangkitkan ketegangan antara Islam dan non Islam. Serta ketakutan akan terjadinya pemberangusan hak-hak sipil serta hak kaum minoritas (perempuan dan non-Muslim). Karenanya, opini singkat ini akan mendiskusikan rekonstruksi identitas keIslaman dari kaum fundamentalis di tanah air.
Apa misi atau tujuan utama kaum fundamentalis Islam merupakan issue yang teramat penting. Perumusan cita-cita ini biasanya menjadi pintu masuk bagi para pemimpin fundamentalisme dalam mengkonstruksi ideologi, doktrin, organisasi, gerakan serta pendekatan yang akan ditempuh.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Hal ini jelas tergambar dari visi para ideolog dan penganjur fundamentalisme Islam yang membentuk pemikiran Islamisme abad ini. Seperti Hasan al-Banna dan Sayyid Quthb di Mesir, Ali al-Nadawi dan Sayyid Abulย A'la al-Mawdudi di India, bahwa sejarah Islam adalah suatu rekonstruksi untuk menunjukkan suatu bentuk kepatuhan perennial negara terhadap agama.
Karena itu, bagi seorang Muslim, kepatuhan itu semestinya bukan kepada negara. Tetapi, kepada komunitas Islam. Untuk menjamin hal tersebut yang dituntut adalah pemberlakuan Syariat Islam dalam pembentukan negara Islam.
Karenanya, perjuangan menegakkan Syariat Islam ini merupakan salah satu tren terpenting dalam gerakan fundamentalisme Islam. Selain dimotivasi oleh keinginan mengislamkan masyarakat atau bahkan mendirikan negara Islam, dalam wacana fundamentalisme penegakkan Syariat Islam sesungguhnya merupakan usaha merekonstruksi identitas.
Manual Castells, dalam The Power of Identity, mendefinisikan "fundamentalisme" agama sebagai "the constrution of collective identity under the identification of individual behaviour and society's institutions to the norms derived from God's law, interpreted by a definite authority that intermediates between God and humanity".
Dari definisi ini tergambar bahwa ideologi utama gerakan fundamentalisme agama adalah mempertahankah eksistensi dari ancaman identitas-identitas asing yang tidak asli. Guna kembali kepada apa yang disebut Castells sebagai "the ego of authenticity".
Rekonstruksi identitas, dengan tekanan pada otentisitas, yang diusung kaum fundamentalisme Islam, menurut Castell, nampaknya mulai tumbuh pesat pada tahun 1990-an di dalam pelbagai konteks-konteks sosial dan institusional, yang selalu merefleksikan dinamika-dinamika eksklusi sosial dan krisis negara-bangsa.
Dengan demikian, segregasi sosial, diskriminasi, dan pengangguran hebat yang melanda dunia Muslim (temasuk Indonesia tahun 1997-an), memicu kebangkitan pembentukan identitas Islam yang baru di kalangan 'kaum muda' yang kecewa dan frustasi, dengan satu penampakan gerakan-gerakan Islam radikal yang dramatik di dunia Muslim yang termarjinalkan dibandingkan dunia Barat yang maju.
Sementara itu, masih menurut Castell, kehancuran negara Uni Soviet memicu kebangkitan gerakan-gerakan Islam di Kaukasus dan Asia Tengah, dan juga pembentukan satu Partai Revival Islam di Rusia, yang berubah menjadi ancaman yang menakutkan bila dimaksudkan untuk mendorong terjadinya revolusi Islam di pelbagai negara pecahan-pecahan Soviet dahulu --seperti revolusi Islam di Afghanistan dan Iran.
Jika suatu komunitas masyarakat, menurut Abdullahi Ahmed An-Na'im, mendefinisikan dirinya sendiri sebagai berbeda dari yang lain, maka, ia akan membutatulikan mata dan pendengaran dari pandangan dan pemikiran pihak luar yang berupaya mendefenisikan atau menggugat doktrin. Perintah normatif dan perilaku keagamaan mereka sendiri.
Tentu saja ini merupakan problem yang konstan di dalam komunitas agama sepanjang sejarah yang mereka pandang sebagai suara-suara kritis yang mengandung risiko mendelegitimasi dengan menyerang apa yang mereka (komunitas ekslusif) yakini sebagai mandat-mandat (kepercayaan) keagamaan yang abadi.
Lebih jauh, An-Na'im mencontohkan bahwa kaum Muslim tak mungkin punya keseriusan dalam membela reformasi Islam yang digerakkan oleh seorang non-Muslim atau seorang Muslim. Bahkan, mereka yang melakukan penggugatan dengan maksud reformasi Islam sering dipersepsikan menjadi seorang ahli bid'ah (heretic) dan ingkar agama (apostate) karena terlalu jauh kritiknya dan berbeda dengan pemahaman-pemahaman Islam yang umum.
Yang sering dikedepankan kaum konservatisme adalah pertanyaan pertanyaan yang mucul berkenaan dengan kesalehan, otentitisitas, dan loyalitas perseorangan dalam rangka mendiskreditkan pandangan-pandangannya. Dilema yang dihadapi para reformer agama adalah bagaimana mempertahankan kredibilitas sebagai agen-agen perubahan internal, yang kritis terhadap kepercayaan-kepercayaan dan praktek-praktek keagamaan dalam komunitas mereka.
Dalam konteks ini fundamentalisme Islam secara eksklusif merupakan suatu gerakan sosial yang mendesak pembentukan identitas Islam baru untuk melawan identitas, yang menurut kelompok fundamentalis, telah terkontaminasi dengan nilai-nilai Westernisme dan sekulerisme yang mengancam identitas Islam yang otentik.
Pembentukan identitas tersebut mengarahkan pada rekonstruksi dan pemapanan suatu komunitas ekslusif yang mencoba menghidupkan kembali identitas Islam yang otentik.
Secara sosiologis rekonstruksi identitas oleh Islamis di Indonesia merupakan model pembentukan identitas yang terpenting dalam masyarakat. Fundamentalisme Islam, karenanya, mengkonstruksi bentuk-bentuk perlawanan secara kolektifย melawan segala bentuk opresi dan supresi yang mereka rasakan.
Biasanya, basis-basis identitas dibangun melalui pencitraan satu model ideal, dalam konteks ini, "masyarakat Madinah pada masa Nabi", yang akhirnya memudahkan mereka untuk mengesensialkan batasan-batasan antara "kita" (Muslim) dan "mereka" (kafir).
Gerakan fundamentalisme Islam, secara normatif, sebagai manifestasi identitas komunal sering kali difungsikan untuk menentukan batas-batas antara perintah dan larangan, antara moral dan a-moral, antara baik dan buruk, dan seterusnya.
Adakalanya gerakan fundamentalisme (baca: identitas komunal) dipergunakan untuk membuat garis demarkasi antara pemerintah "yang despotik" dengan masyarakat sipil. Sebagaimana, misalnya, yang diyakini Dale Eickelman dan James Piscatori. Bentuk-bentuk ekspresi dari kebangkitan komunalisme semacam ini adalah lahirnya partai-partai serta organisasi-organisasi massa baru yang menggunakan simbol-simbol primordial, semisal agama, etnik dan kelompok, sebagai identitas bersama.
Simbol-simbol tersebut biasanya diaktifkan dan dimanipulasiu untuk memperoleh solidaritas kelompok. Dalam perumusan ideologi organisasi dan gerakan, bahasa simbolik ini terbukti efektif dalam membangun semangat kelompok, doktrin dan cita-cita bersama. Dalam situasi di mana orang merasa terancam akibat ketidakmenentuan, dan ketidakpercayaan pada diskursus hegemonik, komunalisme cenderung dijadikan alternatif dan memperoleh pengukuhan bersama sebagai tempat berlindung.
Ridwan al-Makassary
Jl Tanjung Lengkong RT 009/07
Kelurahan Bidara Cina Jakarta Timur
almakassary@yahoo.com
0817853612
Penulis adalah Koordinator Program Islam dan Hak Asasi Manusia di Center for the Study of Religion and Culture UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
(msh/msh)