Menurut Irmansyah, seorang pakar kesehatan jiwa dari Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, diperoleh data bahwa sepertiga orang yang datang ke puskesmas mengalami gangguan emosional, yaitu depresi. Diperkirakan dari tahun ke tahun jumlahnya terus meningkat.
Depresi merupakan gangguan kondisi emosional berkepanjangan yang mewarnai seluruh proses mental (berpikir, berperasaan, dan berperilaku) seseorang. Lebih jauh, berbeda dengan penderita psikotik yang cenderung melampiaskan ekspresi emosional kepada orang lain, para penderita depresi lebih terdorong melakukan aksi bunuh diri.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Ini adalah kejadian yang luar biasa. Karena, dalam tempo empat bulan, Januari - April 2008, sudah 28 orang mengakhiri hidupnya dengan bunuh diri. Kemiskinan dan himpitan ekonomi menjadi penyebab tingginya jumlah orang melakukan hal terlarang dalam agama tersebut.
Kasus depresi dan bunuh diri akibat impitan ekonomi itu hanyalah sepenggal potret buram kehidupan rakyat miskin di Tanah Air yang tak kuat menanggung beban hidup. Penghasilan warga miskin selamanya tak akan pernah mampu mengejar kenaikan harga kebutuhan pokok yang terus meroket. Sebagai akibat dikuranginya subsidi BBM dan krisis ekonomi saat ini.
Menurut teori kausalitas kemiskinan memiliki korelasi positif atas meningkatnya angka depresi dan bunuh diri. Minimnya pendapatan masyarakat dan adanya kenaikan sejumlah harga bahan kebutuhan pokok disinyalir menjadi pemicunya.
Berdasarkan data BPS dari total penduduk Indonesia jumlah penduduk miskin pada bulan Maret 2008 sebesar 34,96 juta (15,42 persen). Jika kemiskinan adalah salah satu penyebab utama depresi dan bunuh diri maka potensi bunuh diri massal sebesar jumlah kaum miskin akan siap menghadang bangsa ini. Kita berharap prediksi ini tidak benar-benar terjadi.
Harus diakui bahwa kemiskinan benar-benar menjadi biang kerok kekacauan sosial di masyarakat. Selain efek negatif berupa meningkatnya jumlah depresi dan bunuh diri, peningkatan angka kriminalitas baik pencurian, pencopetan, perampokan, dan penodongan juga tak kalah cepatnya. Belum lagi, efek psikologis yang ditimbulkannya. Seperti mudah marah dan tersinggung sehingga sering kali berujung konflik kekerasan yang memakan korban tidak sedikit.
Untuk itu, dituntut upaya serius, sistematis, dan terencana pemerintah dalam mengurangi dan mengatasi kemiskinan ini. Apalagi upaya penanggulangan kemiskinan di Indonesia merupakan amanat konstitusional sebagaimana tercantum dalam Pembukaan dan Batang Tubuh Undang-Undang Dasar 1945.
Agenda pengentasan kemiskinan merupakan masalah pokok nasional yang penanggulangannya tidak dapat ditunda dengan dalih apa pun. Pengentasan kemiskinan bukanlah upaya residual semata.
Kemiskinan tidak boleh sekadar menjadi upaya "sambilan" atau "the left-over", yang baru dipikirkan setelah yang lain-lain selesai dulu. Sebaliknya, kemiskinan adalah masalah substansional, masalah utama yang mendasar, yang sejak awal perencanaan wajib menjadi prioritas utama.
Selama ini program pengentasan kemiskinan cenderung terfokus pada upaya penyaluran bantuan sosial semata seperti JPS (jaring pengaman sosial), BLT (bantuan tunai langsung), dan program nasional pemberdayaan masyarakat.
Alih-alih program ini mencapai keberhasilan namun malah memperburuk moral, menimbulkan perilaku ketergantungan, dan korupsi dalam penyalurannya. Singkatnya, program tersebut ada hasilnya. Namun, harus diakui belum mampu mengatasi kemiskinan secara menyeluruh.
Menyikapi beberapa kelemahan di atas maka upaya memerangi kemiskinan harus dilakukan secara menyeluruh, mendasar, mendalam, transparan, partisipatif, dan akuntabel dengan berbasis pada penyebab kemiskinan yang multi-dimensional. Pemerintah sebagai institusi tertinggi yang paling bertanggungjawab harus mampu membawa kembali masyarakat miskin ini ke jenjang yang lebih tinggi yaitu masyarakat yang sejahtera dan makmur.Β
Dengan program penanggulangan dan pengentasan kemiskinan yang menyeluruh, disertai kemauan politik (political will) yang tinggi, dan aksi politik (political action) yang kongkret serta bersama seluruh multi-stakeholders (collective action) bangsa, maka harapan kita untuk mewujudkan masyarakat yang jauh dari kemiskinan dan pemerintah yang berpihak pada masyarakat miskin (pro-poor governance) akan menjadi kenyataan.
Esok, tidak ada lagi kasus depresi dan bunuh diri karena himpitan kemiskinan. Semoga Presiden terpilih kelak benar-benar dapat menjawab seluruh persoalan di atas.
Sholehudin A Aziz MA
Jl al-Ikhlas 6 Bumi Sawangan Indah 2 Depok
bkumbara@yahoo.com
081310758534
Penulis adalah Peneliti Center for the Study of Religion and Culture (CSRC) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
(msh/msh)