Namun, ini bukanlah yang terjadi saat ini. Saat ini, semua berorientasi pada nilai. Semua berpikir begitu nilai rata-rata ujian akhir sekolah tersebut lebih tinggi daripada sekolah lain sekolah itu sudah pasti bermutu.
Para orang tua lupa sekolah-sekolah "Top" atau "Bermutu" ini sudah bernafsu mengejar murid-murid cerdas, pintar, dan jenius sejak dari awal. Mereka menerapkan ujian masuk yang luar biasa sulit kepada semua calon muridnya. Celakalah yang tak terlalu pintar sebab dia takkan diterima masuk di sekolah "Bermutu" ini. Aneh. Sekolah "Bagus" cuma buat murid pintar.Β
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Ketika murid-murid jenius ini memulai masa sekolahnya mereka langsung dijejali oleh ulangan, tes, ujian, dan seterusnya. Para guru diminta agar memberi soal ulangan yang sesulit mungkin, dan tugas sebanyak mungkin. Para guru jadi seperti berpikir "di dunia ini cuma ada saya dan murid-murid saya.
Tak ada guru/pelajaran lain, tak ada hiburan, tak ada hal lain." Tidak ada waktu bermain, tidak ada waktu untuk belajar bergaul dan bersosialisasi, tidak ada waktu untuk berkumpul bersama keluarga. Buat sang murid, semua itu demi naik kelas, demi mendapat nilai tinggi.
Buat sekolah, semua itu agar yang "Kurang Jenius" sudah "Sadar Diri" dan pindah ke sekolah lain. Mereka cuma "menurunkan nilai rata-rata" saja. Jadi, mereka harus disingkirkan lewat penyaringan yang luar biasa berat ini.
Tak puas cuma menghujani murid-murid tersebut dengan lebih dari 3 ulangan/ tes per hari. Pihak sekolah mengenakan biaya sekolah yang tinggi pada orang tua mereka. "Kami inikan sekolah top, sekolah bergengsi, cuma sedikit yang bisa sekolah di sini," adalah kata-kata mereka ketika mereka meminta uang sekolah yang selangit.
Ketika para murid "jenius di antara yang jenius" ini pada akhirnya melakukan ujian akhir tentu saja nilai mereka tinggi luar biasa. Pihak sekolah dengan bangga mengumumkan "kita adalah sekolah dengan nilai rata-rata ujian akhir 'tertinggi' se Indonesia."
Pihak Sekolah merasa sukses menaikkan nilai rata-rata. Bukan dengan membuat muridnya makin cerdas melainkan dengan memastikan cuma yang benar-benar jenius dan rajin seperti mesin yang melakukan ujian akhirnya di sekolahan tersebut. Cuma yang "terbaik dari yang terbaik" yang melakukan ujian di sekolah tersenit. Itukah gunanya sekolah? Itukah definisinya sekolah top?
Dengan memfokuskan pendidikan pada nilai para guru juga didorong untuk terus menerus mencari dan memberikan "resep instan" pada murid-muridnya. Para murid jadi terbiasa untuk melihat soal sebagai sekedar sarana untuk mendapatkan nilai bagus. Bukan sebagai sarana untuk mengerti masalah yang mereka akan dihadapi di dunia nyata.
Para murid dan guru menjadi terbiasa untuk menjadi kaku ketika memecahkan soal tersebut. Para murid menjadi terbiasa untuk mencari "langkah demi langkah" untuk menyelesaikan soal. Bukannya mencari konsep dan logika dasar yang menyusun soal tersebut. Bukannya belajar tehnik untuk melihat pola-pola yang ada dalam pelajaran.
Logika yang menyusun pola-pola tersebut dan menghubungkannya dengan pola-pola lain dan dunia nyata. Para murid menjadi terbiasa menghafalkan langkah demi langkah yang sang guru sodorkan. Pendidikan menjadi sekedar proses menghafalkan semata. Ergo, nilai rata-rata ujian akhir yang tinggi tidak menjamin mutu pendidika sebuah sekolah.
Jadi, mari kita analisa fenomena ini. Orang tua para siswa pintar dan cerdas ini membayar mahal setelah sekolah menghujani anak-anak mereka dengan ulangan dan tugas yang luar biasa banyak dan sulit sampai sang anak tak sempat memikirkan apa pun selain pelajaran sekolah.
Buat penulis ini terdengar seperti aksi masokisme. Atau para orang tua melakukannya demi gengsi bahwa anaknya sudah lulus dari "Sekolah Top". Buat penulis ini terdengar seperti tanda kecacatan mental.
Tidak semua sekolah top seperti itu. Pasti masih ada yang benar-benar menerima cap tersebut karena mutu pengajarnya memang tinggi. Guru-guru di sekolah tersebut mampu membuat muridnya tertarik pada pelajarannya. Mereka mampu menyederhanakan pelajarannya tanpa menghilangkan detil penting. Membuat para murid jadi mudah mengerti. Mudah menerima informasi baru darinya.
Para pengajar tersebut tahu bahwa dalam pelajarannya ada pola dasar yang harus diketahui, dan dia membimbing murid-muridnya untuk menggali dan menemukan pola-pola ini. Sekolah yang dipenuhi guru-guru macam ini adalah sekolah yang benar-benar bermutu.
Namun, begitu orientasi nilai tinggi kembali datang, sudah pasti sekolah tersebut akan menerapkan ujian masuk yang luar biasa ketat, lalu memulai proses sebelumnya. Para guru yang tak setuju untuk mengajar dengan metode "saringan super ketat" akan dipindahkan.
Cuma guru yang mampu dan mau memberikan ulangan-ulangan sulit dan banyak yang dipertahankan. Semuanya demi nilai yang tinggi. Pada akhirnya sekolah yang benar-benar top tersebut akan menjadi seperti sekolah-sekolah "Top" jadi-jadian lainnya.
Ini tak bisa diteruskan. Tujuan pendidikan bukanlah mengejar nilai tinggi. Tapi, mengejar pengetahuan, mengejar ilmu, mengejar perbaikan (improvement), dan memacu pertumbuhan tingkat intelektual. Nilai tinggi sudah menjadi di-"Tuhan"-kan di dunia pendidikan. Sekolah "Top", sekolah "Terbaik" menjadi mesin penyiksa. Kalau sudah begitu tak heran ada muridnya yang bunuh diri, yang menjadi cacat mental, yang stres,dan seterusnya.
Paradigma kita mengenai pendidikan harus diubah. Para orang tua harus berkata "tidak, itu bukan sekolah top. Itu adalah sekolah penyiksa." Perubahan ada di tangan orang tua. Kalau semua orang tua menolak memasukkan anaknya ke sekolah yang menyiksa anaknya sekolah macam itu akan kehilangan sumber pemasukan mereka. Mereka akan dipaksa beradaptasi untuk menjaring murid baru.
Sudah saatnya para orang tua melirik indikator lain selain nilai. Sudah saatnya para orang tua murid lebih kritis ketika mereka mencari sekolah untuk anak-anaknya.
Marcel Hizkia Susanto
353B Admiralty Drive #06-284
Singapore
marcel_hizkia_susanto@yahoo.co.id
+65-91568343
(msh/msh)