Di kota besar seperti Jakarta (seharusnya) memiliki ratusan lampu merah yang tersebar dan berfungsi baik di setiap persimpangan jalan. Tapi, sayangnya kini saya melihat banyak lampu merah yang hanya berdiri sebagai pajangan. Baik itu masih berfungsi maupun tidak.
"Ah, kan ngga ada yang lewat ... "
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Jika menggunakan logika secara "normal" mungkin alasan tadi ada benarnya. Lampu merah diciptakan dan digunakan manusia untuk mengatur lalu lintas di persimpangan sebagai pengganti tenaga pengatur (baca: polisi).
Tapi, jika kita berbicara sebagai manusia yang taat pada aturan dan hukum yang berlaku maka alasan yang masuk akal tadi akan menjadi gugur. Kita adalah warga negara yang terikat oleh hukum dan aturan yang berlaku. Termasuk aturan lalu lintas. Maka sudah seharusnya kita secara suka rela sadar dan taat pada aturan yang berlaku di sekitar kita.
Bukan ingin menyalahkan pengendara motor. Tapi, bagi saya pengendara motor merupakan insan yang paling sering menerobos "si mata tiga" ini. Berpuluh pertanyaan mengendap di otak saya. Salah satunya adalah mengapa orang lebih patuh pada lampu merah di jalan protokol dari pada di jalan biasa. Apakah perbedaannya. Bukankah keduanya sama lampu merah.
Yang saya lihat hingga sekarang banyak pengendara yang mematuhi lampu merah karena takut pada sanksi yang diberikan akibat pelanggaran lalu lintasnya. Dan, itu pun terjadi di jalan-jalan besar yang dijaga oleh petugas. Ya, alasan yang klasik memang "cari aman".
Budaya cari aman ini sebenarnya bukan budaya yang baik karena kita seolah melakukan sesuatu dengan terpaksa (mungkin karena hukum memang sifatnya memaksa) dan bukan kesadaran kita. Mungkin sebagian orang bisa dengan santai menerobos lampu merah saat ia masih berfungsi. Nah, bila lampu merah sudah ngambek rasakan akibatnya.
Si Lampu Merah Ngambek
Diabaikan saat ada. Dicari saat tiada. Mungkin itu adalah ungkapan yang cocok untuk keberadaan lampu merah di sekitar kita. Mungkin apa bila lampu merah adalah makhluk hidup maka bisa jadi ia ngambek karena keberadaannya yang sering kali diabaikan.
Wujud nyata lampu merah ngambek adalah saat ia tidak lagi berfungsi. Tidak menyalanya salah satu lampu, pengaturan waktu yang tidak beres, hingga lampu merah yang mati total bisa jadi adalah wujud protes lampu merah pada kita yang sering melanggar aturannya.
Sudah bisa terbayangkan jika terjadi gangguan terhadap "si mata tiga" ini. Ya, macet itulah dampak pertama yang kita hadapi. Saat semua kendaraan dipertemukan di sebuah persimpangan maka sering kali tidak ada yang mau mengalah dan terjadilah keruwetan di tengah persimpangan.
Saya sudah merasakan bagaimana rasanya bila beberapa lampu merah padam. Salah satunya adalah lampu merah yang berada di sepanjang Jalan Panjang Jakarta. Di sana terdapat dua persimpangan yang lampu merah nya padam. Sungguh saat manusia dikuasai keegoisan mereka di jalan raya. Kehadiran lampu merah dirasa sangat berguna untuk mengatur insan-insan yang egois tersebut.
Bayangkan saja apabila dalam satu jalan kita menemukan beberapa lampu merah yang padam maka berapa banyak waktu kita yang terbuang untuk kemacetan yang diakibatkannya. Jika dihitung-hitung kerugian (waktu) yang kita rasakan akan jauh lebih besar daripada kita membuang sedikit waktu untuk menunggu lampu lampu merah berubah dari merah ke hijau.
Jujur saja saya tidak tahu harus melapor ke mana mengenai masalah padamnya beberapa lampu merah. Sempat terpikir untuk melapor ke petugas polisi lalu lintas namun saya melihat ada beberapa lampu merah yang padam tidak jauh dari pos polisi lalu lintas. Bahkan, ada pula yang tidak jauh dari sekolah polisi.
Lampu merah di atas under pass perempatan lebak bulus telah lama saya lihat padam. Padahal lokasinya tidak jauh dari sekolah polisi. Apakah karena lampu merah ini tidak terletak di jalan protokol sehingga seolah-oleh lampu merah tersebut diabaikan.
Bayangkan saja dengan matinya lampu merah di sana. Maka tercipta kesan bahwa persimpangan tersebut hanya milik kendaraan dari arah terminal lebak bulus. Sedangkan kendaraan dari arah Pondok Cabe Karang Tengah harus bersabar untuk melintasi persimpangan tersebut.
Padamnya lampu lampu merah di persimpangan tersebut juga menimbulkan masalah lain yaitu angkot yang sembarangan ngetem. Dapat dibayangkan bagaimana macet yang diciptakan oleh padamnya lampu merah di jalan yang tidak terlalu besar tersebut namun memiliki volume kendaraan yang cukup besar.
Siapa yang Harus Bergerak?
Pertanyaan itu mungkin sempat meluncur di benak beberapa orang. Termasuk saya. Bagi saya kesadaran masyarakat dapat menjadi titik awal untuk mengatasi masalah yang cukup klasik ini. Bila setiap orang dengan sukarela mematuhi aturan yang berlaku maka jalan pun menjadi tertib.
Setelah masyarakat, pemerintah, dan pihak yang berwenang masalah lalu lintas pun harus turun tangan membereskan masalah kerusakan teknis pada lampu merah yang ada sehingga masyarakat dapat menyalurkan kesadaran patuh aturannya.
Masalah ini sebenarnya masalah yang cukup sederhana. Namun, dapat menjadi masalah yang rumit jika masyarakat dan pihak yang berwenang belum muncul kesadaran untuk menghormati si lampu merah. Jadi saatnya kita menghormati dan mematuhi lampu merah, kuning, hijau tersebut.
Yhusanti Pratiwi Sayogo
Mahasiswa Jurusan Ilmu Jurnalistik Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Padjadjaran yang juga pengguna jalan raya.
(msh/msh)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini