Tidak berhenti di situ saja. Akibat melonjaknya harga bahan bakar dengan berbagai macam produk turunannaya harga sembako ikut melambung. Akhirnya beban masyarakat semakin berat. Nasib masyarakat semakin menderita.
Isu krisis energi ini telah mengundang banyak negara untuk ikut berperan aktif mencari solusi. Salah satu solusi yang ditawarkan dunia adalah mencari sumber energi alternatif sebagai pengganti bahan bakar berbasis fosil.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Berbagai seminar digalakkan serta dana pengembangan energi altenatif berbahan baku nabati pun digelontorkan. Salah satu programnya adalah pengembangan bahan bakar biofuel dari tanaman-tanaman potensial. Mengingat ketersediaan bahan baku yang cukup melimpah di Indonesia.
Bagi pemerintah program ini dirasa layak untuk dikembangkan. Program konversi energi berbahan baku tanaman ini disambut baik oleh negara negara luar. Terutama negara-negara maju. Namun, program konversi energi berbahan baku nabati ini cukup mengundang banyak kontroversi di masyarakat Indonesia.
Ancaman ketahanan pangan serta ancaman lingkungan hidup adalah beberapa alasannya. Proyek 2 juta hektar yang direncanakan di Kalimantan Tengah misalnya. Rencana ini --yang dibiayai oleh Cina dan didukung oleh pemerintah Indonesia, telah dikritik oleh kelompok-kelompok peduli lingkungan hidup.
Ketika muncul isu menipisnya cadangan minyak bumi dan gas alam Indonesia sebenarnya Indonesia masih memiliki cadangan minyak sebesar 3,99 miliar barel yang diperkirakan baru habis dieksploitasi selama 11 tahun. Dan, masih memiliki potensi cadangan sejumlah 4,41 miliar barel.
Sedang, stok gas bumi mencapai 187 triliun kaki kubik. Atau akan habis dalam waktu 68 tahun dengan tingkat produksi per tahun sebesar 2,77 triliun kaki kubik. Cadangan batu bara ada sekitar 18,7 miliar ton lagi. Atau dengan tingkat produksi 170 juta ton per tahun. Berarti cukup buat memenuhi kebutuhan selama 110 tahun (sumber: Kementerian ESDM, 14/03/2008).
Pada tahun 2005 ditemukan sekitar 5.081 juta barel cadangan minyak dan gas bumi (migas) di Laut Timor. Data mengenai cadangan minyak di Laut Timor tersebut diperoleh dari jaringan Yayasan Peduli Timor Barat (YPTB) di Darwin Australia Utara.
Data tersebut diperoleh dari sejumlah perusahaan migas yang kini beroperasi di Laut Timor jauh sebelum Timor Timur merdeka. Jaringan YPTB juga memperoleh informasi dari sejumlah ahli minyak di Australia yang mengatakan bahwa total cadangan migas di Laut Timor sesungguhnya jauh lebih besar dari data awal yang dikemukakan pemerintah Australia sebelumnya.
Angka produksi migasnya sekitar 250 ribu barel per hari. Jika harga minyak dunia saat ini US$ 67, maka tiap tahunnya Laut Timor akan menghasilkan US$1 miliar (US$ 7 juta setiap hari). Nah, bila angka itu dikonversi ke rupiah dengan kurs Rp 10,300/ Dolar Amerika, produksi migas di Laut Timor akan mencapai Rp 172 miliar/ hari.
Namun, angka fantastis itu kini dikuasai Australia dan Timor Timur saja. Itu pun Timor Timur hanya mendapat bagian 20-30%. Sementara di Aceh ditemukan cadangan migas terbesar di dunia, yakni 320,79 miliar barel.Β
Selain energi fosil Indonesia juga kaya akan sumber energi nonfosil. Seperti panas bumi (geotermal) dengan kapasitas mencapai 27000 megawatt, tenaga surya dengan potensi intensitas radiasi matahari rata-rata di seluruh wilayah Indonesia sekitar 4,8 kWh/ m2, angin, air, serta sumber potensial lain.
Kalau dilihat dari potensi sumber energi yang begitu melimpah di Indonesia seharusnya Indonesia mampu memenuhi sumber energi bagi masyarakat. Baik energi fosil maupun nonfosil. Kemakmuran masyarakat seharusnya tercapai. Tapi, kenyataanya kondisi masyarakat Indonesia sungguh jauh dari kesejahteraan. Masyarakat harus menunggu berjam-jam untuk antri membeli minyak tanah, bensin, dan sebagainya.
Di sisi lain, 4 "big boss" Freeeport menerima gaji Rp 126,3 M/ bulan. Namun, masyarakat Papua harus mengalami busung lapar. Sama seperti pihak ExxonMobil yang memperoleh keuntungan sebesar US$ 40.6 Billion atau setara dengan Rp 3,723,020,000 ,000,000 (dengan kurs rupiah 9,170) atau setiap detiknya.
Chevron yang memperoleh keuntungan pada tahun 2007 sebesar US$ 18,7 billion atau Rp 171,479,000,000,000. Atau seperti Royal Ducth Shell yang menyebutkan nilai profit yang mereka dapatkan selama setahun mencapai US$ 31 miliar. Atau setara dengan Rp 284,270,000,000,000. Keuntungan yang diperoleh korporasi-korporasi negara imperialis ini sebenarnya berada jauh di atas Produk Domestik Bruto (PDB) beberapa negara dunia ketiga, tempat korporasi tersebut menghisap.
Hingga akhir tahun 2007, Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia bahkan belum sanggup menembus Rp 4,000 triliun. Untuk triwulan ke-3 tahun 2007 saja hanya mencapai Rp 2,901 triliun. Untuk negara penghasil minyak lainnya, Libya hanya 50.320 juta US$, Angola hanya 44,033 juta US$, Qatar hanya 42, 463US$, Bolivia hanya 11.163 juta US$, dan lain-lain. Mengapa Indonesia yang kaya akan sumber daya energi harus menghadapi krisis energi dan tetap dengan title "Negara Dunia Ketiga"-nya?
UU No 22/2001 tentang Minyak dan Gas Bumi telah meliberalisasi seluruh kegiatan usaha migas. Mulai dari sektor hulu hingga hilir. UU Migas ini telah mengebiri peran negara atas migas. Hampir 90% produksi minyak bumi di Indonesia dikuasai korporasi asing, yakni Total, ExxonMobil, Vico ,ConocoPhillips, BP, Petrochina, Chevron, dan korporasi lainnya.
Kesalahan pandangan pemerintah tentang kepemilikan menyebabkan negara ini kian terpuruk dengan kebijakan-kebijakannya yang pro swasta/ asing. Pemerintah memahami bahwa kekayaan alam Indonesia tak terkecuali migas adalah komoditas yang bisa dimiliki oleh siapa pun yang mampu (memiliki modal) untuk mengelolanya. Padahal, kekayaan yang menguasai hajat hidup orang banyak. Termasuk barang tambang yang melimpah adalah milik rakyat.
Negara diharuskan mengelola kekayaan alam negeri ini sebaik-baiknya dan 100% hasilnya dikembalikan kepada rakyat. Bila negara belum mampu secara mandiri mengelolanya maka negara boleh menyewa tenaga asing. Namun, kontrak yang ada bukanlah Production Sharing Contract seperti saat ini, namun tenaga ahli di sini adalah sebagai pekerja.
Dia tidak mendapatkan hasil pengelolaan (migas dan barang tambang lain). Namun, digaji oleh pemerintah atas pekerjaanya. Jadi, 100% hasil pengelolaan SDA dikembalikan kepada masyarakat. Inilah salah satu prinsip ekonomi Islam, yakni adanya pengaturan tentang kepemilikan umum/masyarakat. Mekanisme kepemilikan yang benar ini tidak ada dalam paradigma Kapitalis yang digunakan oleh pemerintah.
Sri Sarjiyati
Penulis adalah mahasiswi Fakultas Teknik Universitas Gajah Mada
Β
(msh/msh)